Chapter 6: Kecewa
Yuhuuu! Update lagi ^^
Ayooooo vote dulu baru komen sebanyak-banyaknya🌠🌠
Gempar be like: "Ngapain sih liatin aku mulu?" XD
🌠
🌠
🌠
Mint mengupas apel untuk kakak sepupunya yang masuk rumah sakit, Sanitary Jayantaka. Dia merasa kasihan karena orangtua Sani pergi ke London hanya untuk mengurus kedua kembarannya. Nasib Sani kurang lebih sama sepertinya. Hanya saja posisi Sani lebih menyakitkan.
"Kak Sani tahan ya dikatain secara verbal sama orangtua. Aku nggak nyangka Om Derry sama Tante Elisia kayak iblis gitu." Mint memutar bola matanya kesal. "Andai nggak dosa melawan orangtua, aku udah samper dan demo orangtuanya Kak Sani karena udah berlaku seenaknya. Masa anaknya habis dipukulin orang mereka malah lebih ngurus anak yang nggak sakit."
"Udahlah, biarin aja. Lagian udah ada kamu. Aku senang kamu datang ke sini. Soalnya kamu agak susah diajak ngumpul bareng," kata Sani sambil tersenyum.
"Biasa deh, Kak. Urusan di sekolah banyak banget. Aku mau aja ngumpul sama Kak Sani dan sepupu yang lain, tapi tau sendiri. Aku lagi berusaha biar bisa ngalahin Kak Silver dan kakakku yang lain. Aku nggak mau diremehin gitu aja sama Papa. Aku nggak mau nggak dianggap terus. Sakit hati rasanya tiap ingat perlakuan Papa yang nggak enak kayak gitu. Berasa makhluk tak kasatmata aja," cerocos Mint.
"Semangat ya! Suatu saat Papa kamu pasti bangga." Sani mengacungkan ibu jarinya.
"Paling bangga kalo aku udah bisa gebet anak raja. Baru deh tuh disayang-sayang."
Sani tertawa pelan. "Kamu nih bisa aja."
"Andai lahirnya di keluarga lain, aku nggak akan ngedumel begini. Keluarga kita tuh aneh. Kumpulan keluarga gila prestasi, gila kedudukan, gila apalah. Aku muak sendiri. Bisa ya Kak Estetika, Kak Sugar dan sepupu kita yang lain betah jadi keluarga Jayantaka. Aku udah muak."
"Sabar, sabar. Jangan begitu. Keluarga kita ada sisi baiknya juga, Mint."
"Apa sisi baiknya? Nggak ada. Bisanya nyiksa orang." Mint berucap sinis. Bukan sinis pada Sani, dia kesal setiap mengingat keluarganya yang menyebalkan.
"Sini, sini, aku peyuuuuuk!" Sani merentangkan tangan, mengubah suaranya menjadi sok imut demi menenangkan Mint.
"Ish! Kak Sani jangan kayak gitu ah. Geli tau." Mint protes, tapi tetap saja dia bangun dari tempat duduknya setelah meletakkan pisau di atas nakas, lalu memeluk Sani. "Cepat sembuh, Kak Sani. Semoga Kak Sani kuat menghadapi semua masalah di hidup. Mari kita tetap berusaha."
"Mari kita berusaha!"
Di luar ruangan, ada Gempar yang menguping percakapan tersebut. Mint menyuruhnya membelikan bubble tea jadinya dia bergegas keluar meninggalkan Mint bersama sepupunya. Tak disangka ketika dia sudah membuka pintu kamar inap sedikit, dia mendengar hal yang tidak pernah dia sangka.
Ternyata Mint diperlakukan beda oleh orangtuanya. Hal ini menjawab pertanyaan Gempar waktu itu ketika melihat Mint diabaikan pria yang rupanya ayahnya Mint. Sedikit banyak Gempar mengerti sikap Mint yang menjadi-jadi di sekolah adalah karena kurangnya kasih sayang dari ayahnya.
"Gempar?"
