Sketsa 2 - Batu Ruby atau Buah Delima
"Kala jalan sudah mulai terbuka lebar, akankah manusia memilih untuk melewatinya atau hanya berhenti dan ragu mengambil langkah pertama?"
🗻⛰🗻⛰🗻
Mirai hanya menatap lurus papan tulis putih yang tergantung di tembok depan kelas. Posisi duduknya ada di bangku paling depan, depan papan tulis. Ia sama sekali tak bergerak dari lima menit yang lalu, setelah ia masuk ke kelas dan duduk di bangkunya.
"Mirai! Halo ... Mirai. Kamu masih di sini kan? Mirai? Jawab dong! Jangan diam saja!" Seru Kirana Fayra, teman sebangku sekaligus ketua kelas XI Bahasa yang takut akan keadaan Mirai saat ini.
Sedari tadi, Fay terus-menerus mencoba memanggil Mirai sampai mengibas-ngibaskan tangannya di depan wajahnya. Mirai sama sekali tak menunjukkan gerak-gerik apa pun untuk membalasnya. Fay sampai bingung sendiri melihat sekretaris kelasnya bengong seolah jiwanya ada di dunia lain.
"Mirai, kamu kenapa sih? Jangan buat aku khawatir dong," ungkap Fay dengan muka hampir menangis. Namun, hal itu ia urungkan kala mendapati seorang laki-laki jangkung sedang berjalan ke kelasnya. Kedatangan siswa dari kelas XI IPS 3 itu membuat mata Fay berbinar seolah mendapatkan cahaya ilahi.
"Halo, apa kabar kalian semua?," sapanya tatkala memasuki kelas. Tanpa menunggu jawaban dari sang penghuni kelas, ia berjalan mendekati Mirai dan Fay.
Para penghuni kelas XI Bahasa sudah terbiasa atas kedatangan pemuda itu. Bukan hanya setiap hari, setiap bel istirahat dan bel pulang sekolah berbunyi, ia segera datang kemari mengunjungi sang pujaan hati.
"Untung saja kamu datang, Theo. Lihatlah Mirai! Kelas saja belum dimulai, tapi dia sudah konslet begini. Kamu bisa balikin dia ke semula, enggak?," sembur Fay ke pemuda tadi.
"Apa? Mirai kenapa?" Seketika wajahnya yang ceria langsung khawatir. Ia segera mendekat dan melihat gadis yang tinggal satu atap dengannya itu. "Mirai? Kamu kena apa kok bisa bengong gini? Kamu bisa dengar aku ngomong kan?"
Sebuah keajaiban terjadi. Mata Mirai langsung berkedip saat mendengar suara bass yang keluar dari mulut Theo. Manik matanya menatap ekspresi wajah teman sekolah sekaligus teman serumahnya yang khawatir itu. "Memangnya aku kenapa? Aku tidak apa-apa. Kalian berdua terlalu khawatir. Aku hanya sedang kepikiran sesuatu saja," jawabnya santai seolah tak ada masalah apa pun.
"Tapi kamu bengong aja dari tadi. Bikin orang khawatir tauk! Jangan diulangi ya," tukas Fay.
Mirai tersenyum, menampakkan bahwa dirinya memang baik-baik saja di depan mereka. Lain halnya dengan yang ada di dalamnya. Walau begitu, ia mencoba agar tidak dikhawatirkan siapa pun. "Iya, aku tidak apa-apa."
"Yakin nih enggak apa-apa? Kalau ada yang ngapa-apain kamu, artinya orang itu harus mati!" Murka Theo yang tak berdasar.
Fay yang mendengar hal itu langsung menaikkan salah satu alisnya. "Hah? Jadi, kalau aku membuat Mirai menangis, kamu juga akan membunuhku, begitu? Cowok kok gak gentleman banget sih!"
Theo langsung menutup mulutnya, tak ingin dan tak bisa membalas perkataan Fay yang 100% benar itu. Pandangannya pun beralih ke arah lain. Lagi-lagi ia terlalu berlebihan jika itu menyangkut Mirai. Padahal mereka berdua hanya sebatas teman. Tak kurang, juga tak lebih. Ia sama sekali tak mengerti mengapa dirinya bertindak tak seperti dulu.
"Sudahlah, kalian berdua jangan bertengkar. Oh iya, Theo. Kamu latihannya sudah selesai?" Tanya Mirai.
Theo berdeham sebagai jawaban. "Iya, tapi nanti sore ada latihan lagi. Jadi, kita enggak bisa pulang bareng. Maaf ya."
Mirai menggelengkan kepala lalu tersenyum kecil. "Tidak apa-apa. Kan sebentar lagi ada pertandingan basket antar sekolah. Kamu fokus ke itu saja."
"Ya, memang itulah yang sedang kutekuni," ujar Theo, sangat bangga. "Eh, iya. Sudah jam segini. Lima menit lagi masuk. Aku harus ke kelasku. Nanti istirahat aku ke sini lagi." Ia segera berlari keluar menuju ke kelasnya sendiri.
"Lebih baik enggak usah ke sini biar aku bisa istirahat berdua saja dengan Mirai," cetus Fay yang jengkel sendiri karena tak pernah istirahat berdua dengan Mirai. Theo selalu mengikuti bagai bodyguard yang enggak perlu-perlu amat.
