Prolog
Gadis itu terpaku di depan pintu yang terbuka. Wajahnya pucat pasi seolah sedang tertangkap basah melakukan kejahatan. Mulutnya menganga tak percaya dengan yang dilihatnya. Matanya terfokus pada seseorang yang tergeletak di lantai dengan cairan merah yang terus merembes dari tubuhnya. Cairan itu terus keluar sampai menggenang dan membasahi seluruh tubuh korban.
Setelah mencerna apa yang dilihatnya, tubuhnya langsung terasa lemas seolah semua energinya telah terserap keluar. Buku sketsa yang dipegangnya pun terjatuh. Tangannya beralih menutup mulutnya. Rasa mual pun muncul dan hampir dimuntahkannya. Untungnya masih bisa ia tahan.
Sembari berpikir keras, ia mengambil kembali buku sketsanya yang terjatuh. Ia tahu bahwa ini saatnya untuk kabur. Namun kakinya tidak bisa diajak kompromi. Dengan sekuat tenaga ia melawan hal itu. Alhasil ia bisa mundur beberapa langkah.
"Bagaimana ini? Apa yang harus kulakukan? Haruskah aku meninggalkannya dan kabur? Tidak. Aku tidak bisa, tapi ... orang ini adalah orang yang beberapa saat lalu aku gambar."
Masih kalut atas keputusannya, dari kejauhan ada seseorang yang dikenalnya mulai mendekat ke arahnya. Mengetahui hal itu membuatnya kelabakan. Orang itu tidak boleh tahu apa yang baru saja ia lakukan. Jadi, pilihan terbaik menurutnya saat ini adalah kabur.
Kembali melihat korban dalam ruangan, ia merasa bersalah. Matanya menutup karena tak kuasa melihatnya. Ia juga menggigit bibir bawahnya menahan takut. Tangan kanannya yang masih gemetaran mencoba menutup pintu itu dan menguncinya. Setelah itu, ia segera membuang kunci itu ke sembarang tempat.
"Maafkan aku. Aku harus melakukan ini," ujarnya pada korban itu dan kabur meninggalkannya.
Ia berjalan ke arah orang yang mendekatinya tadi. Orang itu menyapanya dan bertanya apa yang dilakukannya di sekitar sana. Dengan masih merasa was-was serta rasa bersalah yang semakin bertumpuk itu, ia tak bisa menjawab pertanyaannya. Mulutnya seakan telah terkunci. Jika ia masih memaksa menjawab, suara serak yang akan menyambutnya.
"Hei, kamu tidak apa-apa? Apa kamu sakit?"
Saat ditanya seperti itu, ia hanya bisa menggelengkan kepala sebagai jawaban. Ia tak bisa berkata jujur padanya tentang hal ini. Ia takut, sungguh takut. Karena ketakutan inilah menyebabkan air mata yang sedari tadi dipendamnya terpaksa keluar di depan orang itu.
"Lo, kamu menangis? Kenapa? Siapa yang membuatmu menangis?"
"Ti-tidak. Aku tidak apa-apa." Benar saja, suara yang keluar dari mulutnya benar-benar serak.
"Ayolah, katakan! Siapa yang berani membuatmu menangis? Akan kuhantam orang itu biar kapok."
Ingin rasanya ia berkata tidak, tapi mengingat suaranya yang serak itu ia urungkan. Ia tak bisa mengatakan kalau yang membuatnya menangis adalah orang yang ada di hadapannya kini. Dialah yang membuatnya menangis karena tak bisa menceritakan kebenaran padanya. Ia tak ingin kehilangannya. Itulah alasan ia menangis.
"Maaf," balasnya pada orang yang sudah dianggapnya istimewa itu.
Dengan berat hati, ia meninggalkan orang itu. Ia tak ingin orang itu terlibat lebih jauh. Tapi ia tak sadar bahwa yang dilakukannya kini malah semakin membuat orang itu terseret semakin dalam. Sedangkan yang ditinggalkan itu sudah tersulut amarah dan pergi ke arah lain. Mencari seseorang yang kemungkinannya menjadi sebab gadis yang disayanginya menangis.
Masih berlinang air mata, gadis itu terus melangkahkan kakinya tanpa tujuan. Yang terpenting kini adalah ia harus berlari menjauh dari orang itu. Menjauh juga dari tempat itu. Menjauh dari hal-hal yang menyebabkan hal yang berharga baginya terlibat.
