Sketsa 3 - Waktu Olahraga

"Jika manusia memilih untuk memulai langkah pertama, pastinya akan ada sesuatu yang menghalanginya. Akankah manusia itu akan memilih untuk menghadapi masalah tersebut?"

🗻⛰🗻⛰🗻

"Hei, Mirai. Di jam pelajaran kedua nanti kan olahraga. Nah, kelas kita dan kelas XI IPS 3 akan digabung dengan kelas XI IPA 1 loh. Jadi, 3 kelas nanti," bisik Fay kepada Mirai.

Mendengar pelajaran olahraga, kelas XI Bahasa memang selalu digabung dengan kelas XI IPS 3 karena murid di kelas Bahasa ada hanya 18 siswa. Peminat kelas ini memang terbilang sedikit. Karena itulah digabung dengan kelas IPS 3 yang jumlah siswanya ada 30 siswa. Tapi, apakah ia tak salah dengar bahwa Fay menyebut kelas XI IPA 1 juga akan digabung dalam kelas olahraga. Ada apa gerangan?

"Apa? IPA 1?"

Fay mengangguk, "Iya."

"Kamu dengar itu dari mana?" Mirai kembali melontarkan pertanyaan.

Sebelum Fay menjawab pertanyaan Mirai, bel masuk kelas tiba-tiba berdering. Para pelajar yang ada di luar kelas segera memasuki kelas mereka masing-masing.

"Uh, sudah bel. Nanti kamu jelaskan padaku ya. Kita harus belajar dulu," ungkap Mirai dengan nada sedikit kecewa.

"Enggak mau dengar sekarang saja?"

Mirai menggeleng pelan. Menolak tawaran Fay yang sayang untuk ditolak. "Tidak, kita harus fokus belajar dulu. Kan bel sudah masuk."

"Oh, sayang sekali, tapi ya sudah kalau begitu. Oke."

Tak butuh waktu lama, guru yang mengajar jam pelajaran pertama telah tiba. Beliau segera memulai pengajarannya. Namun sebelum itu, kelas selalu diawali dengan berdoa.

🎨🎨🎨

"Oh, jadi begitu. Aku kira kamu mendengarnya dari gosip. Kan perempuan suka menggosip," cetus Mirai setelah mendengar peryataan tentang digabungnya kelas mereka dengan kelas sebelah.

Ternyata Fay mendengarnya dari Pak Wilis, guru olahraga yang mengajar kelas 11. Ada perubahan jadwal mata pelajaran di kelas IPA yang totalnya ada 6 kelas tersebut. Entah karena apa, Fay juga tak diberitahu sehingga hal itu tidak bisa ia sampaikan kepada Mirai. Namun, jika ditelaah lebih lanjut, hal itu pasti ada hubungannya dengan guru magang yang masuk ke sini beberapa hari lalu.

"Apa kamu memandangku seperti itu? Aku kan tidak terlalu suka bergosip. Lebih baik bicara langsung di depan orangnya," sahut Fay yang kecewa atas ungkapan Mirai yang menilai bahwa perempuan itu sama saja, sama-sama suka bergosip. Meski benar juga tidak, disalahkan pun juga tidak bisa. Hanya tergantung bagaimanakah pribadi perempuan tersebut. Karena tak ada yang tahu apa yang dipikirkan setiap orang.

"Hm ..., iya sih. Oh iya, setelah Pak Wilis menyuruhmu menyampaikan tentang kelas olahraga kita yang digabung, apa kamu tidak bertanya lebih lanjut?"

Fay menggeleng pelan. "Tidak."

Mirai berdeham sebagai respons. Tidak bertanya lagi dan lebih memilih untuk mengikuti kelas olahraga secara langsung. Dengan begitu, ia akan tahu apakah pemuda yang tadi menabraknya merupakan kelas 11 juga atau bukan.

Seusai berganti baju, mereka berdua bersama teman-teman sekelasnya segera pergi ke lapangan. Ternyata di sana sudah berkumpul salah satu kelas, dan itu bukanlah kelas IPS 3. Ya, kelas yang terkenal sangat rajin itu sudah siap sedia di lapangan. Mereka pun sedang melakukan pemanasan. Sangat berbeda dengan kelas Bahasa yang penghuninya pada santai. Juga sangat jauh berbeda dengan kelas IPS yang urakan.

"Hai, kalian semua! Segera berkumpul, bentuk barisan, dan lakukan pemanasan seperti yang dilakukan kelas XI IPA 1 ya!" Panggil salah satu dari dua guru yang sedang berdiri mengawasi pemanasan yang dilakukan kelas IPA.

