32. Pelukan dan Senyuman
Ayna baru saja keluar dari kamarnya ketika dilihatnya Mela memasuki apartemen dengan baju yang basah oleh keringat. Lalu adik iparnya itu berjalan menuju tempat di mana dispenser berada dan meneguk segelas air dalam sekali teguk. Sepertinya adik iparnya itu kehausan karena habis jogging.
Ayna melangkahkan kakinya mendekati Mela. Bermaksud untuk menyiapkan makan malam. Karena sebentar lagi Imbang segera pulang.
"Enak banget ya jadi lo, baru juga kenal udah disayang-sayang abang gue." Ucap Mela ketika Ayna berada di dekatnya.
Ayna menghentikan kegiatannya yang sedang menata piring di atas meja. Kemudian menatap Mela dengan alis berkerut karena tidak mengerti maksud dari perkataan wanita itu.
"Iya, baru juga lo kenal abang gue beberapa bulan, tapi lo dengan gampangnya narik perhatian dia." Mela melanjutkan kata-katanya. Menatap Ayna dengan mata penuh kebencian.
Alis Ayna yang tadinya menukik tajam langsung kembali kesedia kala setelah mendengar kata-kata Mela. Ayna tahu arti dari kata-kata itu. Ucapan yang terlontar dari Mela jelas seperti seseorang yang sedang cemburu, "Salah aku gitu, kalau Imbang begitu mencintaku. Salah aku, kalau Imbang begitu perhatian padaku." Kata-kata itu sudah ada diujung lidah Ayna, namun ia tidak mampu untuk menyuarakannya. Bisa terjadi perang kalau sempat ia mengucapkan itu. Bukan karena Ayna takut kalah, namun ia tidak mau membuat Imbang semakin tidak menyukai Mela kalau tahu mereka sering bertengkar.
Salah Ayna juga, waktu itu melarang Imbang untuk mengusir Mela. Yah, sebagai orang yang memiliki belas kasih, Ayna tidak mau melihat Mela terlunta-lunta di kota ini, sementara dia memiliki keluarga untuk tempat dia menumpang. Ayna tahu bagaimana rasanya terlunta-lunta. Jadi dia tidak mau orang yang sudah dianggapnya sebagai saudara mengalami apa yang dia rasa. Kita tidak harus membalas kebencian dengan kebencian juga. Karena itu tidak akan menyelesaikan masalah. Kadang kita harus mengubur rasa benci untuk bisa membantu sesama. Selalu tebarkan kebaikan dimanapun berada tak perlu pandang bulu. Walaupun orang yang dibantu itu seperti Mela ini. Bawaannya pengen gaplok kepalanya saja. Karena sering menyulut emosi Ayna.
"Kalau kamu pengen abangmu itu sayang dan perhatian sama kamu, kamu musti sayang dan perhatian juga sama orang yang dicintainya. Aku jamin abangmu akan membalas rasa sayangmu itu." Ucap Ayna sok tersenyum manis pada Mela.
"Cih, ngarep aja lo! Nggak bakal ya gue baik-baikin lo!" Mela melangkah meninggalkan Ayna yang tersenyum mengejeknya.
"Serah kamu aja. Aku cuma ngasih solusi." Teriak Ayna sebelum Mela menghilang dibalik pintu kamarnya.
"Kenapa teriak-teriak sih Ay?" Imbang yang baru saja pulang langsung menuju meja makan. Tempat dimana Ayna berada.
Ayna tersenyum canggung, menghampiri Imbang, "kok aku nggak denger kamu masuk?" Ucap Ayna seraya memberikan segelas air putih pada suaminya itu.
"Gimana kamu mau dengar. Kamu aja lagi serius gitu." Imbang menaruh gelas yang sudah kosong diatas meja.
"Tadi itu lagi ngomong sama adek besar." Ucap Ayna berdiri disamping Imbang.
Ayna memang memanggil Mela dengan sebutan adek besar. Adek karena Mela adalah adik Iparnya. Dan besar karena Mela lebih tua dari Ayna tiga tahun. Awalnya Ayna memanggil Mela hanya dengan menyebut namanya saja. Namun si Mela malah mengatakan Ayna tidak sopan, dan ketika Ayna memanggilnya Kak dia malah melotot pada Ayna dan berkata, "sejak kapan gue jadi kakak lo?" Dan akhirnya tercetus diotak Ayna untuk memanggilnya adek besar. Yah, walaupun awalnya mendapat pelototan dari Mela, Ayna tidak peduli. Pikirannya itu adalah panggilan yang tepat untuk adik iparnya itu.
"Dia nggak nyari ribut lagi kan?" Tanya Imbang. Menarik Ayna lebih dekat padanya.
