36. Hingga Kita Berdua Menua

Entah mengapa Imbang ingin menyusul Ayna ke produksi. Imbang yakin setelah apa yang dilakukannya di kantin tadi akan banyak kepoers yang ingin menginterogasi istrinya. Imbang tahu Ayna-nya akan dapat mengatasi itu semua, tapi sebagai seorang suami yang menyebabkan ini semua,Imbang tak mau lepas tangan. Cukup sudah selama ini orang-orang berpikiran buruk pada istrinya itu. Imbang tak mau lagi orang-orang memandang Ayna-nya sebelah mata. Imbang mau semua kesalahan yang terjadi akibat dari kebodohannya diakhiri mulai hari ini. Ya. Dialah penyebab dari semua ini. Dulu Imbang pikir dengan menyembunyikan status mereka akan lebih baik untuk Ayna. Nyatanya, Imbang salah. Malah Ayna sering mendapat cap negatif dari wanita-wanita yang merasa tersaingi. Maupun dari lelaki yang merasa diabaikan oleh istrinya itu.

Imbang semakin mempercepat langkahnya, tadi begitu ia keluar dari ruangannya, Dita leader Ayna menelponnya, memberitahu bahwa istrinya itu tengah dikerubungi kepoers produksi. Imbang memang meminta Dita untuk memberitahunya apa saja yang dialami istrinya itu selama jam kerja. Ia tidak mau lagi kejadian ketika Ayna diisukan hamil terulang kembali. Karena Imbang yakin, Ayna tidak akan mau menceritakan apapun padanya meskipun istrinya itu telah berjanji untuk tidak menyimpan rahasia darinya. Imbang tidak mau istrinya itu memendam sakitnya sendiri padahal penyebabnya adalah dia. Iya, kalau dulu Imbang tidak merahasiakan hubungan mereka sudah dapat dipastikan Ayna tidak akan mendapatkan bullyan.

Imbang segera membuka pintu produksi. Dari tempatnya Imbang bisa melihat Jo tengah berbicara dengan istrinya itu. Imbang tidak tahu mereka membicarakan apa. Namun dari bahasa tubuh Ayna, Imbang yakin Ayna tidak nyaman dengan Jo.

***

"Nanti habis scan badge jangan langusng ngacir ya, Ay. Tunggu aku diparkiran!" Ucap Imbang ketika ia dan Ayna telah berada didepan pintu masuk produksi.

"Okey!" jawab Ayna disertai anggukan kepala.

"Ya udah aku ke bawah lagi. Aku cuma mau ngomong itu aja. Pamit ya." Imbang membalikkan tubuhnya hendak meninggalkan Ayna.

"Lah? Cuma mau ngomongin itu doang? Ucap Ayna tanpa sadar.

"Apa?" Imbang yang hendak melangkah pergi membalikkan tubuhnya kembali menghadap Ayna.

"Kamu kesini cuma mau ngomongin itu doang?" Ayna mengulangi pertanyaannya tadi.

"Iya. Kenapa? Ngarep aku ngomong sesuatu?" Goda Imbang.

"Ckkk." Ayna berdecak malas mendengar godaan Imbang. "Udah ah, aku mau balik ke line aja. Ntar si Jo tambah kepo lagi." ucap Ayna, meninggalkan Imbang yang hanya bisa geleng-geleng kepala.

"Kalau si Jo kepo nggak usah diladeni." ucap Imbang sedikit keras sebelum pintu produksi yang baru saja di buka Ayna kembali tertutup.

Ayna kembali duduk dikursinya. Jo tidak terlihat lagi, mungkin sedang keliling mengawasi anak buahnya. Atau sudah kembali ke mejanya dan mengawasi dari sana. Entahlah , Ayna tidak peduli. Yang dia inginkan hanya menyelesaikan dokumen yang telah menumpuk di atas mejanya.

"Padahal aku baru nelpon mbak Dita, biar dia ngasih tau pak Imbang kalau kamu lagi diintrogasi, eh telponnya baru ditutup orangnya udah nyampe aja. Lari atau naik lift pak Imbang tadi?" tanya Melly yang tiba-tiba sudah berada disamping Ayna. Padahal tadi Ayna tidak melihat temannya itu di tempatnya, entah datang dari mana.