Mirai terkekeh. "Sering-seringlah bicara dengan Theo. Nanti kamu akan menemukan sifat baiknya."
Fay menghela napas kasar. "Kamu yakin bilang begitu?"
"Memangnya kenapa?"
"Tidak. Tidak apa-apa," pungkas Fay, mengakhiri pembicaraan. "Ternyata kamu bisa enggak peka juga ya," lirihnya yang ternyata tak terdengar oleh telinga Mirai.
Empat menit menuju bel masuk sekolah berdering. Sembari menunggu, Mirai menyiapkan buku dan bahan pelajaran jam pertama. Seusai menyiapkan semua di meja, Mirai melirik ke arah luar kelas. Tatapannya lagi-lagi tak terfokus. Mirai kembali mengingat peristiwa beberapa menit yang lalu di sekitar gerbang depan sekolah.
"Kamu ...."
"Apa? Ada perlu denganku?" tanya pemuda yang menabraknya tadi.
"Wajah itu ...." Mirai menunjuk khawatir pemilik wajah itu. Tangannya sedikit bergetar, takut.
"Ada apa dengan wajahku?"
"Tidak. Bukan apa-apa." Tidak. Bukan itu yang ingin dikatakannya. Mirai sangat ingin bilang bahwa wajah itu adalah wajah yang sama yang selalu muncul di dalam mimpinya. Sangat mirip atau bahkan memang wajah itulah yang sebenarnya.
"Kalau tidak ada apa-apa, aku pergi dulu."
"Ah, tunggu!" Mirai segera memegang tangan siswa itu. Ia tak ingin melepaskannya. Ia ingin tahu mengapa wajah itu sama persis seperti wajah orang yang muncul di mimpinya. Dan lagi, matanya ....
"Hei, ada apa lagi?" Pemuda itu mulai memasang raut tak suka.
Hal itu membuat Mirai langsung melepas cekalan tangannya dan menundukkan kepalanya. Kemudian, kembali melirik manik mata yang membuatnya sangat tertarik itu. Dilihat bagaimanapun dan seberapa lama pun tetap saja masih sama. Mata itu ... iris mata yang berwarna merah yang mengingatkan siapa saja akan batu ruby ataupun buah delima.
Mirai sangat membutuhkan penjelasan akan hal ini. Bagaimana bisa ia melihat warna padahal ia pengidap buta warna total. Apa ini keajaiban ataukah ... kesialan? Kenapa hal ini tiba-tiba terjadi padanya? Jika ia bertanya pada pemuda itu, apakah dia akan menjawabnya? Tapi, ia tak suka dan tak bisa berbagi masalahnya dengan orang lain. Itu bukan kebiasaannya. Lalu, pada siapa ia harus mencari tahu tentang ini?
"Hei, cewek aneh. Aku benar-benar akan pergi nih."
"Ehm ... itu ... apa warna matamu itu benar warna merah?" Mirai sedikit berhati-hati dalam bertanya. Ia sangat ingin tahu sekaligus tak ingin menggangu pemuda itu.
Pemuda itu mengerutkan dahi. "Masalah buatmu?"
"Eh, tidak. Bukan begitu! Anu ...," belanya pada dirinya sendiri. Mirai kembali menunduk. Ragu-ragu ia melirik pemuda itu. Mencari sesuatu agar ia bisa memanggilnya. Namun seragamnya saja ditutupi jaket. Logo kelas bahkan name tag pun tak bisa ia lihat. Bagaimana caranya ia bisa memanggilnya? "Itu ... namamu siapa?"
"Kalau aku tidak mau memberitahu namaku, apa yang akan kau lakukan?"
Sungguh, berbicara dengan cowok ini pasti akan membuat jengkel siapa pun yang mendengarnya. Tak terkecuali dengan Mirai. Ia pun merasa seperti itu. Tapi, ia tidak boleh kesal begitu saja. Lebih baik hadapi dia dengan kepala dingin.
"Setidaknya beri tahu kelasmu," pinta Mirai.
"IPA 1. Sudah ya, sampai sini saja kita bicara. Lain kali jangan bertemu denganku. Lebih buruk lagi jika kau mencariku." Hanya itu yang dikatakannya lalu pergi meninggalkan Mirai yang masih ingin bertanya lebih banyak lagi.
"IPA 1? Kelas 10 atau kelas 11? Atau jangan-jangan dia kakak kelas? Uh, apa lebih baik tadi dia kupanggil 'kak' saja?" Bingung dan bimbang kembali menyelimuti. "Baru kali ini aku melihat wajah itu di dunia nyata. Dan, ... ah, sudahlah. Lebih baik aku pergi ke kelas."
Begitulah peristiwa yang terjadi padanya tadi. Mirai benar-benar bingung harus bagaimana. Apakah ia harus menutup mata dan membiarkan semua mengalir seperti biasa ataukah mencoba mengubah aliran airnya?
"Hei, Mirai. Di jam pelajaran kedua nanti kan olahraga. Nah, kelas kita dan kelas XI IPS 3 akan digabung dengan kelas XI IPA 1 loh. Jadi, 3 kelas nanti," bisik Fay kepada Mirai.
"Apa? IPA 1?"
🌷⚘🌸 To be Continued 🌸⚘🌷
Jangan lupa tinggalkan jejak ya!😉
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top