Wajah kedua guru tersebut sangat baru bagi para murid di sini. Bagaimana tidak, merekalah guru magang yang akan mengajar di SMA Siluet Warna. Jika bagi murid lainnya merupakan keberuntungan, tetapi perubahan kondisi ini lagi-lagi sedikit menyulitkan Mirai. Meski di tahun sebelumnya juga dilakukan hal serupa, selalu saja Mirai kurang bisa beradaptasi dengan baik. Ia butuh seseorang untuk menariknya di balik tingginya dinding pembatas antara dirinya dengan lingkungan baru tersebut.

Fay yang menyadari hal itu langsung memegang telapak tangan kanan Mirai dan menggenggamnya. Menarik tangan itu dengan lembut sembari tersenyum menenangkan. "Ayo, kita pemanasan dulu."

Mirai mengangguk. Membiarkan Fay menarik tangannya. Kakinya pun dengan senang hati mengikuti ke arah mana kaki Fay pergi. Ia senang mempunyai seorang teman perempuan. Sedangkan teman-teman di kelasnya tak mau repot dengan kondisi Mirai. Padahal Mirai sendiri masih terlihat normal. Hanya karena buta warna dan insomnia dijadikan alasan untuk menjauhinya, itu sangat kejam bukan?

Mencoba berfokus pada lingkungan, mengusir rasa takut juga cemas berlebihan pada hatinya. Mirai mengalihkan perhatian dengan melakukan pemanasan sesuai yang diperintahkan guru tadi. Tak lupa dengan salah satu tujuannya di tempat ini, yaitu mencari salah satu siswa di kelompok IPA itu. Apakah dia juga ada di sana? Kalau tidak ada, pilihannya ada di kelas 10 dan kelas 12 saja.

Tak butuh waktu lama, hanya beberapa detik mencari, Mirai langsung mendapatkan yang ia mau. Ternyata pemuda itu juga kelas 11 seperti dirinya. Hatinya sedikit senang karena telah menemukannya. Dengan begini, ia hanya tinggal mencari tahu namanya.

"Fay," panggil Mirai. "Kamu lihat cowok yang sedang lari itu. Dia namanya siapa ya?"

"Hm? Cowok yang mana?"

"Yang lari itu!" Mirai menunjuk dengan dagunya.

Fay memiringkan kepala tak mengerti. Mencoba mengikuti arah gerakan dagu Mirai pun yang dia lihat adalah gerombolan cowok kelas IPA 1 yang sedang berlari. Jadi, yang dimaksud Mirai itu siapa? Yang mana? Ia sama sekali tak mengerti.

"Itu! Cowok yang larinya paling belakang sendiri. Kamu tahu dia enggak?"

Akhirnya yang dimaksud Mirai pun jelas. Fay pun melihat apa yang dilihat Mirai. Cowok yang berlari di urutan paling akhir itu. Postur tubuh yang lumayan tinggi. Rambut hitam memesona. Raut wajah dingin yang seolah bisa membekukan dunia hati para cewek. Bahkan dirinya sendiri sepertinya kedinginan karena selalu memakai jaket, baik itu di luar, di kelas, maupun di saat olahraga seperti ini pun masih dipakai. Manusia yang fisiknya nyaris sempurna itu sudah dipastikan termasuk deretan siswa ganteng di SMA Siluet Warna.

"Oh, dia ... tunggu! Masa, kamu tidak kenal sih?" Fay terkejut sekaligus heran. Bagaimana bisa cowok semencolok itu tidak dikenal Mirai? "Kamu habis dari era dinosaurus ya? Kok bisa enggak kenal Haru sih?"

"Haru? Itu namanya?"

Fay mengangguk semangat. "Iya. Dia itu terkenal banget loh di angkatan kita seperti Theo-mu itu!"

"Theo bukan punyaku! Dia punya mamanya," potong Mirai, menyela pernyataan aneh dari Fay. Ia tak habis pikir, kenapa Fay tiba-tiba menyambungkan Haru dengan Theo?

"Ish, ya sudah kalau enggak mau. Tapi, awas menyesal loh!"

"Tidak akan!"

Fay tertawa senang. Ia suka menggoda Mirai. Melihat wajahnya yang selalu hampir menangis itu sangat menghibur. Ketika Mirai sedang marah atau kesal, ia pasti akan menangis. Bukannya suka memecahkan barang atau mengamuk tak jelas seperti Theo, Mirai itu sangat penakut dan gampang menangis. Ini menjadi hiburan tersendiri bagi Fay.