Di tengah ketidakberdayaan itu, ia menabrak seorang gadis yang lebih muda satu tahun darinya. Gadis itu menatapnya sinis.
"Terjadi lagi?", tanya adik kelasnya tersebut.
Mata gadis itu terbelalak kaget. Bagaimana bisa adik kelasnya itu tahu akan hal ini. Ia bahkan tak pernah mengatakan hal ini padanya. Takut, tentu saja ia semakin takut. Jika semudah itu orang bisa tahu masalahnya, maka orang itu akan ikut terlibat. Padahal ia sama sekali tak ingin akan hal itu.
Tak ingin menjawab pertanyaan itu, ia segera berlari lagi. Menjauh dan semakin menjauh. Kalau bisa, ia ingin menghilang dari dunia ini.
Seolah langit tahu akan perasaannya, langit malam yang tadinya dipenuhi oleh bintang-bintang bergemerlap kini telah tertutup awan mendung. Gerimis mulai mengguyur tubuhnya. Semakin lama semakin deras. Bajunya pun semakin basah olehnya.
Di tengah hujan lebat itu, ia berkali-kali telah terjatuh dan bangkit. Namun ketika ia sampai di taman, ia terjatuh dan tak bisa lagi bangkit. Tenaganya benar-benar telah terkuras. Napasnya pun terengah-engah. Sembari beberapa kali batuk karena air hujan masuk ke hidung maupun mulutnya.
Di tengah keadaannya yang tak berdaya itu, sesosok laki-laki berdiri di depannya dengan membawa sebuah payung. Gadis itu mendongak, menatap pemilik postur tubuh jangkung itu, meski tak setinggi cowok yang tadi ditemuinya yang ingin membalaskan dendam karena ada seseorang yang telah membuatnya menangis.
Cowok itu berjongkok menyesuaikan pandangan. "Keadaanmu sangat menyedihkan," ucapnya yang sangat tepat sasaran.
"Kamu ke sini ingin mengejekku?" Untung suaranya sudah tak seserak yang tadi.
Cowok itu menghela napas. Ia mengulurkan tangannya. Sedangkan gadis itu menatapnya bingung, tak tahu arti dari perbuatannya.
"Jangan hujan-hujanan. Nanti kau sakit."
"Apa pedulimu?"
"...."
"Aku ... tak ingin menggambar lagi."
"Bukankah itu hobimu?"
"Aku tak ingin kehilangan mereka."
"Kalau begitu ... gambar saja aku."
Merasa ada masalah terhadap alat pendengarannya, ia bertanya memastikan. "Apa?"
"Gambar aku."
"Tapi-"
"Jangan membantah!"
Gadis itu membalas menggeleng. "Aku tidak mau! Kamu bisa mengalami hal seperti mereka."
"Tidak akan."
Gadis itu tak percaya dengan yang didengarnya. Dia menatap dalam mata cowok itu. Ternyata tak ada sedikitpun keraguan dari ucapannya barusan. "Kenapa kamu bisa seyakin itu?"
"Kalau aku tidak yakin, tidak mungkin aku mengatakan ini padamu."
Sekali lagi, cairan bening mengalir membasahi matanya. Mengetahui hal itu, si cowok dengan sergap menariknya dalam dekapannya. Membiarkan si gadis menangis dan mengeluarkan semua rasa sedihnya itu.
Begitu pula dengan si gadis, tanpa sungkan ia membasahi kemeja si cowok dengan air matanya. Inilah yang diinginkannya sekarang. Melepas semua rasa lelahnya. Mengeluarkan semua yang sudah dipendamnya selama ini dalam tangisnya.
Baru pertama kalinya ia menangis sekeras itu. Untung saja hujan meredam suaranya. Meski sadar, ia tak merasa malu sama sekali. Inilah balasan untuk cowok yang telah mendekapnya itu. Biar saja bajunya basah. Biar saja ingusnya menempel pada baju itu. Kerena dialah yang memulai semuanya. Jadi, dia harus bertanggung jawab karena telah mengaktifkan kekuatannya. Dialah juga yang harus membantunya memecahkan semua masalahnya. Semuanya berawal dan berakhir padanya.
🌷⚘🌸 To be Continued 🌸⚘🌷
Jangan lupa tinggalkan jejak ya!😉
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top