[07] Menjenguk Gabriel
Hari berikutnya Gabriel tidak masuk sekolah, katanya ia dihadang preman jalanan dan mengalami beberapa luka di kaki dan tangannya, bahkan kepalanya. Untungnya tidak ada luka yang serius.
“Mmm ... Rai,” panggil Linda. “Ada yang ingin kubicarakan denganmu ... berdua,” lanjutnya. Raihan meng-iya-kan, kemudian mereka pergi meninggalkan kelas.
“Waktu itu aku bilang 'merasa pernah melihatmu’, kan? Sekarang aku ingat. Apa kau juga mengingatku?” tanya Linda.
Natsuki menghela napas. “Jadi kau memang yang waktu itu, ya? Aku juga sudah mengingatmu.”
“Lalu apa yang terjadi padanya? Kenapa dia jadi seperti itu? Orang yang mencelakaimu kemarin juga dia, kan? Oh iya, saat di rumahmu aku juga tidak melihatnya, kalian tidak tinggal bersama?” Banyak sekali pertanyaan yang Linda lontarkan, ia ingin tahu semuanya.
“Sayangnya tidak, kami diadopsi keluarga yang berbeda. Sudah lama aku tidak bertemu dengannya. Sepertinya dia jadi begitu karena mengalami kekerasan dalam keluarganya. Maaf, gara-gara aku, kau jadi ikut diganggu olehnya. Seharusnya waktu itu aku tidak membiarkannya pergi.”
“Orang yang mengadopsiku itu hanya orang yang gila harta! Mereka memukuliku setiap hari, menamparku, melempariku dengan vas bunga, menarik rambutku, juga mencekikku!” Lagi-lagi Raihan teringat kembali perkataan Reino saat mereka bertemu di toilet.
“Kekerasan? Maksudmu?”
“Ya ... waktu itu kami sempat mengobrol sebelum akhirnya dia mencekikku dan membuatku pingsan. Katanya dia menderita, dia merasa tidak adil dengan kehidupan yang kita jalani. Mungkin itu sebabnya dia juga mengganggumu.”
“Kasihan Rei. Dia menderita sendirian,” ucap Linda merasa iba.
“Kau benar. Aku ini memang kakak yang buruk,” kata Raihan menyesal.
“Harusnya waktu itu aku juga tidak pergi. Mungkin jika aku tetap di sana, kejadiannya tidak akan seperti ini.”
“Jangan menyalahkan dirimu. Semua ini tidak ada hubungannya denganmu. Ini salahku karena membiarkannya pergi dengan orang yang salah.”
“Tentu saja ini ada hubungannya denganku! Kalau tidak, lalu kenapa dia menemuiku juga?!” kata Linda sedikit berteriak.
“Apa?! Dia menemuimu? Kapan? Dan apa yang dia katakan?” tanya Raihan terkejut.
“Kami berpapasan di koridor, dia menanyakan kabarku lalu pergi.”
Tak jauh dari tempat mereka, Ria dan teman-temannya juga sedang menyantap makan siang.
“Jangan sedih, Ria. Aku yakin dia baik-baik saja,” kata salah satu teman Ria yang berusaha menghiburnya.
“Tapi hiks ... gara-gara dia mengantarku ... dia jadi seperti itu hiks ... harusnya dia tidak usah mengantarku ...”
“Jangan khawatir, bukankah semalam kalian video call?”
“Iya, tapi ...” Ria menggantungkan perkataannya, dan mengingat kembali saat tadi malam dirinya dan Gabriel video call.
❦
“Abil!” teriak Rka sambil menatap layar ponselnya yang sedang terhubung dengan Gabriel, dan memperlihatkan wajah kekasihnya yang penuh lebam. Wajah Ria memerah, ia juga mengembungkan kedua pipinya, dan mengeluarkan beberapa tetes air mata.
“Ri-Ria? Kau kenapa?” tanya Gabriel di seberang ponsel khawatir melihat ekspresi kekasihnya.
