42. Berkah dan Keajaiban

"Apa itu?" tanya Ayna yang baru saja keluar dari kamar. Ia baru saja selesai mandi. Dan ketika keluar kamar, ia melihat Imbang tengah sibuk di ruang makan dengan bungkusan besar yang ditaruhnya diatas meja.

"Kiriman dari Ibu." jawabnya tanpa menoleh kearah Ayna.

Ayna ikut duduk disamping Imbang. Melongokkan kepala, melihat isi paketan itu. "Ohh," gumam Ayna ketika mengetahui isi paketan itu.

Seperti biasa, Ibu Imbang mengirimi mereka paketan ramuan herbal penyubur dan mereka wajib meminumnya. Ayna ingat ketika usia pernikahan mereka sudah menginjak tahun pertama. Ibu mertuanya menanyakan tentang cucu dan Ayna hanya bisa diam, tidak bisa menjawab pertanyaan Ibu mertuanya. Dan pertanyaan itu berlanjut setiap bulannya saat ia menghubungi Ibu Imbang. Dan akhirnya ibu mertuanya bertanya apakah ada masalah sehingga Ayna belum bisa hamil. Dan Ayna hanya menjawab kalau memang Tuhan belum memberikan mereka rezeki anak pada mereka. Dan ibu mertuanya mengerti dan tidak bertanya lagi. Dan sebagai konsekuensinya setiap bulan mereka mendapat paketan yang harus mereka minum.

Namun Ayna bersyukur ia mendapat mertua seperti ibu Imbang. Mertuanya bukanlah tipe mertua comel yang suka merecoki kehidupan anaknya. Dan tanpa tendeng aling-aling langsung menyalahkan menantu perempuan karena belum hamil juga. Andai seperti itu mungkin Ayna dengan tega akan mengatakan bahwa bukan dialah yang bermasalah tapi Imbang. Tapi, untunglah tidak seperti itu.jadi Ayna tidak perlu membuka rahasia keluarganya. Dan Ibu mertuanya dengan baik hatinya mengirimi mereka obat. Dan sebagai menantu yang baik dan menghargai perhatian mertuanya Ayna akan dengan senang hati memaksa Imbang untuk meminumya, karena suaminya itu sedikit anti dengan hal-hal seperti itu.

"Padahal yang kemaren masih ada." Imbang telah selesai membuka isi paketan dari Ibunya. Dan menaruhnya dilaci penyimpanan.

"Cuma cukup buat dua hari itu." jawab Ayna, berjalan ke arah kulkas mengambil jus strawberry yang telah dibuatnya tadi.

"Ay." panggil Imbang.

Ayna yang masih mencari makanan di kulkas bergumam menjawab panggilan Imbang.

"Kalau kita belum punya anak juga. Kita adopsi aja ya?" ucap Imbang yang membuat gerakan Ayna didalam kulkas terhenti. Ia menutup kulkas dan berjalan ke arah Imbang.

"Kita kan masih usaha." Ayna duduk disamping Imbang. "Nanti kalau aku udah wisuda, dan aku belum juga hamil kita bisa adopsi atau kita ikut program bayi tabung." lanjut Ayna.

Akhir-akhir ini Imbang seperti tidak ada semangat lagi mengikuti program kesehatan yang sedang mereka jalani. Suaminya itu seperti menyalahkan dirinya atas ketidak mampuannya memberikan anak dalam rumah tangga mereka. Ayna pernah bertanya pada seorang teman yang pernah mengalami hal yang sama. Dimana ada suatu masa suami temannya itu tidak percaya diri atas dirinya sendiri. Dan merasa tidak pantas untuk istrinya karena tidak bisa memberikan keturunan. Dan disinilah peran istri dibutuhkan. Masa dimana mereka harus saling menguatkan. Masa dimana kepercayaan itu harus ditumbuhkan.

