34. Jangan Biarkan Asumsimu Menghancurkan Kebahagiaanmu

"Kenapa sih lo? Lecek banget tampang lo, nggak dapat jatah?" Ucap Dunny disertai cengiran mengejeknya.

"Ckkk!" Imbang berdecak kesal mendengar ucapan Dunny yang benar adanya. Tapi itu bukan hal utama yang membuat tampang Imbang jadi terlihat keruh. Ini lebih kepada masalah yang dihadapinya bersama Ayna.

"Kalau lo punya masalah mending lo curhat sama gue daripada lo curhat sama cewek-cewek itu?" Tunjuk Dunny pada cewek-cewek yang tengah menatap mereka lapar.

"Lo aja sana. Nggak usah nunjuk-nunjuk gue." Ucap Imbang sementara tangan kanannya melempari Dunny dengan korek api yang sedari tadi dimainkannya.

Dunny segera menghindar dari lemparan Imbang. Lumayan benjol kalau ia tidak segera menghindar. "Sial lo! Untung gue jago." Makinya kemudian.

Imbang terkekeh mendengar makian Dunny. Ia memang butuh dimaki. Bahkan lebih dari kata 'sialan' sangat dibutuhkannya. Atau mungkin sebuah tamparan diwajah mungkin sebuah hantaman ditubuh hingga ia tersadar dari hal bodoh yang telah dilakukannya.

"Dun?" Panggil Imbang. "Lo nggak punya niatan buat nonjok gue gitu. Sebagai atasan gue kan sering banget bikin lo emosi."

"Apa??" Dunny yang sedari tadi sibuk dengan handphone nya langsung menoleh. Menatap Imbang yang tengah menatapnya dengan tatapan frustasi.

"Mumpung otak gue lagi blank nih. Gue kasih izin lo buat nonjok gue."

"Kenapa sih lo? Berantem sama bini?" Dunny sadar pasti Imbang sedang dalam masalah serius dengan Ayna. Kalau tidak mana mau sahabatnya itu minta ditonjok.

"Gue jahatin dia. Gue bikin dia sedih. Dan gue bikin dia nggak bahagia."

"Lo kasarin bini lo? Lo selingkuh sampai bikin dia sedih dan nggak bahagia?" Cecar Dunny dengan pertanyaan yang terlintas begitu saja diotaknya.

Imbang menggeleng, "Gue ngacuhin Ayna dua minggu terakhir ini," jelas Imbang.

"Kenapa lo ngacuhin istri lo? Dia bikin salah yang buat lo kesal?"

"Bukan. Gue yang bikin salah. Gue yang bikin dia enggak bahagia." Racau Imbang.

Dunny masih menjadi pendengar yang baik. Sahabatnya itu jarang sekali minum. Toleransinya terhadap alkohol sangatlat payah. Namun tadi Imbang meminum lebih dari dua gelas alkohol dan dijamin itu membuat sahabatnya itu sedikit mabuk.

"Lo tau nggak gue nggak bisa ngasih anak sama istri gue."

Dunny tidak menjawab. Dia tetap diam, mendengarkan Imbang melanjutkan racauannya.

"Lo tau adik gue pernah tinggal bareng gue beberapa waktu lalu 'kan?"

Dunny mengangguk. Benar. Beberapa waktu lalu. Mela, adik sahabatnya itu memang tinggal dan menjadi cabe rawit bagi keluarga baru Imbang. Namun akhirnya pergi dan kembali ke keluarganya tak lama setelah Ayna kembali dari tugasnya di Jakarta.

"Dia sering banget ngatain istri gue nggak bisa ngasih keturunan. Dan apa jadinya kalau dia tau kita memang nggak bisa punya anak. Pastilah dia akan bully habis-habisan istri gue."

"Trus?"

"Ya udah, gue nggak mau liat dia gituin istri gue sementara yang jadi penyebab utamanya adalah gue."

"Lo pikir apa yang lo lakuin itu bener. Mengabaikan istri lo biar dia benci, trus pergi dari hidup lo?"

Imbang menganggukkan kepalanya. Membenarkan ucapan Dunny.

