[01] Aku Menemukanmu

Kicauan burung dan hangatnya mentari pagi menemani sarapan keluarga pak Riko. Sebuah keluarga sederhana yang terdiri dari ayah, ibu, dan satu anak laki-laki. Mereka bukan keluarga kaya, tapi mereka sangat bahagia. Keharmonisan keluarga ini benar-benar terjaga.

“Rai, mulai sekarang kau harus lebih berhati-hati. Tadi malam ayah lihat berita, katanya ada pembunuh buron yang berkeliaran di sekitar sini,” kata pak Riko sang kepala keluarga.

“Aduh, Ibu jadi takut kalau harus meninggalkanmu sendirian di rumah,” kata bu Anita—istri pak Riko.

“Tidak apa, Bu. Nenek, kan, sedang sakit, Ibu harus menemaninya. Lagi pula aku sudah SMA, aku bisa jaga rumah sendiri,” kata Raihan Adinata—biasa dipanggil Rai—putra tunggal pak Riko dan bu Anita. Kulitnya putih, rambutnya berwarna hitam kecoklatan, dan matanya berwarna cokelat.

“Memangnya kau pikir korban pembunuhan itu masih anak-anak? Mereka sudah dewasa, sudah menikah. Sebaiknya kau izin tidak masuk sekolah hari ini, lalu ikut dengan Ibu,” kata bu Anita khawatir. Suaminya sering lembur dan ada pembunuh buron yang berkeliaran di sekitar perumahan mereka. Membuatnya semakin khawatir jika harus meninggalkan putranya sendirian di rumah.

“Tidak bisa, Bu. Hari ini aku ada ujian dan aku tidak mau ikut ujian susulan. Lagi pula, kan, ada Ayah. Nenek juga pasti sangat merindukan Ibu.”

“Rai benar, sayang. Sudah lama kita tidak ke sana, pasti ibu sangat merindukanmu. Jangan khawatir, akan kuusahakan pulang cepat malam ini.”

“Bukan hanya malam ini, tapi besok, lusa, dan seterusnya juga. Aku takut terjadi sesuatu pada Rai.”

“Iya, sayang. Aku mengerti.”
Begitulah suasana pagi di keluarga ini. Setelah sarapan, mereka bersiap untuk berangkat ke tujuan masing-masing.

“Aku berangkat,” kata Raihan seraya meninggalkan rumah. Ia berangkat menuju sekolahnya bersama teman sekelasnya yaitu Gabriel Yulianto—biasa dipanggil Abil—yang juga tinggal di perumahan yang sama dengannya. Tanpa disadari, ternyata ada seseorang yang terus memperhatikannya.

“Aku menemukanmu,” gumam orang itu.

SMA Nusantara adalah salah satu sekolah negeri yang ada di kota Tenjo. Sama halnya seperti sekolah lain, di sini juga terdapat banyak murid dengan sifat dan karakter yang beragam. Mulai dari yang rajin dan disiplin, sampai yang sering bolos dan sulit diatur. Seperti Irfan misalnya, ia adalah salah satu siswa yang sering bolos, terutama saat pelajaran matematika. Namun khusus hari ini ia tidak membolos karena penasaran dengan murid baru di kelasnya—kelas 2-3. Irfan juga merupakan teman sekelasnya Raihan.

“Seperti yang Bapak bilang minggu lalu, hari ini kita kedatangan murid baru. Linda, silakan perkenalkan dirimu,” kata pak Madsupi—wali kelas 2-3 sekaligus guru matematika kelas dua di SMA Nusantara.

“Selamat pagi, perkenalkan namaku Linda Aurelia. Aku pindahan dari SMA Nusa Bangsa. Aku pindah ke sini karena orangtuaku dipindahtugaskan. Mmm ... salam kenal,” ucap gadis berambut pendek bergaya bob, dengan kulit berwarna sawo matang.

“Jika ada yang ingin ditanyakan, kalian tanyakan saja saat jam istirahat. Linda, kau bisa duduk di sana,” kata pak Madsupi sambil menunjuk sebuah kursi kosong yang letaknya paling belakang, tepatnya di samping Raihan. Raihan sendiri duduk paling pojok dekat jendela karena memang di sanalah posisi tempat duduk favoritnya.

Linda berjalan menuju kursinya, tapi ia tidak sengaja menyenggol meja Raihan, hingga membuat pulpen Raihan jatuh ke lantai.

“Ah, maaf. Aku tidak sengaja,” kata Linda sambil berusaha mengambil pulpen Raihan yang jatuh. Namun tanpa sengaja tangan mereka saling bersentuhan karena sama-sama mau mengambil pulpen yang jatuh itu.

“Ma-maaf, aku tidak sengaja,” kata Linda lagi. Raihan mengangguk, kemudian mengambil pulpennya.