"Terbang kayaknya," jawab Ayna tak peduli.

"Gatot kaca kali! Lagian nggak asik banget sih, Ay. Mending ku tunggu lama baru nelpon ke bawah. Atau ke extention 1 buat paging pak Imbang." ucap Melly sebal.

"Maksudnya?" tanya Ayna tidak mengerti.

"Iya. Kutunggu sampai kamu sama pak Jo ribut, trus aku paging pak Imbang."

Ayna mengerutkan keningnya tanda tidak mengerti.

"Paging ditujukan kepada bapak Jagara Imbang agar segera datang ke lantai 3 karena istrinya Ukrayna sedang di bully. Nah, gitu. Pasti seru." Melly tersenyum dengan pemikirannya sendiri.

"Kayak kamu berani aja." ledek Ayna.

"Pengennya sih gitu Ay ,biar lebih dramatis, tapi aku nggak berani. Bukannya nyelesain masalah, malah nambah masalah baru yang ada."

"Kebanyakkan nonton drama kamu." Ayna terkekeh sendiri membayangkan kelakuan Melly. "Udah ah, stop ngobrol input data lagi." ucapnya kembali sibuk dengan dokumennya.

"Aku jarang nonton Ay, seringnya baca novel online." Beritahu Melly. "Oh ya Ay, gimana rasanya nikah sama om-om?" Tanya Melly.

"Om-om? Siapa yang nikah sama om-om." Tanya Ayna dengan dahi berkerut.

"Di novel yang sering aku baca cewek yang baru nginjak usia 20an kalau nikah sama cowok diatas 27 tahun sering banget manggil pasangannya om. Nah kamu dan pak Imbang kan gitu beda jauh hampir sepuluh tahun. Jadi gimana rasanya?" Kekepoan Melly berlanjut.

"Aneh kamu Mel. Itu kan cuma novel. Coba kamu keluar sana lihat sekelilingmu, ada nggak cewek sepanteran kita manggil lelaki dewasa itu om. Pasti nggak ada. Biasanya kita manggil kakak, abang atau panggilan lainnya. Om? Emang dia punya hubungan apa sampai aku panggil Om, adek Ibu bukan, adek ayah juga bukan, apalagi suami tante. Lagian kalau aku manggil Om nggak bakal aku mau nikah ama dia, kan masih ada hubungan kekeluargaan."

"Yaelah, males banget ngomong sama kamu, pintar banget jawabnya." Kesal Melly mendengar jawaban Ayna.

"Ya udah jangan tanya aku." Jawab Ayna acuh.

"Nyebelin." Sewot Melly. "Intinya aku kepo nih enak nggak nikah sama pak Imbang?"

"Pertanyaan kamu nggak bisa dijawab Mel."

"Nggak asik banget sih kamu, Ay?" Dumel Melly. "Padahal tinggal jawab aja. Enak gitu."

"Hahaha, penasaran banget sih." Ayna tertawa mendengar temannya kesal. "Kalau pengen tau, nikah gih." Ledeknya.

Melly memberengut kesal. "Dasar pelit." Ucapnya, kemudian menarik kursinya menjauh dari Ayna dan fokus pada komputer di depannya.

***

"Nyuruh orang nunggu diparkiran, tapi dia sendiri lama." gerutu Ayna ketika memasuki mobil Imbang.

Suaminya itu memang sangat menyebalkan. Menyuruhnya untuk menunggu diparkiran tapi dia sendiri lama keluar dari ruangannya. Lima belas menit lebih saudara-saudara, bayangkan itu. Salah Ayna juga sih menjadi wanita polos. Bisa sajakan ia menunggu Imbang di gerbang bersama teman-temannya yang juga sedang menunggu angkot atau menunggu di kantin yang gelap. Iya, kantinkan biasanya gelap kalau sedang tidak dipakai break.