Ketika sedang berpikir soal Mint, dia dikejutkan dengan sapaan dari belakang. Kontan, Gempar terlonjak kaget. Untung saja bubble tea yang dia bawa tidak sampai lepas dari genggaman.
"Eh, Kak Mila? Kok ada di sini?" tanya Gempar saat melihat sosok yang menyapanya adalah sepupunya.
"Aku mau jenguk sahabatku. Kamarnya ini. Kamu ngapain berdiri di depan kamar sahabatku?"
"Teman sekolahku katanya mau jenguk sepupunya. Ini kamar sepupunya."
"Teman sekolah kamu? Siapa?" Mila sedang mengingat-ingat siapa gerangan keturunan Jayantaka yang masih bersekolah. Kemudian, dia membuka pintu kamar dan menemukan jawabannya. "Oh, ya ampun... ada Mint rupanya."
"Kak Mila!" Mint berhambur ramah memeluk sahabat dari sepupunya yang baru masuk. "Kangen Kak Mila!"
"Kangen sama Mint juga. Udah makin gede aja. Perasaan waktu itu masih SMP." Mila mengusap-usap kepala Mint sambil tersenyum ramah.
"Iya dong dikasih makan," canda Mint.
"Bisa aja." Mila menoleh ke belakang, mendapat Gempar mengikutinya masuk ke dalam. "Eh, iya. Kamu satu sekolah sama Gempar ya? Aku bingung kenapa ada Gempar di luar kamar Sani."
"Kak Mila kenal Gempar? Iya, dia teman sekolahku. Dia yang antar aku ke sini," jawab Mint.
"Ya ampun... Mint. Gempar tuh sepupu aku. Kayaknya aku pernah cerita deh kalo punya sepupu yang tinggal di New York dari lama terus belum balik. Nah, belakangan Gempar baru aja pulang dari sana. Ternyata kamu sama Gempar udah kenal. Dunia sempit juga ya," jelas Mila.
Mint melirik Gempar. "Oh, Gempar sepupunya Kak Mila. Aku pikir marga Barani itu cuma sama aja."
Mila berjalan menghampiri Gempar, lalu menariknya supaya berdiri di sampingnya. Sambil merangkul pundak Gempar, Mila menjawab, "Nggak dong. Marga Barani yang diselipin di belakang namanya Gempar itu masih sekeluarga sama aku. Gempar ini anak dari Om aku."
"Oh, gitu." Mint mengangguk.
"Dunia sempit ya, Bro," teriak Sani.
"Jangan-jangan jodoh nih," goda Mila.
Mint spontan berdecak. "No, thank you."
"Bae-bae nanti malah jodoh, lho!" bisik Mila menggoda sambil tertawa pelan.
Mint memutar bola matanya ketika wajah berpapasan dengan wajahnya Gempar. Kemudian, dia mengambil bubble tea yang disodorkan Gempar padanya. "Makasih bubble tea-nya."
"Iya, sama-sama, Mint." Gempar menarik senyum tipis. Entah kenapa efek dibilang makasih saja berhasil membuncah rasa yang sulit dimengerti. Jangan bilang dia kesenangan walau cuma diberikan kata terima kasih.
🌠🌠🌠
"Mint, Lani katanya udah tau siapa yang ngatain lo pelacur," kata Helena.
Mint menaikkan pandangan ketika sedang merapikan barang-barangnya ke dalam tas. "Who?"
"Anak baru namanya Sisil," celetuk Lana.
"Ayo, kita serbu, Mint. Seenaknya aja manggil geng kita isinya para pelacur. Sembarangan," lanjut Helena.
"Diko udah cegat tuh anak. Dia mau kabur waktu dikejar." Lana memberitahu.
"Oke. Tunggu gue beresin tas dulu."
