[06] Linda & Rei & Rai
Raihan terus mengikuti ayah angkatnya yang pergi dengan Reino. Kini mereka sampai di sebuah gang sempit, minim cahaya, dan tidak ada orang.
“Kenapa kau membawaku kemari, Rai?” tanya pak Riko. Tapi Reino tidak menjawab.
Tiba-tiba firasat buruk menghampirinya, sepertinya sekarang Raihan tahu siapa dan apa yang akan dilakukan yang lain itu.
❦
Malam telah tiba, bintang dan cahaya bulan menerangi seisi kota Tenjo dan sekitarnya.
“Tidak!”
“Jangan!”
Lagi-lagi Natsuki mengigau, dan mimpinya sama persis seperti saat ia di ruang kesehatan.
Kriet...
Pak Riko dan bu Anita membuka pintu kamar anaknya, memastikan anaknya apakah sudah tidur atau belum?
“Kumohon ... hentikan ...”
“Rai?!” Pak Riko dan bu Anita menghampiri Raihan.
“Aku bilang hentikan!” akhirnya Raihan terbangun. Wajahnya pucat, napasnya tersenggal-senggal, dan keringat bercucuran membasahi wajahnya.
“Kenapa, Rai? Katakan pada Ibu, ada apa?” tanya bu Anita khawatir.
“Apa kau mimpi buruk?” tanya pak Riko.
“Aku ...” Raihan menjeda sejenak, kemudian ia memandang ayahnya. “Ayah,” panggilnya. “Aku ... aku ingin mulai besok Ayah bawa bekal, dan ... jangan makan di luar,” lanjutnya.
Pak Riko dan bu Anita memandang satu sama lain. “Memangnya kenapa? Kau mimpi Ayah keracunan makan?” tanya pak Riko.
Raihan menggeleng pelan. Kemudian berkata, “Pokonya jangan. Kumo—aw ...”
“Rai!” Tiba-tiba kepalanya terasa sakit, membuat Raihan tidak bisa melanjutkan perkataannya sekaligus membuat orangtuanya khawatir.
“Kumohon, Ayah ...”
“Baiklah, mulai besok Ayah tidak akan makan di luar, setiap hari Ayah akan bawa bekal. Sekarang beristirahatlah.”
“Jangan terlalu dipikirkan. Itu cuma mimpi, ayahmu pasti baik-baik saja.” Raihan mengangguk pelan, kemudian kembali tidur. Setelah itu orangtuanya juga kembali ke kamar mereka.
❦
“Hei, kau! Berikan bolanya padaku!”
“Tidak mau! Ini punyaku!”
“Hei, ayo kita main ke sana!”
Anak-anak itu begitu gembira bermain di taman bermain di panti asuhan Cinta Kaaih, dan memang di sanalah mereka tinggal.
“Semuanya ayo berkumpul!” kata Rina, salah satu pengurus panti. Tak jauh di belakangnya berdiri lima orang anak yang usianya berbeda-beda. Salah satu di antaranya adalah Linda saat sebelum diadopsi keluarga bu Virgie. Rina bertemu anak-anak itu di pinggir jalan sepulang dari minimarket. Mereka berkenalan, kemudian ia mengajaknya tinggal di panti.
Anak-anak yang sedang bermain itu mulai berkumpul di sekitar Rina. “Anak-anak, mulai hari ini kita kedatangan teman baru. Ah, bukan. Tapi keluarga baru,” ucap Rina. Satu per satu lima anak itu memperkenalkan diri, kemudian bermain dengan anak-anak lainnya.
Satu tahun telah berlalu. Anak-anak baru itu sudah terbiasa tinggal di panti, kecuali Linda. Seperti biasa Linda selalu duduk sendirian di pojok taman. Tiba-tiba sebuah bola mengarah ke arahnya, dan berhenti tepat di depan kakinya.
“Hei, kau! Tendang bola itu padaku!” teriak seorang anak laki-laki yang usianya tidak jauh dengannya. Anak itu, Reino. Ia dan saudara kembarnya baru datang ke panti beberapa minggu yang lalu karena orangtua mereka mengalami kecelakaan, dan tidak ada satu pun kerabat yang bisa dihubungi.
Linda berdiri, bersiap menendang bola. “Aduh!” Sayangnya ia terpeleset dan jatuh.
“Kau tidak apa-apa?” tanya Reino seraya menghampiri Linda. Ia juga mengulurkan tangannya untuk membantu Linda berdiri.
Linda meraih tangan Reino, kemudian berdiri. “Terima kasih,” katanya.
“Namaku Reino, panggil saja Rei. Dan kau jangan salah membedakanku dengan kakakku, ya.”
“Kakak?”
“Yap! Aku Rei, dan kakak kembarku Rai. Nama kami mirip, bukan? Wajah kami juga sangat mirip! Orang-orang sering salah membedakan kami,” kata Reino semangat. “Oh iya, namamu siapa?”
“Namaku Linda.”
Reino ber oh ria. “Kau sedang apa? Kenapa kau duduk sendirian di sini?” tanyanya.
“Aku ... se—”
“Rei!” Satu Reino lagi datang menghampiri mereka. Tidak. Itu Raihan.
“Ah, itu dia kakakku!”
“Rei, kenapa lama sekali? Bolanya sudah ketemu? Eh?” Raihan memperhatikan anak yang bersama adiknya.
“Rai! Tangkap ini!” Reino melempar bola, dan Raihan menangkapnya.
“Rai, kenalkan ini Linda. Linda, ini kakakku, Raihan. Panggil saja dia Rai.”