"Maaf Ay, aku tadi meeting." Imbang mengusap lengan atas Ayna seraya mengucapkan kata maaf. Dia lupa memberikan kunci mobilnya kepada Ayna, sehingga membuat istrinya itu menunggu lama. "Capek ya? Mana yang bentol digigit nyamuk nanti aku bantu kasih obat." Imbang mencoba mencari perhatian Ayna yang sekarang tengah merapatkan duduknya ke pintu mobil dengan kepala menyender di kaca. Kebiasaan duduk istrinya kalau sedang merajuk.

"Aku lagi kesel. Jadi nggak mau ngomong sama kamu." jawab Ayna yang sibuk menatap jalanan yang ada disampingnya."

'Lah, yang barusan itu apa? Bukannya lagi ngomong.' ucap Imbang didalam hati. Gila aja kalau dia menyuarkan apa yang ada didalam hatinya. Bisa tambah murka Nyonya.

"Kita makan di luar atau di rumah Ay?" tanya Imbang. Namun, tidak ada jawaban dari Ayna.

"Ayna sayang. Kita makan dimana? Di rumah atau diluar?" kembali Imbang bertanya, berharap kali ini Ayna menjawabnya.

"Jangan ngambek dong Ay. Aku tadi itu beneran meeting, tanya Dunny kalau nggak percaya. Dan tadi ketika meeting kelar aku langsung lari kesini. Untung tadi sebelum meeting aku udah beres-beres mejaku jadi aku nggak balik lagi ke ruangan. Ini aja aku nggak bawa laptop karena ketinggalan di ruanganku." jelas Imbang. Aku tau pasti kamu capek nungguin aku. Mana banyak nyamuk lagi. Aku tau. Aku minta maaf, Ay. Besok kamu pegang aja kunci mobilnya, biar kamu nunggunya didalam mobil. Lebih enak dan nggak digigitin nyamuk. Jadi jangan ngambek ya, Ay." Imbang mengulurkan tangannya, mengusap lengan Ayna. Namun istrinya itu tidak bergeming.

"Yaah, dia tidur." Lirih Imbang.

**

"Aku minum ini juga?" Imbang menunjuk cangkir yang berisi minuman berwarna pink, yang menurut Ayna adalah suplemen untuk tubuh.

Mereka sudah sampai di rumah beberapa waktu yang lalu. Akhirnya karena Ayna tertidur di mobil, Imbang memutuskan untuk makan di rumah saja. Namun tadi ia menyempatkan untuk membeli makanan jadi terlebih dahulu.

Dan saat ini, mereka tengah bersantai di sofa setelah menyantap habis makan malam mereka.

"Iya. Enak kok." Ayna menampilkan senyuman manis kepada Imbang. Trik agar suami cakepnya itu mau menuruti kemauannya.

Imbang meneguk habis isi cangkir lalu meletakkan cangkir kosong itu di meja. "Kalau ada maunya aja, pake senyum-senyum gitu. Kalau nggak, aku dicuekin." Imbang merebahkan tubuhnya di sofa.

"Aku itu tadi ketiduran. Bukan sengaja nyuekin kamu." Jawab Ayna yang baru datang dari arah pantry. Ditangannya ada sepiring buah yang sudah dipotong-potong. "Imbang geser, aku duduk dimana?" Tanya Ayna ketika berada diruang santai. Ia melihat Imbang sedang tiduran disofa.

"Sini!" Imbang mengangkat tubuh bagian atasnya, lalu menepuk bagian sofa yang bisa diduduki Ayna. "Kamu duduk disini." Ucapnya.

"Nggak ah, kepalamu berat. Ntar pahaku kram." Tolak Ayna. Ia tahu Imbang pasti menjadikan pahanya sebagai bantal.

"Ay, ayolah." Rajuk Imbang. "Akukan mau sayang-sayangan sama kamu."

"Mau sayang-sayangan tapi bikin paha ku kram." Omel Ayna,   namun tetap mengikuti kemauan Imbang duduk disofa dan menjadikan pahanya sebagai bantalan kepala suaminya itu. "Kamu harus tanggungjawab ya kalau pahaku sampai kram." Ancam Ayna.

"Aman itu." Ucap Imbang, yang sudah tiduran di paha Ayna. Pria itu memiringkan tubuhnya sehingga ia bisa menyembunyikan wajahnya di perut Ayna.

