Chapter 35: Getting Better and Better
Yuhuu update lagi😍😍
Sudah siap berpisah dari MiPar?🥰🥰
#Playlist: Gaho - Running (Ost Start Up)
✨
✨
✨
Hari-hari berlalu begitu cepat. Kondisi Mint sudah membaik dan bisa sekolah kembali. Skorsing telah berakhir dan Mint dapat melihat teman-teman di sekolahnya. Meskipun demikian, ada satu yang belum berubah. Mint belum melihat ayahnya sejak surat dan flashdisk diberikan. Mint tidak pernah melihat ayahnya datang menjenguk ke rumah sakit. Di antara banyaknya bahagia, ada sedih yang selalu menyerang hati. Mint menutupinya dengan baik, menunjukkan pada orang-orang bahwa dia bahagia seperti biasa.
Setelah pengakuan di rumah sakit Lana dan Lani dikenakan skorsing dua minggu. Orang-orang yang memukuli Mint diberikan skorsing yang sama sambil menunggu keputusan sekolah. Mint tidak mau mengurus masalah pemukulan itu sampai ke pengadilan sehingga membiarkan sekolah yang melakukan tindakan lanjutnya. Mint tidak mau dikira mendapatkan privilege karena ayahnya donatur sekolah.
Mint duduk di salah satu bangku gimnasium, memperhatikan pertandingan basket yang dimainkan Gempar bersama timnya--berisi David, Axel, Garis, dan Sastra. Di sisi lainnya ada anak basket yang tak kalah hebat. Mint tidak duduk sendirian karena ditemani Helena. Sedangkan Ninda dan Elva sedang membeli jus di kantin.
"Kadang gue iri jadi cowok," gumam Helena.
"Kenapa?"
"Kalo mereka cari masalah kayak tawuran atau bandel, mereka tetap digila-gilai banyak cewek. Malah beberapa cewek bilang itu keren. Sedangkan cewek yang bolos sekolah dikit langsung dikatain nakal atau jalang. Kenapa harus ada perbedaan kayak gitu, sih?" Helena bertanya-tanya seraya menyandarkan tubuhnya di punggung kursi.
"Mungkin karena beberapa pemikiran terlalu familier dengan predikat itu? Jadinya kalo ada cewek yang 'bandel' dikit dibilang nggak bener. Sedangkan sebaliknya, malah dianggap keren atau kece," jawab Mint dengan santai.
Helena manggut-manggut. "Soal bully juga gitu."
"Kenapa?"
"Gue pernah ingat ada yang bilang kalo lo belain Ninda karena dipukulin mantannya. Tindakan lo baik, tapi beberapa orang merasa lo sok hebat. Padahal mantannya Ninda emang kasar dan tukang bully orang juga. Tapi gue nggak pernah denger mantannya Ninda dibenci setengah mati kayak mereka ngebenci lo atau kita-kita ini yang cewek. Perundungan yang dilakukan mantannya juga nggak kalah parah, lho! Kenapa cuma kita yang cewek selalu dianggap paling jahat?"
"Entahlah. Gue nggak peduli dibilang jahat jadi nggak pernah mikirin hal itu. Bener, sih, beberapa orang yang benci sama cowok-cowok tukang bully nggak sebanyak kalo kita cewek-cewek bully orang. Tapi, ya..." Mint melambaikan tangannya lebih dahulu menyapa Gempar yang melempar senyum padanya. Lalu, dia melanjutkan, "... kita bisa menjadi tokoh antagonis di cerita orang lain. Terkadang kebaikan seseorang akan tertutup sama kejahatan lo. Betul kita salah dan akhirnya berusaha menjadi lebih baik, tapi apa orang-orang yang akan peduli sama hal itu? Mereka akan tetap mencap kita ini tukang bully. Kalo lo berniat jadi artis mending batalin aja karena biasanya suka ada yang beberin kesalahan atau masa lalu orang pas lagi tenar-tenarnya."
Helena tertawa geli sambil menyenggol lengan Mint. "Bisa aja lo."
"Intinya lo nggak perlu memperbagus atau mengumbar kebaikan lo sama orang-orang. Cukup diri sendiri dan Tuhan yang tau. Karena sebagian orang nggak mau peduli sama kebaikan lo, mereka cuma mau menjatuhkan lo sampai terpuruk."
Helena mengangguk pelan. "Berarti lo nggak masalah kalo nggak dikasih kesempatan kedua sama orang-orang untuk menunjukkan sisi baik lo?"
