Chapter 9: Perhatian

Yuhuuu! Sesuai janjiku, aku update❤️❤️

Yok bisa vote dulu baru komen sebanyak-banyaknya😘😘😘🤗

Hari ini anak-anak cheerleader sedang berlatih. Mint mengamati gimnasium yang diisi dengan anak-anak basket di sisi kanan. Jadwal latihan anak cheerleader sama dengan anak basket. Lucunya Mint tidak pernah tertarik dengan anak basket.

Ketika dia sedang berlatih bersama teman-temannya, dia menangkap ada gerakan yang tidak seirama. Pelatih mereka sedang absen karena sakit jadinya mereka berlatih sendiri. Mint sebagai kapten bertugas mengawasi dan memastikan latihan berjalan lancar.

"Kimber! Lo bisa ikutin gerakan yang lain nggak sih? Gue perhatiin pandangan lo ke anak basket mulu. Kalo lo mau nonton anak basket, nggak usah latihan. Sana godain mereka. Rusak latihan aja!" omel Mint pada salah satu anggota cheers-ya yang bernama Kimberly.

"Maaf, Mint. Gue akan lebih fokus lagi," kata Kimberly dengan wajah takut.

"Oke, kita coba lagi." Mint berteriak dengan semangat dan bertepuk tangan pelan. "Fokus ya. Fokus!"

Mereka latihan kembali, lebih fokus dari sebelumnya. Ketika membentuk formasi piramid, Mint sebagai flyer bergerak naik dengan lincah. Mereka bersuara dengan hitungan yang sama.

Di bagian bawah Mint ada tiga orang yang membentuk formasi supaya dapat menangkap Mint ketika akan turun. Pada saat Mint melompat ke atas, tubuh kecilnya seharusnya mudah untuk ditangkap. Namun, salah hitungan dan kurangnya kerjasama tim membuat Mint gagal ditangkap dengan benar.

Mint sempat hampir ditangkap oleh enam tangan yang bersiap di bawahnya, tapi hal itu hanya sebentar sebelum akhirnya tubuh Mint jatuh menghantam lantai gimnasium. Yang lebih parah kakinya menghantam lebih dulu. Bunyi dari jatuhnya Mint pun cukup keras.

Orang-orang sampai berhenti saat mendengar pekikan yang cukup keras. "Mint!"

Mint meringis sakit. Kakinya sakit. Dengan cepat Fuchsia dan Lilac menghampiri Mint. Mereka berada di bagian piramid yang lain.

"Mint, lo nggak apa-apa? Apanya yang sakit?" tanya Fuchsia khawatir.

"Aduh, kaki gue sakit banget." Mint menggerakkan kakinya. Sialnya sangat sakit sampai dia harus menggigit bibirnya.

"Jangan-jangan kakinya Mint terkilir?" tanya Lilac tak kalah khawatir.

"Ya udah, bawa Mint ke UKS dulu," kata Fuchsia.

"David, tolongin Mint dulu dong. Kayaknya kakinya terkilir," pinta Kimberly pada David.

David, si anak basket, teman Mint yang suka diomel-omeli segera menghampiri Mint dan menggendongnya secepat kilat. Bobot tubuh Mint enteng jadinya David tidak merasa berat.

Semua anak cheerleader bergegas mengikuti David dari belakang. Mint diam menahan sakit di kakinya.

"Makanya Mint kalo lagi latihan jangan mikirin gue mulu," canda David.

"Mending gue mikirin yang lain," sahut Mint.

"Mikirin Gempar ya?" godanya jahil.

"Diem ya, David. Kaki gue lagi sakit. Jangan sampai tangan gue mendarat di pipi lo."

"Udah begini masih aja galak. Luar binasa ya Mint ini."

Mint mengabaikan David. Tiba-tiba dia malah kepikiran Gempar. Kalau ada Gempar di gimnasium pasti akan segera menolongnya.

