Sketsa 1 - Mimpi Itu Lagi

"Semua berawal dari sebuah peristiwa. Peristiwa yang akan membawa kehidupan ke arah jalan bercabang. Di antara jalan itulah, manusia harus memutuskan pilihan."

🗻⛰🗻⛰🗻

Terdengar suara langkah kaki yang mendekat. Suara itu milik seorang pemuda dengan postur tubuh yang lumayan tinggi. Berkulit putih bersih. Warna iris mata yang unik bagai batu ruby. Mata tajam miliknya menatap seorang perempuan yang sedang tersimpuh di depannya.

"Kamu tak bisa kabur," ujarnya pada perempuan itu. Ekspresinya yang dingin tak dapat menutupi wajahnya yang rupawan. Malah semakin menambah nilai positif untuknya.

Perempuan itu tak memberikan respon apa pun. Hanya menatap tanpa ekspresi dengan wajah yang dipenuhi oleh debu dan tanah. Gaun yang dipakainya pun compang-camping, lusuh. Tangan pucatnya yang tak bertenaga dibiarkan begitu saja terjun menyentuh tanah. Keadaannya tersebut seolah tak ada harapan lagi ia bisa hidup lebih lama.

Lelaki itu kembali mengatakan sesuatu, tetapi tak terdengar jelas oleh perempuan tersebut. Ia mengambil kedua tangan lemas si perempuan dan memeganginya dengan satu tangan. Tangannya yang lain mengambil sesuatu dari dalam saku celananya.

Lagi-lagi, lelaki itu mengatakan sesuatu dan tak dapat didengarnya. Sembari menunjukkan sepasang benda berbentuk lingkaran yang tengahnya bolong kepadanya. Benda itulah yang tadi diambil dari saku celana, lalu memakaikannya di pergelangan tangan si perempuan.

Tiba-tiba, rasa panas menjalar dari benda berbentuk gelang tersebut. Temperaturnya terus meningkat seolah ingin membakar tubuhnya. Benar saja, sedikit demi sedikit tubuhnya berubah menjadi serpihan cahaya lembut. Kala terkena angin, cahaya itu musnah.

"Semoga engkau tenang di alam sana," gumam lelaki itu setelah menyaksikan peristiwa tersebut.

Tiba-tiba pandangan menjadi buram. Berganti dengan plafon kamar berwarna putih.

"Mimpi itu lagi ...," lirih Mirai yang tubuhnya masih terbaring di kasurnya. "Aku bahkan sampai tidak tahu harus berbuat apa karena terlalu sering memimpikannya."

Suasana kamar begitu hening. Mirai bangun dari tidurnya dan duduk diam sebentar selama beberapa detik. Kemudian, ia melirik sebuah jam digital berbentuk persegi panjang dengan ornamen seperti bunga melati di bagian atasnya. Angka yang terpampang di sana menunjukkan waktu pukul 3 dini hari. Masih terlalu pagi untuk bangun tidur.

"Ya ampun, lagi-lagi aku bangun jam segini." Mirai memanyunkan bibirnya, kesal. Ia sangat mengetahui keadaan tubuhnya sendiri. Sekali ia bangun seperti ini, maka ia tidak bisa tidur lagi. Ya, ia merupakan penderita insomnia yang cukup parah.

Mirai menyibakkan selimut yang menutupi kakinya. Lalu, turun dari tempat tidur. Pelan-pelan, ia berjalan ke arah pintu kamar dan menghidupkan sakelar lampu di sampingnya untuk menerangi kamarnya.

Setelahnya, Mirai melangkah ke arah meja belajar. Ia mengambil  buku sketsa dan sebuah pensil khusus. Membawa kedua benda tersebut ke atas kasur beserta badannya. Dibukalah buku tersebut, mencari halaman yang masih kosong dan mulai menggores-goreskan pensil gambar di atasnya. Itulah caranya untuk mengisi waktu luang selagi menunggu pagi.

🎨🎨🎨

Pagi telah tiba sejak tadi. Mirai masih menyisir rambut lurusnya sembari bercermin. Kala selesai merias diri, meski tanpa bedak setitikpun, ia segera mengambil tas ransel yang ada di atas kasur. Untungnya, selesai menggambar tadi subuh segera ia persiapkan buku-buku pelajaran hari ini.

Tanpa menunggu panggilan alarm alami, Mirai segera turun ke bawah. Saat menuruni tangga, ia disambut oleh senyuman seorang wanita paruh baya sang pemilik rumah. Mirai balas tersenyum padanya.

"Baru saja ingin kupanggil, ternyata kamu sudah turun duluan. Ayo sarapan dulu sebelum berangkat sekolah," ucap beliau memulai percakapan.

"Iya, Tante," jawab Mirai dengan sedikit tersenyum canggung.

Benar, wanita itu bukanlah ibunya. Tante kandung pun juga bukan. Sebenarnya, wanita itu adalah sahabat dari ibu kandungnya. Walau begitu, wanita itu sudah ia anggap sebagai keluarga. Begitu pula dengan beliau yang menganggapnya sebagai keluarga. Jauh berbeda dengan ibu kandungnya sendiri yang tak menganggap Mirai sebagai anaknya. Begitulah alasan Mirai dapat tinggal di rumah ini sekarang.

Merasa ada hawa aneh yang menerjangnya, Mirai segera mengoreksi ucapannya. Mengingat bahwa beliau tak suka jika Mirai memanggilnya tante karena terdengar seperti bukan keluarga. "Maksudku ... iya, Bunda."

Seketika hawa tak enak tadi langsung berubah menjadi angin musim semi. "Jangan diulangi lagi ya, sayang," cetus Olivia Safitri kepada Mirai.

Di sela-sela makan, Mirai teringat anak dari Olivia yang sebaya dengan Mirai. Melihat anak itu tidak sarapan bersama mereka, membuat Mirai merasa penasaran. "Oh iya, Bunda. Theo ada di mana? Kenapa tidak sarapan bersama?"

"Dia sudah berangkat sekolah duluan. Katanya ada latihan basket," sahut Olivia. Lalu, kembali memasukkan makanan ke dalam mulutnya.

"Hm ..., begitu ya."

Selesai sarapan, Mirai segera berangkat ke sekolah. Dengan menaiki bus selama 10 menit, ia pun sampai di gerbang depan sekolah SMA Siluet Warna.

"Masih ada banyak waktu sebelum bel masuk berbunyi," gumam Mirai tatkala melihat jam yang melingkar di lengan kirinya. Waktu masih menunjukkan pukul 06:40 WIB. Masih ada waktu 20 menit sebelum masuk kelas.

Dengan santai, Mirai berjalan menuju ke kelasnya. Mendadak ada seorang pemuda yang menabraknya dari belakang. Ia pun terhuyung dan hampir jatuh. Untung saja ada pot bunga besar di sampingnya. Akhirnya, dipeganglah pot tersebut dan ia pun selamat dari mencium tanah.

"Astaga, siapa yang lari-larian jam segini sih?" Mirai menengok kanan-kirinya, mencari pelaku yang menabraknya.

"Sorry, aku buru-buru," sergah pemuda itu yang sadar telah menabrak Mirai.

Mirai menatap tak suka si pemuda tadi. Namun, tiba-tiba tatapannya melunak. Iris mata Mirai yang berwarna violet terbelalak kala melihat muka si pemuda itu. Mulutnya menganga, tak percaya. "Kamu ...."

🌷⚘🌸 To be Continued 🌸⚘🌷


Jangan lupa tinggalkan jejak ya!😉

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top