“Harusnya aku yang bilang begitu!” Lagi-lagi Ria meninggikan suaranya. “Harusnya kemarin kau tidak usah mengantarku, gara-gara aku hiks ... gara-gara aku ka—”
“Sutttt ....” Gabriel menempelkan jari telunjuknya di layar ponselnya seolah ia sedang menahan Ria agar tidak melanjutkan perkataannya, walau hanya lewat video call. “Ini bukan salahmu. Salahku sendiri karena kurang hati-hati. Lagi pula, sepertinya orang itu memang sudah menungguku. Jadi aku pulang cepat atau tidak, itu tidak ada bedanya.”
“Tapi—”
“Dengar, Ria. Aku tidak mau mengatakan ini, tapi ...” Gabriel menjeda sejenak ucapannya. “Kurasa kita jangan terlalu dekat dulu untuk sementara waktu.”
“Apa ...? Kenapa? Ah, apa kau membenciku? Gara-gara aku kau ja—”
“Sudah kubilang ini bukan salahmu, Ria. Aku juga tidak membencimu.”
“Lalu kenapa?!” .
“Seperti yang kubilang tadi, orang itu sengaja menungguku. Aku tidak mau dia menyakitimu juga karena kau dekat denganku. Aku janji ini hanya sementara.”
Ria menggelengkan kepala. “Tidak mau! Memangnya siapa orang itu? Dan kenapa dia melakukan itu?”
“Aku juga tidak tahu, aku masih menyelidikinya. Pokonya kau jangan khawatir, dan kumohon kita jangan bertemu dulu ... oke?”
“Aku bilang tidak mau!”
“RIA, JANGAN BERISIK! CEPAT TIDUR!” Terdengar teriakan ibunya Ria yang menyuruhnya tidur.
“Sudah sana tidur, nanti ibu mertuaku marah, ahahaha ...”
“Abil!”
“RIA!” Lagi-lagi ibunya berteriak. Ria mengembungkan pipinya kesal, ibunya sering sekali mengganggu waktunya saat berduaan dengan Gabriel.
“Cepat tidur. Besok kau harus sekolah, aku tidak mau kekasihku punya mata panda gara-gara kurang tidur,” kata Gabriel. Ria mengguk, lalu mereka saling melontarkan senyum. “Selamat tidur. Jangan lupa mimpikan aku, hehe ...”
“
Selamat tidur. Jangan lupa mimpikan aku juga, hihi ...”Begitulah percakapan ini diakhiri. Ria dan Gabriel sama-sama menyudahi video call dan pergi ke alam mimpi.
❦
Raihan dan Linda terus mempethatikan Ria. Tiba-tiba mereka menyadari sesuatu.
“Rai,” panggil Linda. “Apa menurutmu, orang yang mencelakai Abil itu ...” Linda sengaja menggantungkan perkataannya dan menunggu jawaban Raihan.
“Iya, sepertinya memang dia. Mungkin karena Abil memergokinya saat di toilet. Oh iya, pulang sekolah nanti aku dan Erin mau menjenguknya. Apa kau mau ikut?”
Linda mengangguk. "Iya, aku ikut.”
❦
Reino mengelus pipinya yang bengkak akibat terkena pukulan dari Gabriel. Ia tidak menyangka Gabriel akan melawannya. Setahunya, Gabriel adalah teman dekatnya Raihan. Jadi karena wajah mereka sama, ia kira Gabriel tidak akan melawannya.
“Sialan!” teriaknya kesal. “Dia berani melawanku?! Sialan kau, siapa pun namamu!”
Brakk ...
Reino menjatuhkan semua barang-barang di sekitarnya. Ia menatap tajam ke arah mayat ibunya yang semakin membusuk. Kesenangnya baru dimulai. Apa semua itu akan berakhir secepat ini? Benar-benar tidak adil. Ia hanya ingin merasakan apa yang orang lain rasakan. Ia ingin merasakan kasih sayang orangtua, tapi ia tidak mendapatkannya. Kalau ia tidak dapat, lalu kenapa orang lain mendapatkannya?
“Menyebalkan!”
Wajah kesalnya seketika berubah. Ia mendapat ide gila lagi yang akan dilakukannya untuk mengembalikan keadilan. Ah, bukan. Tapi kesenangan pribadinya.
Brakk ...