Ayna menggeleng sebagai jawaban. "Kalau dia mau ribut-ribut nanti kubawa aja ke sasana, kucariin dia lawan nanti." Ayna duduk dipangkuan Imbang, melingkarkan tangannya di leher prianya itu.
"Kamu sih ngelarang aku buat nyuruh dia pergi."
"Kasihan kalau nanti dia terlunta-lunta diluaran sana."
"Dasar!" Imbang menyentil hidung Ayna gemas. "Nggak bakalanlah dia terlunta-lunta di sini. Orang dia biasa tinggal sendiri di Singapura sana." Imbang mengecup singkat bibir Ayna.
"Kalau jauh dari kita nggak pa-palah dia mau ngelakuin apapun yang dia mau. Tapi kalau di sini, kalau dia ngelakuin hal yang tidak-tidak itu menjadi tanggungjawab kita."
Imbang menangkup wajah Ayna dengan kedua tangannya. "Dengar ya Ayna sayang. Mela itu sudah besar. Dia lebih tua dari kamu malahan. Jadi dia sudah bisa menentukan mana yang baik untuk hidupnya atau tidak. Jadi kamu tidak perlu mengkuatirkan dia."
"Tapi kalau terjadi apa-apa sama dia diluar sana kita juga yang bakal tanggungjawab."
Walaupun Ayna sering dibuat kesal oleh Mela, tapi dia tidak mau terjadi hal buruk pada wanita itu. Karena dibalik semua kata kasar yang ia lontarkan, Ayna sadar ada kebenaran di sana. Hidup itu harus realistis, setiap pasangan yang menikah pasti menginginkan penerus dalam keluarganya. Jadi Ayna bersyukur, Mela mengingatkannya tentang anak. Paling tidak dia jadi lebih peduli pada tubuhnya. Bukankah kesehatan tubuh juga mempengaruhi dalam memperoleh keturunan.
"Udah ah aku nggak mau ngebahas Mela lagi. Aku mau mandi aja biar bisa makan masakan kamu yang udah memanggil untuk aku santap." Ucap Imbang tanda tidak mau meneruskan topik tentang Mela lagi.
Ayna berdiri dari pangkuan Imbang, membiarkan suaminya untuk mandi. "Ya udah mandi sana! Aku udah siapin baju kamu diatas kasur." Ucapnya kemudian, lalu melangkah menuju lemari pendingin mengambil sesuatu di sana.
***
"Berapa lama rencananya kamu di Batam, Mel?" Imbang memulai pembicaraan.
Mereka bertiga sekarang tengah menikmati entah acara apa yang sedang disiarkan sebuah televisi Singapura yang disetel Mela.
Mela yang duduk di sofa single menoleh kearah Imbang. Menatap Abangnya itu dengan dahi berkerut tidak suka "Abang ngusir aku? Abang nggak suka aku numpang di rumah Abang?" Tanya Mela. Kemudian menatap Ayna yang duduk di sudut sofa, "Pasti lo yang nyuruh Abang buat ngusir gue kan?" Tuduhnya pada Ayna.
Ayna yang tengah duduk di sudut sofa menatap heran Mela, mulutnya hendak melontarkan pembelaan ketika Imbang telah lebih dulu menjawab tuduhan Mela. "Ayna nggak ada sangkut pautnya dengan pertanyaan Abang, Mel. Nggak mungkinkan, selamanya kamu nebeng disini?" Lanjut Imbang.
"Abang pengen banget ya aku pergi dari sini?"
"Kalau sebagai pria dewasa? tentu. Abang merasa terganggu ketika ada kamu disini. Itu membuat kedekatan Abang dan Ayna jadi berkurang. Kalau sebagai kakakmu, Abang rasa tidak pantas kamu tinggal lama-lama bersama Abang sementara kamu sendiri tidak menyukai istri Abang. Jadi nggak ada tujuan yang jelas bagi kamu untuk berada di sini. Kecuali, kamu dan Ayna itu dekat. Mungkin Abang berpikiran lain. Namun setelah beberapa lama kamu disini tak sekalipun Abang lihat kamu menyukai Ayna sedikitpun. Jadi Abang rasa tidak ada kepentinganmu untuk berada di rumah ini lebih lama lagi. Kecuali ingin membuat Abang dan Ayna bertengkar." Jelas Imbang.
"Abang kenapa sih mau aja dibodohin curut satu ini." Emosi Mela seraya menunjuk Ayna yang melotot karena dipanggil curut.
"Dibodohin apa maksud kamu? Jangan ngaco kamu!"
"Iya. Saking bodohnya abang mau aja dihasut dia buat ngusir aku. Padahal aku ini adik abang dan dia cuma istri yang baru beberapa bulan yang lalu abang kenal. Ingat Bang, cinta itu emang buta, tapi jangan mau dibutain oleh cinta apalagi dari cewek gembel ini." Tunjuk Mela kearah Ayna yang sudah berdiri tegap di kursinya.
