Sketsa 5 - Tak Bersemangat

"Setelah mendapatkan alasan untuk melangkah lagi, manusia itu pun tanpa rasa takut mulai berjalan lagi. Namun, sebelum mengambil jalan ketiga, lagi-lagi masalah lebih besar muncul di hadapannya."

🗻⛰🗻⛰🗻

Waktu menunjukkan pukul 17:12 WIB. Mirai berada di balkon kamarnya. Memandang langit yang telah berubah warna menjadi jingga kemerahan, meski ia tak bisa melihat warna itu. Melalui pandangannya, yang terlihat hanyalah seperti pulasan-pulasan pensil di atas kertas putih. Ada yang berwarna sedikit gelap juga ada yang terang. Ya, hanya 2 warna saja yang bisa dilihatnya, yaitu warna hitam dan putih.

Mirai menghela napas, merasa sedikit putus asa. "Bagaimana bisa aku mengharapkan sesuatu yang sudah pasti tak bisa kudapatkan?"

Ia balik ke dalam kamarnya. Tak ingin melihat warna langit menyeramkan itu lagi. Ia berjalan ke arah meja belajarnya dan duduk di sana. Mengeluarkan buku sketsa dari tas sekolah yang diletakkan di samping bangku itu. Tak lupa pula dengan pensil yang biasa ia pakai. Ya, hanya dengan inilah ia bisa tenang. Dari pada melihat warna yang tak mungkin bisa dilihatnya, lebih baik menggambar menggunakan warna yang diketahuinya saja.

Pensil yang dipegangnya mulai ia goreskan di atas kertas. Berawal dari titik membentuk sebuah garis. Garis-garis itu bertemu dan membentuk sebuah bidang. Bila bidang-bidang itu disatukan, maka akan membentuk sebuah ruang. Dan, sampai sinilah ia berhenti.

Mirai melihat ke sekeliling kamarnya, mencari inspirasi. Namun inspirasi yang muncul itu tak ingin digambarnya. Ia ingin menggambar sesuatu yang lain. Sesuatu yang berbeda dari sebuah ruang. Tak bisa menemukan inspirasi itu membuat Mirai kembali murung. Meletakkan pensilnya dan hanya memandang tak semangat dengan hasil gambarnya yang belum sempurna itu.

Mirai membenturkan keningnya ke buku sketsanya itu. Memegangi kepalanya dengan kedua tangan. "Sebenarnya apa yang ingin aku gambar sih?"

Ia menolehkan muka ke arah kiri. Membiarkan kepalanya berbantal buku. Kedua tangan masih ada di meja. Mencoba memejamkan mata, lelah atas kejadian yang menimpanya hari ini. Terlalu banyak yang membebaninya. Ia bahkan tak bisa tidur hanya karena ingin istirahat. Lalu, bagaimanakah caranya mendapatkan tenaganya kembali. Semangatnya lagi-lagi meredup.

Seseorang menyibakkan rambut yang menutupi wajahnya. Mirai langsung membuka mata merasakan sentuhan lembut itu. Melihat orang yang tak asing lagi baginya itu memberikan sedikit semangat dalam hatinya. Tanpa sadar garis bibirnya terangkat ke atas.

"Maaf, aku menganggu tidurmu ya?" tanyanya dengan suara rendah, "dan ... maaf juga masuk kamarmu tanpa izin. Aku lihat pintu kamarmu terbuka. Jadi, aku masuk saja."

Mirai menggeleng pelan. "Kamu sudah pulang? Sejak kapan?"

"Sejam yang lalu. Oh iya, sekarang sudah waktunya makan malam. Bunda menyuruhku memanggilmu."

"Makan malam? Memangnya sekarang sudah jam berapa?"

Mirai segera melihat jam bundar yang tertempel di dinding. Jarum panjangnya berada di antara angka 11 dan 12, sedangkan jarum kecilnya berada tepat di angka 6. Tiga menit lagi menuju pukul 18:00 WIB. Pantas saja Theo memanggilnya.

"Aku akan segera ke bawah. Kamu pergilah dulu."

"Oke." Theo menuruti ucapan Mirai dan menunggunya di bawah.

Mirai segera bangkit dari tempat duduknya. Berjalan menuju kamar mandi dan mencuci mukanya. Setelah membasuh muka dengan air, ia melihat ke arah kaca di depannya. "Apa benar aku tadi tertidur? Tapi rasanya sama sekali tidak seperti orang yang habis bangun tidur."

Termenung beberapa saat memikirkan ucapannya tadi, lalu ia putuskan untuk berhenti. Lebih baik ia segera ke bawah dan makan malam. Dengan begitu, Olivia juga tidak akan terlalu khawatir terhadap kesehatannya.

"Kamu lama sekali, sayang? Habis bangun tidur ya?" Sapa Olivia dengan hangat.

Mirai hanya mengangguk sebagai balasan. Lalu, duduk di salah satu bangku di sana. Tepatnya duduk di samping Olivia, berseberangan dengan Theo yang duduk di samping Adam Zainal Asfar, ayahnya.

Setelah menyantap makanan, Adam meminta Mirai untuk tidak kembali ke kamarnya. Wajahnya terlihat serius, sepertinya ada yang ingin dibicarakannya.

"Tak apa, sayang. Kami hanya akan memberitahumu sesuatu." Olivia memegang pundak Mirai sambil memberikan senyum hangat.

"Mari berpindah tempat," ajak Adam kepada Mirai dan Theo. Mereka bertiga pergi ke ruang keluarga. Sedangkan Olivia masih harus membersihkan peralatan makan terlebih dahulu sebelum ikut bergabung.

Dengan jantung yang berdetak kencang, takut apa yang akan dibicarakan oleh Adam padanya, Mirai menundukkan kepala.

"Ada apa ya, Om?" tanya Mirai memulai percakapan setelah Olivia bergabung bersama mereka.

Mirai memanggilnya demikian karena memang masih canggung walau sudah tinggal di rumah ini selama 5 tahun. Adam tak mempermasalahkan hal itu. Namun jika boleh meminta, ia akan senang jika Mirai mau memanggilnya sebagai ayah.

"Sebenarnya, orang tua kandungmu ingin kamu kembali tinggal di rumah mereka," jelas Adam kepada Mirai. Bukannya ia tak ingin menaruh luka di hati anak itu, tetapi hal ini harus diketahuinya secara Mirai memanglah bukan anaknya.

"Eh? Kembali ... tinggal?" Merasa mendapatkan hadiah terburuk dalam hidup, Mirai yang mendengar kabar itu menjadikan api yang susah payah ia jaga menjadi padam tak bersisa. Hanya kegelapan kelam yang menyelimuti.

🌷⚘🌸 To be Continued 🌸⚘🌷


Jangan lupa tinggalkan jejak ya!😉

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top