“Iya, tidak a—”

“Eh, kau kan ....” Belum sempat Raihan menyelesaikan perkataannya, Linda sudah lebih dulu memotong ucapannya dengan perkataan yang menggantung. Entah kenapa Linda merasa pernah bertemu dengan Raihan, tapi ia lupa kapan dan di mana.

“A—”

“Ekhm.” Lagi-lagi ucapannya dipotong. Raihan baru mau bertanya kenapa Linda menatapnya begitu lekat seperti orang yang sudah lama tidak bertemu, tapi pak Madsupi lebih dulu menghentikannya.

“Raihan, Linda, kembali ke tempat duduk kalian masing-masing, tunda dulu perkenalkannya. Sekarang kita akan memulai pelajaran.” Pak Madsupi pun memulai pelajaran. Hari ini mereka akan mempelajari Matriks.

Sempit, gelap, dan berantakan, begitulah kondisi di rumah ini. Sampah berserakan di mana-mana, banyak piring, gelas, dan perabotan lainnya yang pecah dan hancur. Benar-benar seperti rumah kosong yang sudah lama tak dihuni.

Kriet

Seorang pemuda membuka pintu rumah tersebut dan memang pemuda itulah sang pemilik rumah.

“Aku pulang,” kata pemuda itu. Usianya baru 16 tahun, ia berhenti sekolah saat masih kelas tiga SD. Keluarganya sangat kekurangan biaya, mereka bahkan tidak bisa menamatkan Sekolah Dasar satu-satunya anak mereka.

“Ibu, aku sudah pulang, loh! Oh iya, Ibu tahu tidak? Akhirnya, aku menemukan mereka! Dan aku membuat mereka menderita seperti apa yang mereka lakukan pada kita. Ibu senang, ‘kan?” tanya pemuda itu pada seorang wanita paruh baya yang terbaring di kasur lantai yang berada tepat di depannya. Wanita itu adalah ibunya, tapi sudah tidak bernyawa dan dia sendirilah yang membunuh ibunya.

“Ahahaha ... apa Ibu sudah bertemu mereka? Kalian bertemu di mana? Surga? Atau neraka?” Kekerasan yang dialaminya saat masih kanak-kanak membuat dirinya tumbuh menjadi pribadi yang seperti ini. Kejam, tidak berperasaan, dan senang melihat orang lain menderita. Bahkan ia tega membunuh ayah dan ibunya sendiri.

“Oh iya, aku juga bertemu dengannya, loh. Kakakku yang kalian pisahkan saat kami masih anak-anak. Kalian ini jahat sekali, ya. Ahahaha ... kukira dia juga menderita sepertiku, ternyata dia sangat bahagia dengan keluarga barunya. Sepertinya dia sudah melupakanku hiks ....” Perlahan air mata mulai membasahi wajahnya.

“Kenapa ...? Kenapa dunia ini sangat tidak adil? Kenapa dia sangat bahagia, sedangkan aku sangat menderita?!” Ia berteriak keras melampiaskan semua kekecewaannya. Toh di luar juga tidak akan ada yang mendengar suaranya karena letak rumahnya yang sangat terpencil dan jauh dari kerumunan penduduk.

“Dia juga harus tahu bagaimana rasanya menderita.” Pemuda itu kembali berjalan ke arah pintu, hendak melakukan kegiatan yang menurutnya menyenangkan. Namun ia berhenti sejenak di ambang pintu, kemudian berkata, “Apa ibu mau membantuku?”

Ia tahu ibunya sudah meninggal, tapi ia tetap bertanya. “Oh iya, Ibu, kan, sudah mati. Jadi Ibu tidak bisa membantuku.” Pemuda itu kembali melanjutkan kegiatannya, sekarang ia sudah benar-benar meninggalkan rumahnya.

Pelajaran telah usai, satu per satu siswa-siswi SMA Nusantara kembali ke rumahnya masing-masing, termasuk Raihan. Saat ini ia sedang membereskan buku dan alat tulis lainnya, tapi ada satu hal yang mengganggu pikirannya. Linda Aurelia, murid pindahan itu terus memperhatikannya, tapi tidak berkata apa pun. Sialnya, setiap kali ia mau bertanya, pasti ada saja temannya yang mendahuluinya.

“Maaf, namamu Linda, ‘kan?" tanya Raihan. Kebetulan Linda juga masih membereskan buku dan alat tulisnya.

“Iya, apa ada masalah?” Linda menghentikan sejenak aktivitasnya dan menghadap Raihan.

“Ah, tidak. Mmm ... sebenarnya ada yang ingin kutanyakan padamu.”
Linda memiringkan kelapanya pertanda bingung. “Mau bertanya tentang apa?”