Mint memiliki geng lain yang dinamakan Death Eyes. Dinamakan seperti itu karena setiap menatap mata mereka pasti akan timbul masalah. Mint sebagai ketua geng selalu mendengarkan teman-teman segengnya. Ada lima orang lainnya yang tergabung dalam geng ini yakni; Helena, Diko, dan Lana. Dua anggota lagi jarang ikut berkumpul dengan mereka dan hanya sebatas memberikan informasi yang didapat dari sekitarnya. Kebersamaan geng ini sudah tercipta sejak awal masuk sekolah. Sementara Ninda dan Elva adalah teman Mint yang lain, yang dianggapnya sebagai dayang-dayang pribadi.
"Let's go!" Mint berdiri dari tempat duduknya, lalu berjalan lebih dulu sambil menenteng tas miliknya.
Di dekat gerbang sekolah—agak berjauhan sedikit dari pintu masuk—Mint dan teman segengnya berkumpul mengililingi junior yang baru masuk. Tadi pagi Mint mendengar ucapan tak pantas dari junior itu saat tengah duduk di kantin.
Sambil bersedekap di dada, Mint berdiri di depan junior bernama Sisil itu. "Lo nyebut gue sama teman-teman apa tadi? Pelacur?"
"Ng-ng-nggak, Kak," elak Sisil.
"Jangan bohong deh lo!" Helena mendorong tubuh Sisil sampai menabrak dinding.
"Lo pikir gue budeg gitu? Atau, lo pikir gue cuma mengada-ngada?" Mint membuka dua kancing teratas Sisil. "Lo pernah liat gue jalan sama om-om? Pernah liat gue buka kancing sambil godain sembarang orang? Pernah?"
Sisil ketakutan. Tangannya gemetaran. Tak menyangka akan dilabrak ramai-ramai begini.
"Jawab lo!" teriak Lana.
"Ng-ng-nggak, Kak." Sisil gelagapan.
"Bisa-bisanya lo bohong." Lana menampar wajah Sisil dari samping, membuat junior itu meneteskan air matanya. "Jangan suka ngomong sembarangan kalo lo ngelak!"
"Hajar, Mint! Anak kayak gitu harus dikasih pelajaran." Diko mengompori dari belakang.
"Sa-sa-saya nggak bilang apa-apa, Kak. Beneran. Sump—"
Plak!
Satu tamparan keras mendarat di wajah Sisil. Tamparan itu berasal dari tangan Helena yang tidak tahan ingin memberi pelajaran.
"Bagus, Hel. Tampar lagi aja." Diko tak berhenti mengompori dan menjadi tim hore di belakang sana.
"Mint, lo harus bertindak. Jangan bikin anak ini minta maaf doang terus besok ngulang lagi," bisik Lana.
"Tenang. Gue punya cara yang bisa bikin dia kapok." Mint menarik senyum miring saat mengamati Sisil dari ujung rambut sampai ujung kepala. "Sujud di kaki gue," suruh Mint dengan tatapan menyalak.
"Hah?" Sisil gemetaran. Wajahnya panik. "Ka-ka-kaki?"
"Iya. Lo nggak mau?" Mint maju selangkah, memangkas jarak yang tersisa. Satu tangannya menaikkan rok Sisil sampai pahanya terlihat. "Atau, lo mau gue telanjangin aja?"
"Ng-ng-nggak. Jangan." Sisil semakin takut. Tubuhnya membungkuk hendak mendekati sepatu Mint.
"Mint!" Suara teriakan yang kencang berhasil menghentikan tindakan Sisil.
Mint menoleh ke sumber suara tersebut, mendapati kakaknya menatap dengan kecewa. Dia tidak menjawab dan tetap melihat pada Sisil. "Buruan sujud. Jangan sampai gue injek kaki lo."
Silver bergegas meraih tangan Mint, mencengkramnya kuat dengan menunjukkan wajah marah. "Lo bener-bener keterlaluan ya, Mint. Apa-apaan lo nyuruh anak baru sujud!"
"Apa urusan lo? Jangan belagak sok pahlawan deh!" Mint memukul tangan kakaknya cukup keras, tapi sialnya tidak terlepas. "Lepasin tangan gue. Jangan ganggu hidup gue kalo nggak mau gue bikin Ivory nangis. Lo mau liat Ivory nangis-nangis?"