"Aku nggak bisa bikin kamu jadi wanita seutuhnya. Aku nggak bisa bikin kamu bahagia. Aku bukan..."

Ayna membekap mulut Imbang dengan tangannya, menggelengkan kepala tanda ia tidak mau Imbang melanjutkan kata-kata yang tidak berguna. "Kalau kamu ngomong yang macam-macam itu akan lebih menyakitkan lagi buatku. Jadi berhenti berfikir yang tidak-tidak. Berhenti untuk menyalahkan dirimu sendiri." ucap Ayna dengan berurai airmata.

"Maaf," lirih Imbang, memeluk ayna menangis bersama istrinya itu. Entah mengapa ia menjadi begitu sentimentil. Diusia perkawinan mereka yang keempat ini ia merasa belum bisa membahagiakan istrinya itu. Anak adalah faktor utamanya.

Ayna menyeka air matanya dengan menarik krah baju Imbang. Kemudian melerai pelukan Imbang. "Jangan ngomong kayak gitu lagi ya, Yang." ucap Ayna dengan suara seraknya. "Kan kamu udah janji nggak akan nyakiti aku dengan ngebahas masalah anak." ingat Ayna. "Kalau kamu emang cinta aku , stop untuk ngebahas anak. Anak dan kamu adalah kebahagian buat aku. Tapi aku lebih bahagia kalau sepanjang umurku ada kamu di sisiku. Jadi jangan pernah menyalahkan dirimu untuk apa yang belum Tuhan kasih ke kita. Kita masih punya waktu seumur hidup untuk berusaha. Aku cinta kamu, dan akan semakin cinta lagi kalau kamu bahagia bersamaku." Ayna tersenyum kearah Imbang mendekatkan wajahnya hingga bibirnya menyentuh bibir suaminya itu dan memberi kecupan kecil disana.

Imbang memeluk Ayna dengan senyum yang mengembang dipipinya. "Aku lebih cinta kamu." bisiknya.

***

Ayna melingkarkan tangannya di pinggang Imbang, kakinya membelit kaki suaminya erat. Menjadikan tubuh suaminya itu seperti guling, matanya terpejam. Sementara Imbang sang guling hidup bersandar dikepala soda bed dengan bantal penyangga. Dengan tangannya, ia mengusap-usap lengan Ayna sayang berharap dengan usapan tersebut Aynanya bisa terlelap.

"Nanti, kalau anak kita perempuan aku mau kasih nama dia Oshina." gumam Ayna. Membuat usapan Imbang di lengan Ayna langsung berhenti. Ia mengangkat kepalanya agar dapat menatap mata istrinya.

"Kenapa Oshina?" tanyanya setelah merebahkan kembali kepalanya. Mata istrinya itu masih masih terpejam, "Kamu dan aku nggak ada keturunan Jepang. Dan kita tidak pernah membuatnya di Jepang. Jadi kurasa aneh saja kalau kita memberinya nama Oshina." ujar imbang dan langsung dihadiahi cubitan oleh Ayna.

Imbang langsung mengaduh kesakitan karena mendapat cubitan di perutnya. Istrinya itu suka sekali mencubitnya diperut dan rasanya sangat sakit.

"Mesum banget sih omongannya." sungut Ayna. Tapi tangannya bergerak mengusap ditempat ia mencubit Imbang tadi. Hal yang biasa ia lakukan setelah mencubit Imbang.

"Habisnya kamu aneh." keluh Imbang.

Akhirnya setelah empat tahun lebih mereka menikah Tuhan berbaik hati juga dengan menitipkan anak dirahim istrinya. Ya, sekarang Aynanya tengah mengandung tujuh minggu, buah dari sabar dan usaha mereka selama ini.

"Itu bukan aneh. Itu wajar." kesal Ayna. Ia tidak terima kalau Imbang mengatainya aneh. Wajarkan seorang Ibu menyiapkan nama untuk anaknya dan Ayna ingin nanti anaknya diberi nama Oshina.