"Ayolah, ceritakan lagi padaku tentang dia yang kamu sebut Haru tadi," mohon Mirai. Matanya sudah mulai berkaca-kaca. Ia hampir menangis. Melihat hal itu, membuat Fay mengurungkan niat untuk mengerjainya lebih lanjut.

"Baiklah, baiklah, jangan menangis. Akan kuceritakan. Tapi sebelum itu, ayo kita lari mengelilingi lapangan dulu. Cowok-cowok udah pada lari semua. Sekarang giliran yang cewek. Setelah itu barulah aku ceritakan padamu."

"Eh, iya. Cowok kelas kita sudah lari semua. Tapi, kenapa kelas XI IPS 3 belum datang ya? Ini sudah terlalu telat loh."

Lagi-lagi Mirai mengkhawatirkan Theo. Padahal tadi bilang jangan menyambungkan Theo dengan Haru. Fay agak kesal sedikit atas sifat Mirai yang selalu mengkhawatirkan sesuatu baik itu hal kecil sekalipun. "Benar juga, tapi aku tak peduli. Biar saja si tower itu telat."

Mirai tak menanggapi kekesalan Fay. Meski ia tahu hal itu, tapi ia sudah biasa. Karena memang Theo selalu protektif terhadap Mirai. Sekali ada yang mendekati Mirai, sekalipun itu perempuan, Theo sangat tidak menyukainya. Theo melakukan hal itu juga demi Mirai. Jadi, Mirai dengan senang hati menerima perlakuan khusus tersebut.

"Halo semuanya ... apa kabar!!" Sapa Theo dari kejauhan. Ia bersama teman satu kelasnya baru saja memasuki lapangan. Sekali lihat pun siapa saja langsung mengetahui keberadaannya. Dia yang berjalan sedikit berlari itu sedang tersenyum melambaikan tangan. Dia segera menghampiri Mirai yang sedang bersiap berlari bersama Fay, sama sekali tak menganggap adanya guru di sana.

"Kalian semua, IPS 3! Segera lakukan pemanasan dan lari keliling lapangan! Untuk laki-laki 10 kali. Sedangkan yang perempuan 5 kali! Terutama kamu, anak yang paling tinggi harus 15 kali lari keliling lapangan!" Murka salah satu guru mewakili hati mereka berdua, kesal oleh ulah murid yang baru akan diajar.

"Eh? Kok saya 15 sendiri, Pak? Itu enggak adil! Saya tadi pagi udah capai-capai latihan basket, sekarang malah disuruh lari sebanyak itu?!" Theo langsung protes mendengar perintah dari guru tersebut. Bukannya tak ingin melakukannya ..., sebenarnya ia suka dikasih jatah lebih untuk olahraga, tapi ia tak ingin membiarkan Mirai sendirian. Padahal dia sendiri sudah tahu kalau sudah ada Fay yang menjaga Mirai, tapi ia tak bisa mempercayai perempuan, selain Ibunya dan Mirai saja.

"Sudah, lakukan saja. Jangan membantah guru ya," bisik Mirai memadamkan api yang sebentar lagi membesar agar Theo tidak segera meledak.

"Kalau kamu bilang begitu sih ya sudah. Akan kulakukan," balas Theo yang tadinya sempat emosi, kini kembali melunak.

"Cepat laksanakan!" Perintah guru tadi dengan tampang seram. Yang seperti inilah cikal bakal guru-guru killer. Sayang sekali, padahal wajahnya termasuk yang lumayan ganteng.

Sedikit berbeda dengan guru satunya yang sedang duduk sambil memegang sebuah peluit. Ia hanya menonton partnernya memarahi murid-muridnya. Seolah tak peduli padahal ia sangat peduli. Ada alasan mengapa ia hanya diam sedari tadi.

"Iya, Pak. Siap, laksanakan!" Seru Theo. Langsung melakukan apa yang diinginkan guru itu padanya.

Melihat peristiwa itu membuat seorang siswi yang berdiri di luar lapangan terkekeh geli. Jika ditanya apa yang sedang ia lakukan tentu saja sedang mengintip ketiga kelas yang sedang olahraga tersebut. "It's very interesting. I wanted to get involved too," gumamnya.

🌷⚘🌸 To be Continued 🌸⚘🌷


Jangan lupa tinggalkan jejak ya!😉

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top