Cengkraman Silver melonggar. Mint berhasil menarik tangannya kembali dan tersenyum miring. "Gue nggak nyangka lo lebih peduli sama perempuan murahan itu."
"Jaga ucapan lo ya, Mint."
"Kenapa? Lo mau ngancam gue dengan kalimat yang sama kayak waktu itu? Gue nggak takut. Silahkan," tantang Mint.
Silver geram. Tangannya mengepal sempurna, mencoba menahan emosinya yang sudah meluap-luap.
"Pergi dari sini dan jangan ikut campur urusan gue," usir Mint seraya memberi kode pada Diko untuk menyeret kakaknya pergi dari sana.
Diko menarik Silver dengan cepat. Beberapa murid yang melihat tidak berani menginterupsi atau menghentikan. Mereka takut kena sasaran bully gengnya Mint. Setelah Silver berhasil disingkirkan oleh Diko, maka Mint melanjutkan pertunjukkan yang belum selesai.
Mint bersedekap di dada, menatap Sisil dengan tatapan dingin yang sama. "Sujud cepetan. Jangan sampai lo menyesal karena nggak mau."
"Buruan lakuin!" Helena mendorong tubuh Sisil sampai menabrak dinding, membuat gadis itu kesakitan dan menangis.
"I-i-iya, Kak." Sisil buru-buru melakukan yang diperintahkan Mint. Bersujud di depan kakinya.
Mint menarik senyum miring. "Setelah ini jangan berani-beraninya ngatain gue atau teman gue seenak mulut lo. Ingat ya. Ini baru permulaan. Gue bisa bikin hidup lo lebih menderita lagi."
"Rasain lo! Kurang ajar sih!" ucap Lana.
"Makan tuh pelacur!" sambung Helena sambil tersenyum miring. "Bye, loser!"
Setelah selesai memberi pelajaran, Mint berbalik badan hendak menunggu di lobby sekolah. Murid-murid lain tak ada yang berani melaporkan karena Mint akan melakukan hal yang sama seperti tadi. Mereka takut karena teman-teman segeng Mint sangatlah menakutkan dan menyeramkan.
Tepat saat Mint sedang berjalan, dia melihat Gempar berdiri menghalangi jalannya. Mint memberi kode pada Helena, Lana, dan Diko untuk pergi duluan. Ketiga temannya itu mengikuti permintaannya, membiarkan dia berhadapan dengan Gempar berdua saja.
"Gue nggak nyangka lo sejahat ini. Gue sempat kasihan sama lo karena dibedain sama bokap waktu dengar obrolan lo sama Kak Sani di rumah sakit. Nggak taunya lo begini. Pantes bokap lo membedakan lo. Mungkin dia tau kelakuan lo keterlaluan macam sampah," ketus Gempar.
Mint menarik senyum miring. "Gue nggak butuh dikasihani sama lo. Gue emang sejahat itu."
"Lo bener-bener mengecewakan." Gempar melewati tubuh Mint, menghampiri Sisil yang menangis dan ketakutan.
Mint menoleh ke belakang mengamati Gempar menutupi tubuh Sisil dengan jaket cowok itu. Tidak mau peduli, Mint melanjutkan langkahnya. Mint tetap berjalan dengan dagu sedikit terangkat, mencerminkan betapa angkuhnya dia.
Di belakang sana Gempar memandangi kepergian Mint dengan kekecewaan yang besar.
🌠🌠🌠
Note: Tindakan Mint dan teman-temannya di atas udah termasuk bullying. Bullying bisa dilakukan di mana aja, kapan aja, dan dengab siapa aja. Jangan dicontoh ya!
Jangan lupa vote dan komen kalian😘😘😘🤗❤️
Follow IG, Wattpad & Twitter: anothermissjo
Tatapan dingin Mint siap membuatmu bekuuuuu~~~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top