[04] Mimpi Buruk

Bel masuk SMA Nusantara sudah berbunyi dan pelajaran pertama sudah dimulai, tapi Raihan belum kembali dari toilet.

Kenapa Rai lama sekali? Apa dia buang air besar? kata Gabriel dalam hati.

“Permisi, boleh saya ke toilet, Pak?” tanya Gabriel seraya mengangkat tangan kanannya meminta izin ke toilet pada guru yang sedang mengajar.

“Baiklah, tapi jangan terlalu lama. Oh iya, sekalian kau panggil Raihan, ya.” Setelah mendapat izin, Gabriel langsung beranjak dari kursinya menuju toilet sekaligus mencari Raihan.

Srrssss

Terdengar gemercik air saat Raihan sedang mencuci tangan, setelah ini ia harus segera kembali ke kelas karena bel masuk sudah berbunyi beberapa menit lalu atau ia akan ketinggalan pelajaran.

“Topi itu ... rasanya aku pernah melihatnya, tapi di mana, ya?” gumam Raihan mengingat-ingat kembali kejadian saat di kelas tadi.

“Sudah lama aku mencarimu ... Rai.”

Mendengar seseorang menyebutkan namanya, Raihan pun berbalik. Tepat di belakangnya, Reino, dialah orang yang tadi mengikutinya. Dia jugalah orang yang menaruh surat di kolong meja Raihan dan mengacak-ngacak kamarnya. Namun orang itu terus menunduk sehingga Raihan tidak bisa melihat wajahnya.

“Siapa kh—” Tiba-tiba Reino mencekik leher Raihan.

“Ternyata kau memang melupakanku, ya, Raihan.” Reino sedikit mendongak, membuat Raihan dapat melihat wajahnya dengan jelas sekarang.

“Re-hk—”

“Diam!” Reino mempererat cekikannya, membuat Raihan semakin sulit bicara apa lagi bernapas.

“Kau tahu seberapa menderitanya aku?” tanya Reino sambil memandang Raihan yang wajahnya sama persis dengan dirinya, tapi Raihan tidak menjawab. Bernapas saja sulit, bagaimana mau menjawab?

“Kau tahu? Orang yang mengadopsiku itu hanya orang yang gila harta! Mereka memukuliku setiap hari, menamparku, melempariku dengan vas bunga, menarik rambutku, juga mencekikku!”

“R-Reino ... le ... pash ... kanh ....” Reino tidak peduli, yang ia inginkan sekarang hanya melampiaskan amarahnya pada saudara kembarnya. Padahal mereka sudah lama tidak bertemu, tapi tidak ada sedikit pun pelukan atau sapaan kerinduan yang ia berikan. Ia justru semakin memperkuat cengkeramannya dan membuat Raihan semakin menderita.

“Setiap hari aku menderita, sedangkan kau? KAU SANGAT BAHAGIA! SAKING BAHAGIANYA KAU SAMPAI MELUPAKANKU! Tega sekali kau, RAIHAN!” Raihan tidak merespons, ia juga sudah tidak memberontak walaupun Reino masih mencekiknya. Cengkeraman Reino membuatnya kehilangan kesadaran. Sementara itu, Gabriel semakin mendekat ke arah mereka.

“Cih, baru segini saja kau sudah pingsan? Setiap hari mereka selalu menyiksaku lebih dari ini. A—”

“Rai!” teriak Gabriel memotong ucapan Reino. Ia sangat terkejut melihat temannya tidak sadarkan diri dengan posisi tercekik oleh orang yang tidak dikenal.

“Cih, pengganggu.” Reino menatap tajam Gabriel dan tindakannya itu membuat wajahnya terlihat jelas, yang juga membuat Gabriel semakin terkejut karena wajah Reino sangat mirip dengan Raihan.

Siapa pun yang melihatnya akan langsung tahu mereka adalah saudara kembar. Yang membedakan hanya warna kulit dan tinggi badan mungkin. Warna kulit Reino lebih gelap, dan Raihan lebih tinggi beberapa centimeter dari Reino.
Raihan memang satu-satunya anak laki-laki di keluarga pak Riko, tapi bukan anak kandung. Ia adalah anak angkat, ia diadopsi saat usianya delapan tahun dari panti asuhan Cinta Kasih.

Brukh

Reino melepas cengkeramannya, membuat Raihan yang pingsan jatuh ke lantai. "Kita akan bermain lagi nanti, Raihan." Setelah berkata demikian, ia pergi dari toilet hendak meninggalkan SMA Nusantara.

Gabriel terus memperhatikan punggung Reino yang semakin menjauh. Siapa orang itu? Kenapa wajahnya sangat mirip dengan Raihan? Banyak sekali pertanyaan yang memenuhi benaknya, tapi ia kembali teringat dengan kondisi sahabatnya, ia pun segera menghampirinya dan berusaha menyadarkannya.