Hanya sepersekian detik, Mint mengusir jauh-jauh pemikiran gila itu. Buat apa memikirkan Gempar? Gila!

✨✨✨

"Mint! Ya ampun... kok bisa sih jatuh, Nak?" Tante Maya, ibu tiri Mint, segera datang setelah salah satu guru menghubungi.

Maya mengusap wajah Mint dengan khawatir sambil mengamati kakinya yang terlihat sakit.

"Yang mana yang sakit, Nak? Mama khawatir banget dengar kamu jatuh." Maya menyentuh kaki Mint yang terkilir. Begitu mendengar rintihan kecil, Maya segera memeluk Mint. "Aduh, setelah ini kita ke rumah sakit ya. Mama nggak mau kamu kenapa-kenapa."

Mint tidak menjawab apa-apa selain diam mendengarkan ibu tirinya dan merasakan pelukan penuh kekhawatiran itu. Beberapa anggota cheers sudah pergi karena yang tidak berkepentingan disuruh keluar. Hanya menyisakan dua orang yakni; Lilac dan Fuchsia.

Dari pandangan lurusnya, Mint melihat Fuchsia. Ibu tirinya Mint adalah ibu kandungnya Fuchsia. Melihat perubahan ekspresi pada wajah Fuchsia, dia merasa bersalah. Seharusnya Maya tidak perlu datang.

"Kamu bisa jalan nggak? Mama hubungi Silver dulu ya. Biar dia gendong kamu," kata Maya, masih menatap khawatir.

Mint hanya mengangguk. Sekali lagi pandangannya tertuju pada Fuchsia. Dia tahu hubungan Fuchsia dan Maya tidak begitu bagus. Maya meninggalkan Fuchsia waktu kecil. Namun, siapa yang akan mengira Maya sebaik ini padanya? Entah bagaimana sikapnya pada Fuchsia, dia takut Fuchsia merasa sedih karena Maya menunjukkan kekhawatirannya.

"Mint, Mama udah telepon Silver. Bentar lagi dia datang ke sini. Tunggu ya. Kita segera ke rumah sakit supaya bisa memastikan kaki kamu ada yang patah atau nggak." Maya mengusap kepala Mint penuh kasih sayang. Pemandangan ini membuat suasana awkward.

"Mama, itu ada Fuchsia. Apa Mama nggak mau nyapa dulu?" tanyanya pelan.

"Nanti. Mama akan sapa nanti. Yang lebih penting dan utama adalah kamu. Lain kali tolong hati-hati ya. Jantung Mama mau copot dengar kamu jatuh," jawab Maya sembari tetap mengusap kepala Mint.

Mint tidak bisa mengatakan apa-apa selain diam dan tersenyum. Dia berusaha menyingkirkan tangan Maya dari kepalanya ketika mengusapnya. Dia tidak mau Fuchsia merasa sedih melihat ibu kandungnya lebih mengkhawatirkan anak tirinya.

"Gue udah bilang nggak usah ikutan yang berbahaya. Masih aja." Silver datang-datang mengomeli adiknya. Meski begitu, wajahnya terlihat khawatir saat melihat sang adik duduk di brankar UKS.

"Jangan gitu dong, Silver. Lagian Mint melakukan hal yang dia suka," bela Maya.

Mint menjulurkan lidah meledek Silver karena dibela ibu tirinya.

"Gendong Mint sekarang. Kita bawa dia ke rumah sakit, Silver," suruh Maya. "Hati-hati. Jangan sampai Mint semakin sakit."

"Iya, Ma." Silver menaikkan satu tangan Mint ke atas pundaknya, lantas menggendongnya dengan cepat. "Enteng juga. Gue pikir lo berat."

"Gue aduin Mama lo ngeledek mulu."

"Tukang ngadu."

"Bodo. Weee!" Mint menjulurkan lidahnya lagi meledek sang kakak.

"Sudah, sudah. Jangan ledek-ledekan terus. Ayo, kita pergi." Maya menyudahi kegiatan ledek-ledekan kedua anak tirinya.