"Nggak masalah. Setiap manusia pernah berbuat salah. Nggak perlu merasa paling suci nggak pernah jahat sama orang atau melakukan hal buruk. Sadar atau nggak kita pernah menyakiti seseorang. Siapa pun itu. Jadi, kalo orang-orang di sekolah ini nggak mau kasih gue kesempatan kedua dengan nggak mau tau perubahan gue, nggak masalah. Seenggaknya gue tetap berubah demi diri gue sendiri, bukan mereka. Gue berubah bukan untuk dibilang baik atau dikasihani. Gue mengubah diri atas keinginan gue sendiri, bukan untuk menyenangkan orang lain."
Helena bertepuk tangan pelan. "Yassh! That's my girl!"
"Mulai gilanya, deh." Mint menyenggol bahu Helena agar diam. Cewek itu diam, tapi masih tetap melempar senyum meledek. "Omong-omong, gue mau bilang makasih karena kalian udah jenguk dan kasih tau hal yang sebenarnya. Mengakui kesalahan itu nggak mudah. Gue salut sama kalian."
"As you know, Mint, kita rindu masa-masa berkumpul dulu. Kita tau lo menjauh karena hal-hal buruk yang kita lakukan bersama. Lana, sih, yang sadar pertama dan mengakui kesalahan itu waktu ngobrol sama gue. We need you, Mint."
Mint menatap Helena, yang juga menatapnya. Sambil tersenyum, Mint berkata, "No. We need each other."
"WOOOI! NGAPAIN TATAP-TATAPAN BERDUA?" Suara kencang itu menggema di seisi gimnasium. Beberapa orang menoleh kepada sang empunya suara, kaget. Begitu pula dengan Mint dan Helena.
"Heh, Diko! Lo berisik banget. Sini lo!" balas Helena berteriak.
Diko menghampiri Mint dan Helena dengan senyum lebar. Hubungan mereka sudah membaik dan saling meminta maaf. Mereka sudah berkumpul riang bersama--tanpa melakukan bully seperti dulu.
"Pulang sekolah jadi main ke rumah Lana?" tanya Diko.
"Jadi, dong! Lo mau batalin, ya?" tanya Helena dengan memicingkan mata curiga.
"Ikut, Hel. Suara lo macam emak-emak nuduh anaknya habis bolos sekolah aja," jawab Diko setengah meledek.
"Sial lo!"
"Gue malah curiga Mint nggak ikut karena dibuntuti pacarnya," goda Diko.
"Gue mau ngajak dia sekalian biar bisa anter gue balik." Mint berpura-pura serius.
"Ih... kata lo nggak akan ngajak Gempar. Ini acara Death Eyes doang, Mint. Jangan ajak-ajak pengawal, dong," balas Helena tidak setuju. Dia tidak mau acara bersama teman-teman segengnya terganggu karena Mint bermesraan dengan pacarnya.
Mint tertawa kecil, berhasil membuat Helena dan Diko percaya. "Haha... nggak lah. Gue nebeng sama lo berdua. Dia bilang gue perlu waktu senang-senang bareng kalian jadinya nggak akan ikut."
"Gue pikir beneran!" seru Helena.
Mereka bertiga tertawa, lalu melanjutkan obrolan dengan hal lain. Jika biasanya diisi kebencian terhadap seseorang yang menghina atau mengejek mereka, sekarang tidak ada lagi hal-hal seperti itu. Mereka mengabaikan hinaan atau ejekan orang-orang. Mereka hanya membalas dengan tatapan sinis nan menakutkan agar mereka diam. Ya, meskipun ujung-ujungnya orang-orang semakin kurang ajar--setidaknya mereka tidak mau mengulang hal yang sama. Biarlah sifat dan sikap toxic mereka berakhir begitu saja dan fokus membentuk diri mereka menjadi lebih baik lagi.
✨✨✨
Mint duduk memandangi laut terbentang. Di tempat yang sama dia mendengar Gempar menyatakan cinta untuk pertama kalinya. Pada saat itu Mint menolak meskipun tidak secara terang-terangan. Dan seperti waktu itu pula Mint datang bersama orang yang sama.
"Gimana Lana? Kemarin senang-senang, dong?" Gempar memulai obrolan setelah cukup lama diam.
"Lana baik, Lani juga baik." Mint menjawab pelan. "Tapi ada sedihnya juga karena aku dan teman-teman yang lain baru tau kalo Lana kurang perhatian dari orangtuanya. Semua hal buruk yang dilakukan bareng aku, itu atas dasar ingin diperhatikan. Kalo dipikir-pikir, dia nggak beda jauh sama aku, kurang kasih sayang."
"Terkadang saat kamu kurang kasih sayang, kamu bisa melakukan hal di luar nalar agar bisa dapat perhatian dari orang lain. Beberapa kasus seperti yang kubaca, biasanya ada yang mengalami daddy issues."