Mereka berkenalan, dan mulai sering bermain bersama. Akhirnya Linda mempunyai teman. Setiap hari mereka selalu bermain bersama, terutama Linda dan Reino. Tapi keluarga bu Virgie datang dan mengadopsinya, hari ini adalah hari terakhir Linda di panti asuhan.
“Hari ini adalah hari terakhir Linda di sini. Aku harap setelah ini kami masih bisa bertemu,” ucap Reino penuh harap.
“Eh? Itu, kan?” Tak jauh di depannya, Reino melihat sebuah boneka kelinci, dan ia tahu betul siapa pemilik boneka itu. Bonek kelinci itu adalah boneka kesayangannya Linda.
“Apa dia menjatuhkannya? Dia pasti sedang mencarinya sekarang. Aku harus segera mengembalikannya sebelum Linda pergi.” Reino mengambil boneka itu, lalu pergi mencari Linda.
Sementara itu di tempat Linda. Ia sedang menulis surat untuk orang yang menurutnya sangat spesial.
_________________________________
Untukmu, orang yang pertama kali mau berteman denganku.
Aku sangat senang bisa bertemu denganmu. Aku harap kita bisa berteman selamanya.
Aku menyayangimu, Rei.
Dari Linda.
_________________________________
Begitulah isi suratnya. Baginya Reino berbeda dengan temannya lainnya. Reino adalah orang pertama di panti asuhan yang mau berbicara dengannya. Bahkan empat orang lainnya yang ditemukan Rina pun tidak mau bermain dengannya. Linda selalu tertawa dan bahagia saat bersama Reino.
“Sekarang tinggal memberikannya pada Rei.” Ia tersenyum memandangi surat buatannya. Surat yang tidak terlalu rapi karena ia belum tahu cara membuat surat yang benar, namun isinya benar-benar ungkapan perasaan anak kecil yang jujur.
Tapi tiba-tiba raut wajahnya berubah sedih. “Apa aku tidak usah pergi, ya? Kalau aku tetap di sini, aku bisa tetap bersama Rei. Tapi bagaimana kalau nanti dia yang pergi?”
“Linda, kau sudah siap?” tanya Rina menghampiri Linda.
Linda mengangguk. “Ah, tunggu. Pinky di mana?” Pinky adalah nama boneka kelincinya yang berwarna pink. Ia baru ingat dari tadi bonekanya itu tidak ada di tangannya.
“Mmm ... kalau begitu ayo kita cari Pinky.” Linda mengangguk, lalu segera mencari bonekanya, juga mencari Reino untuk memberikan suratnya.
Linda terus mencari bonekanya dan Reino kesana-kemari, tapi belum juga ketemu.
“Linda!” Seseorang memanggilnya, dan itu Raihan. Sayangnya bukan Reino. “Kau belum berangkat?” tanyanya.
Linda menggelengkan kepala. “Belum, aku sedang mencari Pinky. Oh iya, bisa kau berikan ini pada Rek?” Linda menyodorkan surat buatannya pada Raihan.
“Apa ini?” tanya Raihan.
“Ah, bukan apa-apa. Cuma kenangan kecil yang bisa kuberikan padanya.”
“Eh? Untukku mana?” Mereka bersenda gurau untuk yang terakhir kalinya sebelum Linda berangkat dan meninggalkan panti. Tapi, ternyata Reino berada tak jauh dari mereka. Tadinya Reino ingin mengembalikan boneka, tapi tidak jadi.
"Tidak ada, memangnya Rai ingin apa?”
“Mmm ... tidak ingin apa-apa, sih.”
“Hahaha ... terima kasih sudah mau berteman denganku, Rai.”
“Tidak usah berterima kasih.” Sekali lagi, mereka tertawa bersama, dan entah kenapa hal itu membuat Reino kesal. Ia pun pergi, dan tidak jadi mengembalikan boneka Linda.
“Jangan lupa berikan itu padanya, ya. Tapi Rai tidak boleh membacanya, ingat itu.”
“Iya, aku janji tidak akan membacanya.”
“Linda! Di situ kau rupanya!” teriak Rina seraya menghampiri dua anak asuhnya. "Ayo berangkat," lanjutnya.
“Tapi Pinky belum ketemu”
“Mereka sudah menunggumu, Linda.”
“Tapi ... aku belum berpamitan dengan Reu.” Linda nampak murung sambil terus memandangi surat di tangan Raihan.
“Jangan khawatir, aku janji akan memberikan ini pada Rei,” kata Raihan berusaha menghibur Linda.
“Nah, ayo berangkat.” Linda mengangguk pelan, ia melambaikan tangan tanda perpisahan, kemudian pergi dengan keluarga bu Virgie.
Sesuai janji, Raihan memberikan surat itu pada kembarannya. Setelah membacanya, Reino menjadikan boneka dan surat itu sebagai kenangannya bersama Linda. Tapi sayangnya surat itu hilang, sehingga ia hanya membawa boneka itu saat diadopsi keluarga pak Wisnu.
❦
“Sepertinya dugaanku benar. Orang itu pasti kau, ya, Rei,” ucap Linda. Saat ini ia sedang berbaring di atas kasurnya yang empuk sambil mengingat kembali masa lalunya.
“Tapi kenapa dia jadi seperti itu? Apa dia tidak tinggal dengan Rai? Oh iya, Rai ingat aku tidak, ya?”
Banyak pertanyaan yang muncul di benaknya. Tapi sekarang sudah larut, dan besok bukan hari libur, ia harus sekolah. Ia tidak mau membuat orangtuanya kecewa jika nilainya turun gara-gara kurang tidur.
❦
TBC
Halo lagi:D
Terima kasih buat yang suda baca dan voment🙇🏻♀
Gomen kalau ada typo:)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top