Silver bergerak pergi. Sebelum keluar dari ruang UKS, dia berhenti karena Mint ingin mengatakan sesuatu pada kedua temannya.

"Makasih banyak ya, Fuchsia dan Lilac. Gue balik ya. Kalian hati-hati. Gue serahkan latihan cheers sama kalian," pamit Mint.

"Oke. Semoga baik-baik aja ya Mint kaki lo. Hati-hati juga," balas Fuchsia.

"Iya, Mint. Dadah!" sambung Lilac.

Kemudian, Silver mulai meninggalkan UKS setelah mendengar balasan teman-teman adiknya.

Diam-diam Mint melihat ke belakang. Mint tidak melihat adanya interaksi antara Maya dan putrinya. Mint hanya melihat Maya tersenyum, lalu berjalan menyusulnya. Dia mengamati ekspresi Fuchsia. Dia ikut merasa sedih.

✨✨✨

Pagi ini Mint berangkat bersama Silver menggunakan mobil. Kakinya tidak ada yang patah, hanya terkilir saja. Sebelumnya Maya ingin mengantarnya, tapi dia mengatakan pada ibu tirinya bahwa dia baik-baik saja. Ada Silver yang siap membantunya.

"Lo yakin bisa naik sendiri? Nggak mau gue gendong?" Silver menawarkan diri.

"Nggak. Thank you. Terkilir doang bukan patah tulang. Lo naik duluan aja," tolak Mint.

"Beneran? Gue nggak mau lo tiba-tiba jatuh karena kesakitan. Lebih bahaya kalo lo jatuh di tangga," tanya Silver tak yakin.

"Iya, beneran," jawab Mint sambil mengangguk berulang kali demi meyakinkan kakaknya.

"Ya udah. Kalo lo kesulitan naik kabarin ya. Gue duluan. Atau, lo teriak aja. Gue tau suara lo sekenceng Tarzan." Silver mengacak-acak rambut adiknya. Belum selesai, Mint sudah menepis tangannya karena tidak suka rambutnya berantakan. "Bye, Mint."

Mint diam sebentar, memastikan kakaknya naik dan menghilang dari pandangan. Mint memaksakan diri meskipun kakinya masih sakit. Dia mulai menaikkan satu kakinya yang baik-baik saja, kemudian mengangkat kaki lainnya. Mint meringis.

"Kaki nyebelin! Padahal terkilir doang tapi sakitnya kebangetan." Mint bermonolog sendiri, menyalahkan kakinya yang tidak salah apa-apa.

"Naik ke atas punggung gue."

Mint tersentak kaget. Kontan, dia menoleh ke samping dan mendapati Gempar berjongkok di sampingnya.

"Nggak mau," tolaknya cepat.

"Lo mau terlambat masuk kelas? Kalo kaki lo nggak sakit juga nggak akan gue suruh naik ke atas punggung."

"Ya, nggak mau. Gue bisa sendiri."

Gempar berdiri, memandangi Mint yang memperlihatkan tatapan galak seperti biasa. "Bahkan lagi sakit aja, lo masih keras kepala. Bisa nggak sih sekali aja lo ngebiarin orang lain nolong lo?"

"Lo cerewet deh. Sana naik duluan. Gue bisa sendiri," kata Mint kekeuh.

"Ya udah terserah lo aja."

Gempar menaiki anak tangga satu per satu, meninggalkan Mint sendirian. Namun, Gempar tidak lantas meninggalkan Mint. Dia memerhatikan Mint dari celah tangga. Mint tampak kesulitan. Gempar jadi kesal sendiri karena Mint tidak mau ditolong.

Kesal melihat Mint sebegitu kerasnya, Gempar turun lagi. Dia berdiri di samping Mint sampai perempuan itu terlonjak kaget.

"Astaga! Ngapain lagi sih lo?!" pekik Mint sewot.

"Nemenin lo sampai berhasil naik."