"Ya, ya terserah kamu. Tapi kenapa harus Oshina. Bukannya banyak nama Jepang lainnya. Yuki, Nami, atau Miyabi mungkin?" ucap Imbang asal. Dan sekali lagi ia mendapat cubitan di perutnya yang membuatnya ingin beranjak dari sisi Ayna.

Ayna mengangkat kepalanya dari lengan Imbang. Melepaskan lilitan kakinya pada tubuh suaminya itu. Kemudian bergeser dan duduk bersandar di kepala sofa bed yang mereka tiduri "Kenapa harus Miyabi, kamu sering ya nonton filmnya? Atau sering berfantasi tentang dia?" Ayna menatap Imbang sengit. Tangannya bersidekap di dada tanda ia kesal.

Imbang duduk dihadapan Ayna, mengaruk kepalanya yang tak gatal. Ia tadi salah bicara. Bodohlah namanya kalau ia masih berfantasi tentang wanita lain, sementara dalam hidupnya ada wanita yang lebih menarik dari wanita manapun di dunia ini. Yang akan menjadi dari ibu dari anak-anaknya. Ingin ia mengatakan kalimat rayuan seperti apa yang ada di kepalanya saat ini. Tapi, rasanya percuma, sudah dipastikan si Nyonya tidak akan percaya dengan kata-katanya. Dan salah-salah ia malah mendapat masalah yang lebih lagi. Kareana sejak hamil Ayna itu mudah ngambek. Apa-apa ngambek. Salah ngomong sedikit saja ngambek. Jadi Imbang harus pandai-pandai merangkai kata.

"Ya ampun Ay, mana kepikiran aku kesana. Miyabi kan nama Jepang. Lagian ngapain juga pake fantasi-fantasi segala, ada kamu ini yang lebih nyata. Yang lebih segalanya, Miyabi mah lewat Ay." Imbang mengambil tangan kanan Ayna dari dekapan istrinya itu lalu membawanya dalam genggamannya dan menaruhnya di dadanya. "Nah, kamu bisa ngerasainkan debaran jantungku. Kamu itu lebih dari segalanya buat aku. Kamu itu kayak debaran jantungku itu, tanpa itu aku mati. Jadi nggak akan mungkin aku memikirkan yang lain sementara hidup aku itu adalah kamu. Jangan ngambek dong, kasian anak kita." Imbang mendekatkan tubuhnya pada Ayna, mendekap istrinya itu.

"Habis kamu itu, masa anakku mau diberi nama Miyabi. Aku maunya cuma Oshina. Kamu tau Oshin kan? Nah, aku suka Oshin jadi nama anakku nanti harus ada Oshinnya."

"Kamu kayak sepantaran aku aja, kok tau Oshin, itukan film lama." Imbang mengusap rambut Ayna, kembali mengajak istrinya itu berbaring.

"Kan pernah tayang di TVRI jadi aku pernah nonton. Dari pada aku nonton siaran yang nggak penting mending aku nonton Oshin ceritanya lebih menginspirasi." jawab Ayna. "Tapi boleh ya Mbang nanti aku kasih nama anakku Oshina?" tanya Ayna lagi. Ia menengadah menatap Imbang.

"Anak kita Ay, kan kita bikinnya kolaborasi." Imbang menyentil hidung Ayna gemas.

Ayna nyengir karena teguran Imbang. "Hihihi, iya anak kita. Jadi bolehkan?" tanya Ayna sekali lagi.

"Boleh." Jawab Imbang lembut.

"Trus aku boleh jalan sama Falsa juga dong?" Ayna memasang wajah imutnya dan hal itu membuat Imbang menoel pipinya gemas.

"Mau kemana emang?" tanya Imbang. Ia tidak mau membuat istrinya itu merajuk karena dilarang berjalan-jalan dengan Falsa.

"Mau nyari kebaya buat wisuda." jelas Ayna.