Mint mengangguk pelan--berpikir mengenai ucapan Gempar. Daddy issues. Entah Mint bisa mengategorikan dirinya mengalami daddy issues atau tidak, tapi Mint tidak merasakan kehadiran sosok ayah di hidupnya. Walau ayahnya masih hidup, dia tidak mendapatkan perhatian yang sama dari ayahnya. Mint menjadi lebih posesif terhadap kakak-kakaknya, lebih sering memacari cowok yang lebih tua, mudah kesepian, haus perhatian, dan haus kasih sayang. Mint membutuhkan sosok ayah di hidupnya sehingga dia mencari-cari hal itu pada diri orang lain. Mint pernah beberapa kali bertahan pada hubungan toxic karena tidak ingin kehilangan seseorang. Baginya perhatian dan kasih sayang sebuah kebutuhan yang wajib didapat dengan cara apa pun. Beberapa kali pula Mint akhirnya menyerah dan memilih mencari pacar baru untuk mengisi kekosongan tersebut.
"Mungkin kalo Papa lebih merhatiin aku, nggak ada yang namanya mengais-ngais perhatian. Aku akan merasa cukup disayangi," ucap Mint lirih.
"Sebenarnya..." Gempar menggantung kalimatnya.
"Sebenarnya kenapa?" tanya Mint memotong lebih cepat.
"Waktu itu Papa kamu jenguk kamu." Gempar memberitahu.
Mint menoleh ke arah Gempar. Matanya menatap Gempar tak percaya. "Kamu bilang apa? Jangan bohong, ya."
"Aku nggak bohong. Sebenarnya aku nggak boleh kasih tau, tapi aku nggak mau kamu menganggap Papa kamu nggak sayang sama kamu. Dia menyayangi kamu lebih dari yang kamu tau." Gempar menekankan kalimatnya dengan serius. Kemudian, dia mengambil ponselnya dan memperlihatkan foto yang diambil saat Lukman menjenguk Mint. Dia menyodorkan kepada Mint. "Ini kamu lihat. Papa kamu jenguk. Waktu itu aku lihat dia genggam tangan kamu sambil nangis dan minta maaf. Dia merasa bersalah atas kejadian yang menimpa kamu, Mint."
Mint mengamati foto yang ditunjukkan Gempar padanya. Matanya berkaca-kaca.
"Dia cerita banyak hal. Tapi, aku nggak mau beberin itu semua."
"Kenapa? Coba kasih tau aku," pinta Mint dengan nada memohon.
"Karena aku mau Papa kamu sendiri yang bilang." Gempar bangun dari tempat duduknya, melihat seseorang di belakang Mint mulai mendekat. "Aku sengaja ajak kamu ke sini biar bisa bicara sama Papa kamu. Aku bahas soal ini pun biar Papa kamu mau jelasin ke kamu. Nanti kamu tanya sendiri, ya. Coba bicara baik-baik dan sampaikan yang kamu rasakan, Mint. Aku tunggu mobil, ya."
Mint menoleh ke belakang setelah kata-kata Gempar. Dia melihat ayahnya berhenti dan menatapnya dengan tatapan yang sulit dimengerti. Mint pikir Gempar mengajaknya ke sini untuk mengulang cerita mereka bersama, ternyata ada maksud lain.
"Papa...," panggil Mint pelan.
"Hai, Mint," sapa Lukman dengan mata berkaca-kaca. Dia bersedia memenuhi permintaan Gempar setelah banyak pertimbangan. Sebelumnya dia sempat menolak, tapi akhirnya menerima berkat bujukan Gempar.
Mint tidak berkata apa-apa selain bangun dari tempat duduknya dan berlari menghampiri ayahnya. Mint melihat ayahnya menangis. Saat itulah Mint tahu ayahnya masih menyayanginya--tidak peduli sebesar atau sekecil apa pun itu. Mint memeluk ayahnya dengan erat, menangis tersedu-sedu dalam pelukan ayahnya.
Lukman balas mendekap putrinya erat-erat, mengusap kepalanya, diikuti isak tangis. "Maafin Papa, Mint."
Dari jauh Gempar menyaksikan adegan penuh haru itu dengan senyum lebar. Dua-duanya keras kepala dan tidak mau mengakui rasa sayang. Oleh karena itu, Gempar sengaja mengajukan pertemuan ini kepada Lukman. Dengan cara seperti ini dia ingin Mint tahu bahwa Lukman juga menyayanginya.
✨✨✨
Jangan lupa vote dan komen kalian😘🤗❤
Notes: Daddy issues adalah efek psikologis yang dialami seseorang karena ia memiliki hubungan yang tidak sehat dan kurang harmonis dengan ayahnya atau bahkan tidak merasakan kehadiran sosok ayah dalam hidupnya.
Follow IG: anothermissjo
Salam dari Gempita😘😘😘
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top