"Trus lo pikir itu bisa bikin hidupnya bahagia?" Lanjut Dunny.

Imbang kembali mengangguk membenarkan.

"Dari mana lo tau. Lo udah tanya istri lo? Belum kan? Jadi jangan biarkan asumsi lo menghancurkan kebahagiaan lo?

Imbang diam tak merespon. Dia terlihat sedang berfikir.

"Jangan pikir apa yang di otak lo itu adalah hal tepat. Karena nggak semua yang lo pikir baik itu akan berakhir baik bagi orang lain. Bahkan buat bini lo sendiri. Jadi berhenti menyakiti bini lo dengan cara bodoh yang sedang lo lakuin. Dan pake otak pintar lo itu. Lo pikir dengan lo bersikap kayak gini bini lo akan bahagia? Trus, lo pikir dengan lo biarin dia pergi itu bikin dia bahagia juga? Jadi sebelum lo nyakitin istri lo lebih dalem, pikirkan baik-baik dulu. Jangan biarkan asumsi lo, mengendalikan otak lo."

***

Falsa mengusap punggung Ayna yang sekarang sedang sesenggukan dalam pelukannya. Tadi begitu tiba Ayna langsung menangis memeluknya. Padahal temannya itu belum bercerita apa-apa. Karena itulah Falsa yakin ada masalah serius yang tengah dihadapi temannya itu.

"Udah nangisnya?" Falsa menyodorkan segelas air putih ke hadapan Ayna.

Ayna mengambil gelas yang disodorkan Falsa kemudian meminumnya dalam sekali teguk. Menangis membuat kerongkongannya kering kerontang. "Makasih ya Fal." Ucap Ayna dengan suara seraknya.

"Jadi apa yang membuatmu menangis?" Tanya Falsa tanpa basa-basi. Langsung ke pokok permasalahan.

Ayna mengambil nafas sesaat kemudian mulai menceritakan masalah yang tengah menimpa keluarganya saat ini.

"Yang kalian butuhkan itu komunikasi biar nggak ada acara saling menyakiti." Ucap Falsa, ketika Ayna mengakhiri ceritanya.

"Gimana mau ngomong, kalau dia terus saja menghindar." Keluh Ayna. Ia menyandarkan tubuhnya di dinding kamar.

"Sejujurnya aku pusing kalo diminta nasehat kayak gini. Secara aku belum berpengalaman. Tapi menurutku lebih baik kamu sabar aja dulu. Tunggu beberapa hari lagi. Kalau dia belum juga berubah, kamu harus ambil tindakan tegas. Sepahit-pahitnya keputusan yang akan kamu ambil nanti hidup harus tetap berjalan. Dan aku, masih disini menjadi temanmu untuk berbagi."

***

"Ay?" Panggil Imbang begitu memasuki pintu apartemen. Ini sudah jam sembilan pagi, namun istrinya itu belum juga pulang.

Rencananya Imbang akan menjemput Ayna tadi. Tapi karena ia ketiduran jadilah ia hanya menunggu di rumah. Tapi sampai jam sembilan ini, istrinya belum juga pulang.

Imbang menaruh asal barang belanjaan di meja pantry, rencananya tadi ia akan membuatkan sarapan untuk Ayna dan karena banyak bahan yang habis, Imbang memutuskan ke supermarket yang ada dibawah apartemennya.

Merogoh sakunya, Imbang mengeluarkan handphone yang memang ditaruhnya di sana. Setelahnya ia menghubungi nomor istrinya itu, namun panggilan pertama hingga kelima Ayna tidak juga mengangkat. Imbang menjambak rambutnya frustasi. Kemana istrinya itu, apa mungkin Ayna pulang ke rumah orang tuanya, karena sabtu minggu ini istrinya itu libur.

Tak hilang akal Imbang mencoba menghubungi Falsa, siapa tau istrinya itu sedang di sana.

"Pokoknya gue kesana sekarang." Ucap Imbang  sebelum menutup telponnya dengan kesal. Lalu menyambar kunci yang ditaruhnya di atas meja dan melangkah dengan segera menuju basement untuk segera menjemput Ayna ditempat Falsa.