“Apa sebelumnya kita pernah bertemu? A-aku tidak bermaksud terlalu percaya diri, tapi ... bagaimana, ya? Aku merasa dari tadi kau terus memperhatikanku. Apa aku sudah berbuat salah padamu?”

“Eh? Tidak, kok. Sebenarnya entah kenapa aku merasa pernah melihatmu, tapi aku lupa kapan dan di mana. Makanya aku—”

“Linda! Rumahmu di mana? Mau pulang bersamaku tidak?” Lagi-lagi percakapan mereka terganggu.

“Kalau rumah kita searah, ayo pulang bersama,“ jawab Linda. “Oh iya, maaf jika aku sudah membuatmu merasa tidak nyaman. Sampai jumpa besok, Rai.” Linda melambaikan tangan, kemudian menyusul Valerine Sulianty—biasa dipanggil Erin—orang yang tadi mengajaknya pulang bersama dan meninggalkan Raihan sendirian di kelas.

Raihan menghela napas sejenak, kemudian berkata, “Mungkin aku salah orang.” Sebenarnya ia sendiri juga merasa pernah bertemu dengan Linda. Sekilas ia berpikir Linda adalah teman masa kecilnya, tapi ia masih kurang yakin dengan tebakannya itu.

Semua temannya sudah pulang, karena itu Raihan juga memutuskan untuk pulang. Ia mulai menuruni tangga karena kelasnya berada di lantai dua.

Sekarang tinggal beberapa anak tangga lagi maka Raihan akan sampai di lantai satu. Tapi seseorang menyenggol bahunya hingga ia hampir terjatuh. Orang itu menggunakan jaket berwarna hitam lengkap dengan tudungannya, tapi tidak diritsleting sehingga kaus merah yang dikenakannya tetap terlihat, ia juga memasukkan kedua tangannya ke dalam saku, dan berjalan sambil menunduk. Sepertinya orang itu sengaja menyenggol Raihan, ia berlalu begitu saja tanpa mengucapkan kata 'maaf' sedikit pun.

“Kenapa orang itu? Sudah salah, bukannya minta maaf,” kata Raihan. Namun ia tidak terlalu memedulikannya, jadi ia melanjutkan perjalanan pulangnya.

Sesampainya di rumah, Raihan langsung melempar tas sekolahnya ke sofa di ruang tamu. Kegiatan di sekolah hari ini benar-benar melelahkan, praktik olahraga, ditambah dengan ujian harian pelajaran matematika dari pak Madsupi benar-benar memusingkan. ‘Semoga nilaiku bagus, semoga aku tidak remedial.’ Begitu kira-kira yang diharapkan sebagian besar siswa yang mengikuti ujian matematika, termasuk Raihan. Ia bukan orang yang pandai dalam mata pelajaran matematika, ia bahkan selalu meminta bantuan Erin jika ada soal-soal yang tidak ia mengerti.

Raihan pergi ke dapur, hendak mencari minuman untuk menyegarkan tenggorokannya. Setelah ini ia masih harus mengerjakan tugas bahasa Inggris dari bu Bintang, ia juga harus membuat makan malam dan beres-beres rumah karena malam ini sampai lima hari ke depan ibunya akan menginap di rumah neneknya yang berada di Tigaraksa.

Setelah mengambil beberapa camilan dan sekotak susu stroberi, Raihan pergi ke kamarnya yang berada di lantai dua untuk mengerjakan tugas, tidak lupa ia juga membawa tas sekolahnya yang tadi ia lempar ke sofa.

Kriet

Terdengar derit pintu ketika Raihan membuka pintu kamarnya.

“A-apa-apaan ini?!” Raihan sangat terkejut saat melihat kondisi kamarnya yang berantakan. Padahal sebelum ia berangkat sekolah, kamarnya sudah dibereskan. Tapi sekarang seprai tidak terpasang, buku-buku yang seharusnya berada di rak kini berserakan di lantai, bahkan ada beberapa koleksi novel dan komik favoritnya yang robek, lemari pakaiannya terbuka dan semua pakaiannya berantakan. Siapa yang melakukan ini? Begitu pikirnya.

“Apa itu?!” Raihan semakin terkejut, ia membelalakkan mata ketika melihat sebuah tulisan ‘Aku Menemukanmu’ berwarna merah terpampang di dinding kamarnya. Entah siapa yang menuliskan itu.

Tap Tap Tap ...

Saat Raihan masih berusaha mencerna apa yang sebenarnya terjadi di kamarnya, sesuatu sedang mendekat ke arahnya.

Terima kasih pada semua yang sudah berkenan mampir dan voment, semoga cerita ini dapat menghibur kalian terutama pada yang suka thriller/misteri. Gomen jika tidak berasa, ini cerita thriller pertama yang Kira buat:)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top