Chapter 34: The Truth Pt. 2

Yuhuu update😘😘😘🤗❤



#Playlist: Meghan Trainor - Friends

"Mint, ini ada titipan untuk kamu."

Mint beralih melihat Salty. Kakak sepupunya itu meletakkan sebuah kotak berukuran sedang di atas ranjang. Tidak seperti kemarin-kemarin yang sulit duduk, kondisi Mint mulai berangsur pulih.

Di hari ketiga Mint dirawat Salty dan Maya. Ibu tirinya sedang membeli makanan. Sementara kakak-kakaknya mulai sekolah dan bekerja. Begitu pula dengan Gempar. Pacarnya itu lagi di sekolah dan belajar.

"Ini apa, Kak?" tanya Mint.

"Titipan dari Papa buat kamu. Buka aja," jawab Salty.

"Bukan bom, kan?"

"Bukan. Aku nggak tau apa isinya, tapi papamu nitip. Katanya tolong kasih buat kamu."

"Tumben." Mint terheran-heran. "Aku buka, ya."

Mint membuka penutup kotak, menemukan sebuah flashdisk dan amplop sedang berwarna pink. Tak membuang banyak waktu Mint mengambil amplopnya dan mengeluarkan isi di dalamnya. Mint terkejut. Ada lima foto yang menampilkan seorang wanita cantik berkulit putih dan berambut panjang warna cokelat muda tengah mengusap perutnya dan berpose berbagai gaya.

"Isinya foto Tante Ava, toh," kata Salty setelah menyadari foto yang dipegang Mint. "Mama kamu cantik banget. Di keluarga Jayantaka, mamamu itu menantu paling cantik dan disayang kakek sama nenek kita. Mamamu orangnya sopan dan baik, itu yang menjadikan dia favorit semua orang."

Seumur hidupnya Mint tidak pernah melihat wajah ibunya walau hanya dari foto. Ayahnya menyimpan album masa kecil mereka di suatu tempat yang tidak bisa dijangkau. Foto keluarga pun tidak dipajang di rumah--tak seperti kebanyakan keluarga lain. Setiap kali Mint meminta kakak-kakaknya menunjukkan foto sang ibu, mereka bilang fotonya disimpan Lukman. Dia hanya mendengar deskripsi ibunya dari kakak-kakaknya. Bagaimana rupanya, senyumnya, dan sentuhannya. Bahkan kakaknya Silver masih merasakan sentuhan dan dapat berfoto dengan ibunya.

Ternyata ibunya sangat cantik. Mint tahu ibunya bukan orang Indonesia asli. Ibunya merupakan warga asli Amerika. Wajah bulenya tidak bisa membohongi mata. Rambut cokelat panjang dan iris birunya menunjukkan daya tarik yang luar biasa.

"Mama..." Mint mengusap foto ibunya. Matanya berkaca-kaca dan suaranya bergetar. "Akhirnya Mint bisa lihat Mama."

Salty mengamati Mint dipenuhi rasa kasihan. Sebagai orang yang membantu Mint dari kecil, dia selalu melihat Mint termenung dan berulang kali bertanya kenapa tidak memiliki ibu seperti yang lain. Pertanyaan Mint yang satu itu membuat Salty sedih dan bingung. Salty sendiri akrab dengan Ava--itulah kenapa dia bersedia membantu Lukman merawat Mint dari kecil.

"Itu ada suratnya, kan? Coba kamu baca," suruh Salty.

Mint baru sadar kalau ada surat yang dimasukkan bersama dengan foto. Dia membuka surat dan membaca dengan saksama.

Ini foto mama kamu. Dan ini adalah hadiah terakhirnya untuk kamu. Jangan lupa tonton video yang ada di flashdisk. Itu hadiahnya.

Cepat sembuh, Mint.

From: Your Father

Kata 'cepat sembuh' menyentuh hati Mint. Walau sebatas tulisan hatinya menghangat, seolah ayahnya benar-benar menunjukkan kepeduliannya. Mint tidak pernah melihat ayahnya datang bahkan setiap dia bertanya pada keluarga yang lain, mereka terlihat menghindar, seolah tidak mau menyakiti dengan jawaban jujur bahwa ayahnya tidak akan pernah datang menjenguk. Setidaknya Mint tahu ayahnya masih peduli dari isi surat tersebut.

"Kak Sal, bawa laptop nggak?" tanya Mint.

"Bawa. Kenapa, Mint?"

"Aku mau nonton sesuatu di flashdisk ini."

"Wait, aku ambilkan dulu."

