Chapter 33 : Duka Cita

Aku mulai menyadari tentang apa yang teman - temanku katakan. Mereka benar. Aku sudah tidak bisa lari lagi. Kenyataan pahit ini harus kuhadapi.

Semenjak malam itu, aku mulai menjaga jarak dengan pangeran. Aku tidak lagi mengobrol panjang dengannya. Aku hanya menjawab dan bertanya hal - hal yang sekiranya dibutuhkan saja.

Dan kutahu, saat itu pangeran merasa gelisah. Terkadang ia menanyakan tentang kesalahan apa saja yang pernah ia perbuat kepadaku. Tapi aku hanya memberinya jawaban universal.

"Semua orang pasti pernah melakukan kesalahan, itu wajar,"

Seminggu kemudian, seorang pengirim pesan datang ke istana. Pakaiannya compang - camping dan kumal. Entah apa yang sudah terjadi.

"Jack, ada apa?" tanya pangeran khawatir.

"Yang Mulia..., raja dan ratu.." ujarnya terbata.

"Kenapa dengan raja dan ratu?" Pangeran kembali bertanya.

"Kereta kuda mereka tergelincir ke jurang,"

DEG!

Hari itu langit abu - abu menghiasi Ebetopia. Gerimis kecil turun menemani isak tangis acara pemakaman sang raja dan ratu tercinta. Jasad mereka tak pernah ditemukan, itulah yang Jack tuturkan.

Kecelakaan itu terjadi dua hari sebelum Jack tiba di istana. Pangeran sangat marah begitu ia mengetahui kebenaran tersebut. Belum pernah siapapun di istana ini yang melihatnya semarah itu.

Namun kini berbeda. Sosok pangeran hanya berdiri di depan foto orang tuanya sambil terisak. Tak ada yang berani menegurnya. Termasuk aku.

Dua hari berlalu. Pangeran Iru terus mengurung diri di kamarnya. Ia tidak pernah menjawab panggilan siapapun yang memintanya untuk keluar. Setiap harinya, hanya isak tangis yang terdengar dari balik pintu sana.

Hatiku sakit melihatnya terus begitu. Aku ingin membantunya tapi teman - temanku terus mencegahku. Jadi aku hanya bisa diam dan menyaksikan penderitaan pangeran yang seperti tiada akhir itu.

Esoknya, isak tangis pangeran sudah tidak terdengar lagi. Beberapa pekerja istana berkumpul di depan kamar pangeran. Memintanya untuk keluar. Kebetulan saat itu aku berjalan melewati mereka.

Kemudian salah satu dari mereka memintaku untuk membujuk pangeran agar keluar kamar. Awalnya aku menolak. Tapi mendengar resiko dan berbagai hipotesis mengerikan para pekerja istana membuatku menganggukan kepala.

"Yang Mulia, aku mohon keluarlah!" ujarku.

"..." tak ada jawaban.

"Kami khawatir padamu. Kumohon keluarlah dan beritahu kami bahwa kau sudah baikan," pintaku lagi.

"Kumohon, yang mulia!"

Aku menghembuskan nafas berat. Kemudian dengan sedikit mantra sihir, kulepas semua kunci yang membelenggu pintu kamar pangeran. Alhasil, pintu pun terbuka lebar. Memperlihatkan sosok pangeran yang sangat kacau.

Rambut acak - acakan. Kantung mata menghitam. Barang - barang tidak beraturan. Dan kulihat air mata pangeran masih setia keluar dari kelopak matanya. Sedangkan pangeran sendiri, kini hanya duduk di lantai. Tepat di samping ranjangnya.

Semua orang saat itu terdiam mematung. Tak ada yang bergerak seinci pun dari tempatnya.

"Ittai.." gumamku sambil memegangi dadaku yang terasa sesak.

Kemudian kuhampiri pangeran dan memeluknya erat. Berkali - kali kuucapkan permintaan maaf padanya. Dan, tanpa sadar aku ikutan menangis.

"Aku memang pengawal yang buruk! Sungguh, aku sangat bodoh! Aku lebih baik tidak ada! Aku tidak layak ada di sampingmu!" ujarku menyesali diriku sendiri yang tidak mempercayai hatiku. Aku telah membiarkan pangeran pergi sejauh ini.

DEG!

Perlahan kurasakan sentuhan hangat di punggungku. Rupanya pangeran membalas pelukanku. Air matanya berhenti keluar. Entah karena dia sudah baikan atau memang air matanya sudah kering.

"Yokatta..," terdengar ucapan syukur para pekerja istana.

"A-Ana?" lalu terdengar gumaman Paulina yang nampaknya baru datang di depan kamar.

👑

"Maaf, tapi aku tidak bisa berhenti," ujarku datar.

"Huffttt.., kau sudah mencoba yang terbaik," balas Ren.

"Tapi itu artinya kau harus siap dengan resikonya," sambung Sandra.

"..." aku hanya diam.

👑

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top