"Kan masih bulan depan." Ingat Imbang.

"Iya aku tahu. Tapi aku mau nyari kebayanya hari ini sama Falsa dan kamu nggak boleh ikut."

"Loh kok gitu?" tanya Imbang tidak terima. Gila aja, belum hamil saja ia tidak rela membiarkan istrinya jalan berdua dengan Falsa. Apalagi saat Ayna sudah hamil begini. Falsa kan suka lupa diri kalau sudah ngemall, makanya Imbang tidak mau membiarkan Ayna jalan berdua saja dengan Falsa.

"Iya. Selain nyari kebaya kita juga mau ngelakuian hal-hal yang berkaitan tentang wanita, jadi kamu nggak usah ikut. Istirahat di rumah aja."

"Urusan wanita lain mungkin aku nggak mau tahu. Tapi kalau wanitanya kamu, aku harus tahu. Lagian apa yang mau kamu sembunyiin dari aku. Luar dalamnya kamu aja aku tahu. Jadi nggak ada alasan ya Ay. Aku harus ikut." Imbang tidak terima alasan apapun dari Ayna.

"Pokoknya aku nggak mau kamu ikut. Aku maunya jalan berdua aja sama Falsa." tolak Ayna.

"Nggak ada. Falsa si ratu mall. Dia suka lupa waktu kalau lagi ngemall." Imbang tetap tidak memberikan izin.

"Apaan sih Mbang, ini kemauan adek dia mau jalan-jalan berdua aja sama Falsa."

"Aku nggak percaya. Adek itu pasti nggak mau ayahnya cemas. Pasti dia mau dengerin apa yang ayahnya bilangin."

"Imbang ih, nyebelin banget sih." Ayna memukul perut Imbang kesal.

"Kamu boleh pergi asalkan aku ikut. Dan kamu boleh ngelakuain semua urusan wanita yang akan kamu lakukan nanti dengan Falsa." janji Imbang.

"Aku mau nyalon loh Mbang dan itu lama." Ayna mengungkapkan kegiatan yang akan dilakukannya nanti dan Falsa.

"Berapa lama sih nyalon itu Ay? dua jam? tiga jam? atau seharian? nggak masalah buat aku. Asal kamu dan anak kita dalam pengawasan aku, baru aku tenang." Imbang  mencium puncak kepala Ayna sayang.

"Biasanya aku juga sendiri, kuliah sendiri, trus kalau kamu aku kerja aku juga ngelakuain sesuatu sendiri. Jadi dari pada kamu capek nunguin aku mending kamu istirahat di rumah. Aku janji bakal hati-hati kok."

"Itu lain cerita Ay. Dan lagipula, kamu kan udah nggak kuliah lagi ketika kita tahu disini ada adek." Imbang mengusap perut Ayna. "Trus, kalau aku kerja kamu kan nggak kemana-mana di rumah aja. Kecuali kamu keluar rumah tanpa seizinku."

Mereka memang baru mengetahui kemamilan Ayna dua minggu yang lalu. Dan saat itu Ayna tidak memiliki jadwal kuliah lagi, tinggal tunggu wisuda saja.

"Akukan kasihan sama kamu yang akhir-akhir ini lembur makanya aku minta kamu untuk istirahat saja di rumah."

"Terima kasih istri atas pengertiannya."  Imbang mengecup kening Ayna lama. " Tapi aku lebih tenang kalau menemani kamu menyelesaikan 'urusan wanitamu itu' dari pada beristirahat di rumah."

"Terima kasih suami atas semuanya. Bersamamu adalah berkah untukku." ucap Ayna dengan mata berkaca-kaca. "Dan adanya dia adalah keajaiban dalam hidupku." Ayna menuntun tangan Imbang untuk ikut mengusap perutnya, tempat dimana anak mereka bertumbuh.









Next part penutup yaa.

Sorry untuk typo.



With love,

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top