"Semakin kamu ngatain istri Abang kayak gitu, semakin jelas dimata Abang kalau benar keberadaan kamu di rumah ini benar-benar hanya sebagai pengganggu." geram Imbang yang sudah siap melangkah kearah Mela namun dihalangi Ayna.
"Nah lihatkan, ini buktinya. Abang mati-matian membela cewek sialan ini. Yang jelas-jelas nggak ada gunanya. Gue heran deh, kok lo bisa cinta mati sama dia, padahal lo baru kenal beberapa bulan. Apa sih yang dia punya sampai lo takluk ama dia." Mela sudah merubah panggilannya karena sudah tersulut emosi.
"Terserah lo ajalah Mel. Terserah otak dablek lo itu aja. Kalau lo nggak suka sama istri gue mending lo pergi dari rumah ini. Nggak ada gunanya juga lo tinggal di sini padahal lo nggak suka ama yang punya rumah." Ucap Imbang lalu membawa Ayna meninggalkan Mela di ruang santai sendirian.
"Kenapa sih Mbang kamu nyari penyakit sendiri?"
Ayna memaksa Imbang menatapnya saat mereka berdua duduk di sofa yang ada di kamar.
Imbang mengacak rambutnya frustrasi, lalu memeluk Ayna menyandarkan kepalanya dibahu istrinya itu.
"Aku tuh kesel liat dia suka banget ngejek kamu Ay." Ucap Imbang dengan suara yang teredam karena dia menempelkan mulutnya di leher Ayna.
"Ya biarin aja. Nanti dia capek sendiri." Ucap Ayna sambil mengusap punggung Imbang. "Sekarang siapa yang emosi. Kamu kan? Sakit nggak kepala mu itu?" Tanya Ayna kemudian.
Sejak kedatangan Mela, Imbang sering mengeluh sakit kepala, dan itu terjadi setiap kali dia dan Mela adu mulut. Dan ternyata tensi darahnya sering naik ketika dia marah-marah itu.
Anggukkan kepala Imbang menjawab pertanyaan Ayna. "Ya udah rebahan sana, biar aku ambilin minum trus obat." Pinta Ayna, menyuruh Imbang tidur di ranjang mereka.
"Di sini aja, di paha kamu." Tolak Imbang diikuti gelengan kepala.
"Modus." Ayna menepuk pelan punggung Imbang dan dibalas kekehan pria itu. "Udah ah, aku mau ambil minum." Ayna bergerak bermaksud menjauh dari Imbang, namun Imbang segera mengeratkan pelukannya.
"Pelukkamu itu adalah obat paling mujarab, Ay." Bisik Imbang.
"Gombal banget. Udah kayak gini masih aja bisa ngegombal." Ayna tersenyum mendengar gombalan Imbang.
"Ini bukan gombal Ayna. Ini jujur. Obat paling mujarab buat pasangan yang lagi sakit itu adalah pelukan sayang dari pasangannya. Sama kayak senyuman yang terukir dari bibirmu itu seperti, one smile is worth a million words. Jadi pelukan dan senyumanmu sangat berarti buatku dalam menghadapi adikku yang sangat ajaib itu."
"Ya, ya. Aku jadi tau ternyata selain licik, modus dan nyebelin kamu itu juga raja gombal." Ucap Ayna diiringi tawa kecil.
"Semua gara-gara kamu Ay. Dulu aku nggak kayak gini." Jawab Imbang diiringi tawa bahagia.
Biarlah Mela menggila dengan niatannya. Selama mereka saling percaya sekuat apapun badai yang akan menghadang tak akan mampu tuk menyurutkan langkah mereka untuk tetap bahagia.
"Kita harus saling percaya untuk bisa melalui ini semua, Ay." Bisik Imbang lalu menyatukan bibirnya dan Ayna.
Ayna menyambut dengan baik ciuman dari Imbang, "kepercayaan itu kunci utama." Ucap Ayna diantara ciuman mereka.
Midnight update lagi Gaess. Oh iya, maaf untuk update yang mulai jarang. Ku mau sok sibuk biar dicariin, Wkkk, nggak ding. Ku lagi malas ngetik karena qwerty hapeku bermasalah, backspacenya itu suka jalan sendiri. Jadi kalau aku meleng dikit dia suka ngapusin tulisan yang udah kuketik. Seringnya kulawan dengan tombol enter. Jadi dua tombol itu sering berantem kalo dihapeku.
Sepertinya hapeku lelah ya Gaess. Jangan tanya kenapa nggak nulis pakai laptop ya Gaess. Karena jawabannya nggak banget loh ini. Suer jangan tanya.
Oh iya, seperti biasa typo masih meraja lela, dan happy reading.
With love,
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top