"Hah? Nungguin gue sampai naik ke atas gitu?" ulangnya.

Gempar mengangguk.

"Aneh lo. Kurang kerjaan." Mint mengabaikan Gempar. Namun, kehadiran cowok itu membuatnya tidak bisa melakukan apa-apa. Mint menjadi salah tingkah.

"Duh, lo bisa nggak sih naik duluan? Duduk manis terus belajar gitu," ketus Mint.

Gempar pura-pura tidak dengar, menatap lurus dan mengabaikan pandangan tajam Mint padanya.

Kesal melihat sikap cowok itu, Mint berkata, "Ya udah, terserah lo aja. Kalo telat jangan ngomel."

Mint kembali menaikkan satu kakinya seperti sebelumnya dan kemudian diikuti kaki lainnya.  Sementara Gempar mengikutinya dari samping sambil mengulas senyum.

"Butuh pegangan nggak?" Gempar mengulurkan tangannya ketika melihat Mint kesulitan tanpa pegangan kuat.

"Nggak butuh. Gue bisa sendiri." Mint memukul tangan Gempar.

"Ya udah. Kalo butuh pegangan, lo bisa pegangan sama lengan gue. Atau, tas gue juga bisa."

"Gue nggak butuh pegangan apa-apa. Pegangan tangga di sebelah kanan gue udah cukup."

"Oke deh. Semangat. Lo pasti bisa naik pelan-pelan."

"Lo diem aja deh." Mint memelototi Gempar, berhasil membungkam laki-laki itu. Setelah Gempar kembali menatap lurus, Mint melanjutkan langkahnya.

"Mint?"

"Apa sih? Lo ganggu konsentrasi gue aja!" sahut Mint penuh emosi.

"Baru-baru ini gue denger lagu yang enak. Gue mulai suka sama lagu-lagunya Ran," cerita Gempar.

"Gue nggak mau tau."

"Coba lo dengerin lagu Ran yang judulnya Orang Yang Paling Kubenci."

"Maksudnya gue?" tembak Mint.

"Dengerin dulu lagunya. Mau dengerin sekarang?"

"Nggak usah," tolak Mint, masih jutek.

Gempar merogoh ponselnya dari dalam saku celana, memasang earphone miliknya, lalu memakaikan salah satunya ke telinga Mint. Sebelum dilepas, dia menyetel lagu yang dimaksud lebih dahulu.

🎼Ku tak suka dirimu
Tak senang setiap kau ada
Mengapa semua berbeda?
Kini kau buat aku merindu
Ku tak pernah berharap
Senyummu hadir di mimpiku
Tapi apa daya bila kamu
Yang Tuhan kirimkan untukku...

Mint tidak marah-marah lagi setelah mendengarkan lagunya. Apa-apaan coba nyuruh gue dengerin lagu ini? Batinnya.

"Lagunya enak, kan?" tanya Gempar.

Mint hanya berdeham. Tidak mau merespons apa-apa karena lirik lagunya agak mengejutkan.

Gempar menarik senyum semakin lebar. Mint tidak melepas earphone-nya. Dalam kesempatan ini, dia menyetel lagu lain milik Ran yang kini menjadi playlist favoritnya.

Mereka berdua menaiki tangga pelan-pelan sambil mendengarkan lagu. Walau tidak ada obrolan, Gempar tak berhenti menampilkan senyum manisnya. Sebaliknya, raut wajah Mint mulai berubah dan tak lagi jutek meskipun tidak mengajak Gempar bicara.

Di belakang sana, ada David yang baru saja datang dan menangkap momen manis itu. Dengan cepat David memoret kedekatan Mint dan Gempar. Fotonya dijamin bikin geger seantero sekolah.

✨✨✨

Jangan lupa vote dan komen kalian😘😘😘🤗

Follow IG & Twitter: anothermissjo

Gempar versi Ilustrasi😍
(btw ini bukan aku yang gambar wkwk aku buat di ilustrator😁)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top