"Lah, kenapa posisinya kayak gitu? Nggak mau makan buah apa?" Tanya Ayna karena melihat suaminya itu sudah menyembunyikan wajahnya di perutnya.

"Nanti aja. Kayak gini lebih enak daripada makan buah." Jawab Imbang dengan suara teredam.

Ayna menyuap potongan demi potongan buah kedalam mulutnya. Membiarkan Imbang melakukan hal yang akhir-akhir ini digilainya. Tidur sembari menciumi perutnya.

"Trus gimana ini aku naruh piringnya?" Ucap Ayna setelah beberapa saat. Ia telah menghabiskan setengah piring buah. Dan sekarang ia tengah berusaha menaruh piring buahnya di meja yang ada di depannya, dengan sedikit kesusahan.

Menyadari Ayna yang sedang kerepotan, Imbang mengangkat kepalanya, mengambil piring dari tangan Ayna kemudian dengan cepat menaruh piring di meja dan kembali ke posisi semula. Menciumi perut Ayna.

Ayna hanya tersenyum melihat tingkah Imbang yang menurutnya aneh ini. Sejak  mereka berbaikan beberapa hari lalu, sejak itulah Imbang mulai menggeluti hobby barunya ini. Dan sepertinya ini akan menjadi posisi favorit Imbang, tidur beralaskan pahanya sembari menciumi perut Ayna.

"Imbang, ihh, geli tau!" Ayna memukul pelan lengan Imbang. Suaminya itu tengah berbuat usil.

"Imbang, mulai deh. Pinggangku jangan diusap-usap gitu. Aduhhh, liat nih bulu tanganku pada berdiri semua." Ayna  membenamkan wajahnya di kepala Imbang yang ada dipangkuannya. Ia paling tidak bisa di bikin geli gitu, langsung merinding bawaanya.

"Kalau kita bercinta kok kamu nggak merinding. Aku usap -usap gini kok merinding." Ucap Imbang, sementara tangannya kembali mengusap titik sensitif Ayna.

"Nggak tau. Pokoknya aku nggak bisa digituin." Ucap Ayna dengan suara menahan geli.

Imbang menghentikan aksi usilnya. Tangannya kembali diam memeluk pinggang Ayna. "Ay, kalau ternyata nanti adek bayinya nggak ada diperut kamu gimana?"

Bayi masih menjadi topik sensitif bagi Imbang. Namun ia harus realistis. Tidak mungkin ia mengabaikan pembicaraan tentang bayi dengan Ayna. Karena mereka berdua butuh solusi dan juga berkomunikasi  agar tidak terjadi masalah dikemudian hari.

"Kan masih sekali tesnya, jadi kita nggak boleh menganggap itu adalah vonis. Lagipula itukan bisa diatasi dengan kita mengubah pola hidup kita jadi lebih sehat. Jadi jangan kuatir. Kita masih banyak waktu untuk berusaha dan berdoa." Ucap Ayna, sementara jari-jarinya sibuk menyisir rambut hitam Imbang.

"Tapi, kalau ternyata nanti aku beneran nggak bisa ngasih adek diperut kamu ini, gimana?" Imbang memalingkan wajahnya, sehingga ia bisa menatap Ayna yang juga tengah menatapnya.

"Sama kayak kamu yang tetap ada buat aku, apapun yang akan terjadi nanti, begitupun aku. Akan ada untuk kamu hingga kita berdua menua. Dan berpisah ketika Tuhan memanggil salah satu dari kita." Ayna tersenyum menatap Imbang. Tangan kanannya menggenggam tangan kanan pria itu yang ditaruh di dadanya.

"Karena aku menerima mu menjadi suamiku bukan karena aku ingin anak darimu, tapi aku ingin hidup denganmu. Asal kamu tetap ada dihidupku itu lebih penting. Jadi ketika Tuhan tidak memberi kita anak. Aku tidak akan mengeluh." Lanjut Ayna, kemudian mendekatkan wajahnya untuk mencium bibir Imbang.

ImbangAyna update ya Gaess. Oh ya, typo nya masih bertebaran ya.

With love,

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top