"Kan udah gue bilang nggak usah dijemput." Falsa menatap garang Imbang. Menghalangi langkah pria itu yang akan memasuki kamarnya. Tempat dimana Ayna tertidur.

Imbang mengabaikan larangan Falsa, kakinya melangkah masuk menerobos memasuki kamar. Kemudian duduk disisi kasur yang ditiduri Ayna. Imbang menatap Ayna yang tertidur pulas. Kemudian Imbang mengusap kepala Ayna, lalu mencium kening serta mata Ayna yang sembab karena habis menangis. "Maafkan kebodohanku Ay." Bisik Imbang.

Imbang menoleh kearah Falsa yang berdiri diambang pintu memperhatikannya. "Gue mau bawa Ayna pulang. Lo bantu bawain tasnya ke mobil, please." Mohon Imbang pada Falsa.

Falsa berdecak sebal, namun tetap membantu Imbang membawa tas Ayna kedalam mobil Imbang. "Awas kalo lo bikin dia nangis lagi, gue bakal hajar lo." Ancamnya, lalu menjauh dari mobil Imbang.

***

Imbang menatap wajah Ayna yang damai dalam tidurnya. Sudah jam dua siang namun istrinya itu belum juga ada niatan untuk bangun. Sepertinya alam mimpi lebih mengasyikkan dari dunia nyatanya saat ini hingga Ayna memilih untuk tetap tertidur.

"Ay," bisik Imbang disertai usapan disekitar wajah Ayna. "Kok kamu nggak bangun-bangun sih? Kamu marah sama aku? Nggak mau lihat aku?" Imbang bermonolog, sementara jari-jari tangannya sibuk mengelus sekitaran wajah Ayna hingga bermain-main dibibir istrinya itu.

"Ay, aku minta maaf atas kebodohanku dua minggu ini. Kupikir dengan membiarkan mu membenciku itu lebih baik. Tapi aku salah. Ayna, maafkan aku."

"Gangguin orang tidur aja sih, Mbang." rengek Ayna. Menyingkirkan tangan Imbang yang bermain-main diwajahnya.

Ayna membuka matanya yang seperti ditimpa beban berat dengan susah payah. Sebenarnya sudah sejak tadi dia terbangun. Namun karena matanya yang sembab akibat menangis susah untuk dibuka, Ayna melanjutkan tidurnya kembali. Namun niatnya batal karena mendapat gangguan dari Imbang yang mengelus, meraba serta menciumi wajahnya. Ditambah dengan pengakuan Imbang, jadi Ayna memilih untuk diam mendengarkan.

Imbang menciumi seluruh wajah Ayna karena istrinya itu tidak mengamuk seperti dugaannya. Ayna bersikap seolah-olah tidak terjadi apa-apa dengan mereka dua minggu ini. "Ayna sayang, maafin aku ya. Karena sudah bersikap bodoh." Ucap Imbang tulus menatap mata Ayna.

Ayna terdiam sejenak, kemudian mengangguk. "Aku bakal maafin asal kamu janji bakal ada disamping aku untuk seumur hidupmu." Ayna menatap Imbang dengan matanya yang sembab.

"Aku janji seumur hidupku akan ada buat kamu." Janji Imbang, kemudian membawa Ayna kedalam pelukannya.

Cukup dua minggu ini dia melakukan kebodohan dengan membiarkan asumsinya menghancurkan kebahagiaannya. Berdalih untuk kebahagiaan Ayna, Imbang malah membuat istrinya itu menangis.

Padahal, hasil tes kemaren bukanlah akhir dari segalanya. Masih banyak cara yang bisa mereka tempuh untuk mendapatkan keturunan. Dan lagipula itu baru tes awal. Dokter tidak memvonisnya mandul. Namun Imbang dan ego laki-lakinya malah membuat hal itu terlihat lebih rumit dari seharusnya.

"Kamu itu butuh aku, untuk mengontrol otak dan hatimu." Ucap Ayna disela-sela pelukan mereka.



65% typo masih merajalela. Jadi Maaf.
Sampai jumpa part berikutnya. Happy reading.











With love,

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top