“Raihan, sadarlah! Rai!” Gabriel menepuk-nepuk pipi Raihan, berharap tindakannya dapat membangunkan sahabatnya, tapi sayangnya tidak. Akhirnya ia memutuskan untuk menggendong dan membawa Raihan ke ruang kesehatan.

Pelajaran pertama telah usai, sekarang siswa-siswi SMA Nusantara—khususnya kelas 2-3—sedang menunggu guru mata pelajaran berikutnya masuk kelas, tapi Erin dan Linda sedang tidak berada di kelas. Saat ini mereka sedang menuju ruang kesehatan, mereka berjalan bersama, tapi tiba-tiba Linda menghentikan langkahnya karena melihat Reino yang berjalan ke arah mereka.

“Kenapa berhenti, Lin?” tanya Erin yang juga ikut berhenti.

“Mm... k-kau duluan saja. Aku mau ke kelas dulu sebentar, ponselku tertinggal di atas meja,” jawab Linda berbohong. Sebenarnya ponselnya ada di saku kirinya. Ia hanya tidak mau Reino juga mengganggu Erin karena dekat dengannya.

“Ya ampun, kau ceroboh sekali. Kalau hilang bagaimana? Apa mau aku temani?” tanya Erin peduli.

“Tidak, tidak usah. Kau duluan saja, nanti aku menyusul.”

“Oke, aku duluan, ya.” Akhirnya Erin pergi lebih dulu ke ruang kesehatan dan meninggalkan Linda yang sebentar lagi akan berpapasan dengan Reino.

Tepat saat Reino berada di sebelah Linda, ia menghentikan langkahnya dan membisikan sesuatu di telinga Linda. “Besok kita bermain lagi, ya ... Linda.” Setelah berkata demikian, ia pergi ke pintu keluar dan benar-benar meninggalkan SMA Nusantara.

Sekarang Linda yakin, kejadian pagi ini dan orang yang mengacak-acak kamarnya waktu itu adalah Reino. Ditambah wajah Reino dan Raihan sangat mirip, membuatnya semakin yakin mereka berdua adalah teman masa kecilnya. Namun kalau iya, kenapa Reino tidak sekolah di tempat yang sama seperti Raihan? Yaitu di sini, di SMA Nusantara.

“Apa aku tanyakan saja hal ini pada Rai, ya?” tanyanya pada dirinya sendiri. Kemudian ia segera menyusul Erin ke ruang kesehatan.

“Di mana aku?” Raihan terbangun, tapi entah kenapa sekarang ia sedang berada di pinggir jalan. Banyak kendaraan yang berlalu-lalang di depannya.

“Kenapa aku ada di sini?” Raihan memperhatikan sekitar, ternyata sekarang ia berada tepat di seberang Padang Teh Nunung—salah satu tempat makan di daerah Tenjo.

“Aku sudah biasa makan di sini, makanannya enak-enak, loh.”

“Wah, Anda sudah langganan, ya? Apa Anda punya menu favorit?”

“Tidak juga, bagiku semuanya enak. Tapi putriku bilang nasi padang di sini yang terbaik. Oh iya, di sini juga menyediakan dodol khas khas Tenjo, dan istriku sangat menyukainya.”
Tak jauh dari tempat Raihan berdiri, ada sekelompok karyawan dan karyawati yang menuju Padang Teh Nunung, dan salah satu karyawan itu adalah pak Riko, ayah angkat Raihan.
“Ayah?” gumam Raihan.

“Lho? Rai, kenapa kamu ada di sini?” tanya pak Riko. Tapi 'Rai' yang dipanggilnya bukan Raihan anaknya, 'Rai' yang di sana adalah Reino yang sedang menyamar menjadi Raihan. Lagi-lagi ia melakukan sesuatu yang aneh. Permainan apa lagi yang akan ia lakukan sekarang?

Reino menarik-narik jas kerja pak Riko, seolah berkata ‘Ayo ikut aku.’ atau ‘Temani aku ke sana sebentar.’
“Ada apa, Rai? Kau ingin aku ikut denganmu?” tanya pak Riko dan Reino mengangguk.

“Baiklah, Ayah bilang ke teman Ayah dulu, ya.” Reino kembali mengangguk.

“Anu, maaf sepertinya ada yang ingin anakku bicarakan padaku. Kalian duluan saja, nanti aku menyusul,” kata pak Riko berpamitan.

“Ya baiklah, tapi jangan salahkan kami jika kami makan duluan, ahaha ....”