Reino pergi ke luar, menutup pintu rumahnya dengan keras. Apapun akan ia lakukan agar keadilan menghampirinya.
❦
Kegiatan belajar dan mengajar di SMA Nusantara sudah selesai. Sekarang Raihan, Linda, Erin, dan Ria sedang dalam perjalanan ke rumah Gabriel. Tinggal beberapa langkah lagi mereka akan sampai.
Ting... Tong...
Ria membunyikan bel. Tidak lama kemudian Gabriel keluar membukakan pintu. Terlihat wajahnya yang penuh lebam, membuat Ria yang melihatnya langsung memeluk kekasihnya.
“Ria? Kenapa kau—”
“Huwaaa! Lihat wajahmu! Kau memang tambah kurus atau hanya perasaanku, ya?!” kata Ria khawatir dan masih memeluk kekasihnya.
“A-aw! Ria ... tolong longgarkan sedikit ...” Pelukannya terlalu kuat hingga membuat beberapa luka Gabriel terasa sakit.
“Apa kau tidak mau mempersilakan kami masuk?” kata Erin.
“Erin? Linda?” Gabriel terkejut. Melihat wajah Raihan membuatnya teringat dengan kejadian kemarin, karena itu ia tidak menyebutkan nama Raihan.
Melihat Gabriel yang seperti itu membuat Raihan dan Linda semakin yakin bahwa pelaku yang mencelakai temannya itu adalah Reino. Setelah dipersilahkan masuk, mereka berlima mengobrol di ruang tamu. Mereka hanya berlima di sana. Ayah Gabriel sedang bekerja, ibunya ke minimarket, dan adik perempuannya belum pulang sekolah karena kegiatan ekstrakurikuler.
“Ria," panggil Gabriel. "Kenapa kau kemari? Sudah kubilang sebaiknya kita—”
“Aku bilang tidak mau!” Ria sedikit meninggikan suaranya, dan Gabriel hanya bisa pasrah karena Ria memang orang yang keras kepala.
“Bil,“ ucap Raihan dan Linda bersamaan. “Ada yang ingin kubicarakan berdua denganmu, ah maksudku bertiga” kata Raihan.
“Aku ikut!” kata Ria.
“Tapi—”
“Memangnya tidak bisa dibicarakan di sini saja? Aku juga mau dengar!" Ria mencela.
“Aku juga. Kalian menyembunyikan sesuatu, kan?" tanya Erin curiga.
“Tapi E—”
“Baiklah, kami akan bicarakan di sini.”
“Tapi, Rai ...”
“Mereka juga harus tahu. Erin dan Ria sering bersama kita, mungkin dia juga akan menyelakakan mereka.”
Akhirnya Raihan dan Linda menceritakan semuanya. Mulai dari masa kecil mereka saat di panti asuhan, sampai si kembar itu bertemu kembali di toilet SMA Nusantara.
“Apa ibumu tahu soal ini?” tanya Gabriel.
“Tidak,” jawab Raihan. “Sekarang aku tahu kenapa waktu itu ibu berkata seolah kami pernah bertemu, padahal hari itu adalah pertama kalinya.”
“Eh? Kau anak yang waktu itu, kan? Bagaimana lukamu? Apa sudah sembuh?”
Raihan mengingat kembali perkataan ibu angkatnya saat pertama kali mereka bertemu. Yang dimaksud 'anak' oleh bu Anita saat itu adalah Reino yang sudah diadopsi lebih dulu oleh keluarga pak Wisnu. Entah kapan dan di mana mereka bertemu.
Drrtttt...
Ponsel Linda berdering. Seseorang meneleponnya, dan itu adalah bu Virgie, ibunya.
“Halo.”
“...”
Linda sangat panik setelah menerima telepon dari ibunya. Ia langsung pamit dan segera pulang. Lagi-lagi sesuatu terjadi. Apa kali ini juga perbuatan Reino? Apa lagi yang dia lakukan?
Sementara itu, di tempat Reino.
“Hari ini giliran Linda. Berikutnya giliranmu, Rai.”
❦
Yohaa!!
Terima kasih yang sudah mampir:3
Jangan lupa vomentnya juga:D
Gomen jika ada typo:)
See you...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top