Setelah berpamitan, pak Riko pergi bersama Reino. Dan entah kenapa tiba-tiba Raihan berfirasat buruk. Sebenarnya ke mana Reino membawa ayah angkatnya?

Gabriel, Erin, dan Linda sedang menemani Raihan yang sampai saat ini masih belum sadarkan diri. Sudah cukup lama Raihan pingsan dan sebentar lagi jam istirahat akan berbunyi.

“Jadi menurutmu, orang yang menerorku dan mencelakai Rai adalah orang yang sama, begitu?” tanya Linda setelah mendengar cerita dan pendapat Gabriel.

“Iya! Selain itu, aku juga sempat melihat wajahnya,” kata Gabriel.

“Benarkah? Kalau begitu kita bisa melaporkannya ke polisi, ‘kan?” tanya Erin.

“Entahlah, tapi ...”Gabriel menggantungkan perkataannya, membuat Linda dan Erin merasa penasaran.

“Tapi apa, Bil?” tanya Erin tidak sabaran.

“Wajah mereka,” Lagi-lagi Gabriel menggantungkan perkataannya. Kemudian ia memandang Raihan yang belum sadar, lalu kembali memandang temannya yang sedang menunggu jawaban. “wajah orang itu sangat mirip dengan Rai,” lanjut Gabriel.

“Apa—”

“Uhuk!”

Erin dan Linda sangat terkejut mendengar perkataan Gabriel. Tepat pada saat itu Raihan pun sadar dan memecah keterkejutan mereka. Tidak, belum. Mata Raihan masih tertutup, tapi ia mengigau.

“Tidak uhuk ... hentikan ....” Raihan terus mengigau, membuat teman-temannya semakin khawatir.

“Rai, kau kenapa? Bangun, Rai!”

“Raihan!”

“Jangan!” Akhirnya Raihan benar-benar sadar dan membuka matanya. Wajahnya sangat pucat, napasnya tersengal-sengal, dan keringat terus bercucuran membasahi wajahnya.

“Kau kenapa? Apa orang itu mengatakan sesuatu padamu?” tanya Gabriel.

“Orang itu?” tanya Raihan tidak mengerti.

“Apa kau tidak ingat? Seseorang mencekikmu sampai pingsan, kemudian aku membawamu ke sini.”

“Orang yang mengadopsiku itu hanya orang yang gila harta! Mereka memukuli setiap hari, menamparku, melemparku dengan vas bunga, menarik rambutku, juga mencekikku!” Sekilas Raihan teringat kembali dengan ucapan Reino di toilet. Ia sangat menyesal. Seandainya waktu itu dirinya tidak membiarkan saudaranya diadopsi keluarga yang berbeda dengannya, mungkin kejadian ini tidak akan terjadi.

“Begitu, ya? Kalau begitu, terima kasih. Kalian juga Erin, Linda, terima kasih sudah menjengukku.”

Kriet

“Ga-Bri-El!” Seorang siswi membuka pintu ruang kesehatan dengan kasar. Orang itu adalah Ria Hariyani, adik kelas sekaligus kekasih Gabriel. Kacamata bulat menghiasi wajahnya walau matanya tidak minus, dan rambut hitam panjangnya terurai sampai ke pinggang.

Ria berlari dan memeluk erat tangan kiri Gabriel. “Kau tidak apa-apa? Apa kau terluka?” tanya Ria khawatir.

“Ria? Kenapa kau kemari?” tanya Gabriel heran.

Ria mengembungkan kedua pipinya kesal. “Kenapa aku kemari? Tentu saja karena aku mengkhawatirkanmu, bodoh! Kak Irfan bilang kau pergi ke sini sejak jam pelajaran pertama, memangnya kau kenapa?”

“Anu,” Suara Raihan berhasil memecah keributan yang disebabkan pasangan muda itu. “sebenarnya ini semua gara-gara aku. Maaf, ya.”

“Ah, kak Rai! Maaf aku tidak melihatmu, eh? Kakak kenapa? Apa Abil yang melakukannya? Kalau iya, biar kuhajar dia!” kata Ria sambil bergaya seperti seorang petinju.

“T-tidak, kok, justru Abil yang menolongku.”

“Benarkah? Padahal tadinya aku mau menghajarnya.”

“Ri-Ria ... aku ini pacarmu, loh, dan aku lebih tua darimu. Kenapa kau kejam sekali padaku?” Lagi-lagi pasangan itu meributkan hal tidak penting dan memang selalu seperti itu. Kemudian Ria dan Linda pun berkenalan, lalu mereka pergi ke kantin bersama karena bel istirahat sudah berbunyi.

TBC

Yaho^^
Semoga typo ga berkebun:)
Terima kasih yang sudah mampir dan voment...
See you:D

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top