Salty mengambil laptop yang diletakkan di atas meja samping sofa ruang kamar. Dia meletakkan di atas ranjang Mint setelah menyalakan. Salty membuka file dari flashdisk yang diberikan Mint. Di dalam flashdisk itu hanya ada satu video yang akhirnya dia buka. Salty ikut menonton dengan duduk di samping Mint.

"Halo, halo."

Mint melihat ibunya menyapa diikuti dengan lambaian tangan. Ibunya sedang mengandung seperti foto yang dilampirkan di dalam amplop. Hanya saja pakaiannya berbeda, tidak sama. Dia menatap layar laptop dengan perasaan sedih.

"Ini aneh nggak ya nyapa anak sendiri lewat video masa lalu?" Wanita itu tertawa kecil. "Ini Mama, Mint. Iya, mamanya Mint. Mungkin Mint merasa bingung karena tiba-tiba Mama nyapa lewat video ini. Jangan bingung ya, Nak. Mama sengaja buat video ini untuk Mint tonton nantinya. Anyway, Mama udah namain kamu Peppermint dan papamu setuju. Padahal sebelumnya Papa nggak setuju karena namanya terlalu unik, tapi akhirnya setuju. Yay! Mama senang bisa menang dari Papa. Semoga nggak ada yang bully kamu karena nama Peppermint, ya."

Rasanya aneh. Mint seperti tengah mendengarkan ibunya secara langsung. Senyum, tawa, dan ekspresinya benar-benar terlihat begitu tulus.

"Mama buat video ini pas Mint di dalam kandungan. Lihat, ini ada Mint lagi di dalam perut Mama." Wanita itu mengusap-usap perutnya sambil tersenyum senang. "Kata dokter bulan depan Mint lahir ke dunia. Mint bisa melihat indahnya dunia. Tapi..."

Raut wajah perempuan itu berubah. Senyumnya memudar sedikit demi sedikit. "Saat Mint lahir, mungkin Mama nggak bisa menemani Mint lagi. Dokter bilang Mama harus memilih, apakah menggugurkan Mint atau mempertahankan. Mama pilih mempertahankan karena Mama ingin Mint merasakan indahnya dunia dan menyapa kakak-kakak yang lain. Masih banyak hal yang perlu Mint lihat. Mama udah cukup merasakan dan melihat banyak hal. Jangan marah sama Mama, ya, karena memilih ini. Mama bahagia dan senang bisa mengandung dan melahirkan Mint nantinya."

Mata Mint berkaca-kaca. Mint melihat ibunya mengusap perut berulang kali dan memaksakan senyum sedih itu untuknya.

"Kalau Mint lagi nonton video ini, Mama ingin Mint tau kalau Mama sayang banget sama Mint. Mama senang Mint menendang-nendang dari dalam perut, seengaknya Mama bisa ngerasain keberadaan Mint. Mama harap Mint tumbuh dan besar menjadi pribadi yang baik. Jangan melawan Papa, ya. Terkadang Papa nyebelin, tapi sebenarnya Papa sangat perhatian dan penyayang. Sayangi Papa dan kakak-kakaknya Mint sebanyak Mama menyayangi Mint."

Air mata Mint jatuh membasahi pipinya. Salty mengusap pundak Mint, berusaha menenangkan.

"Biarpun Mama udah nggak ada di samping Mint, Mama akan terus mendampingi dari tempat berbeda. Mama selalu berdoa agar Mint mendapatkan kebahagiaan dan kasih sayang yang luar biasa dari banyak orang. Mama harap hidup Mint mudah dilalui meski ada banyak rintangan. Yang paling penting, Mint harus tetap semangat apa pun yang terjadi. Mama doakan segala hal baik meliputi kehidupan Mint. Semoga Tuhan selalu memberikan hal-hal baik untuk Mint."

"Seandainya nanti Papa menikah lagi, jangan musuhi istri barunya, ya. Mint harus menyayangi sebesar Mint menyayangi Mama dan keluarga. Bagaimana pun ibu baru akan menjadi pengganti Mama. Perlakukan dia dengan baik. Mama yakin Mint bisa melakukan itu. Mint anak yang baik. Mama sayang sama Mint. Selalu dan selamanya."

Dalam video itu ibunya memberikan kecupan di udara. Senyum ibunya kembali cerah seperti awal video.

"Mama akhiri pembicaraannya, ya, Sayang. Jalani hidup sebaik-baiknya. Jangan pedulikan kata orang yang nggak membuat Mint menjadi pribadi yang lebih baik. Ingat kalau kita nggak bisa menyenangkan dan membuat semua orang menyukai kita. Meskipun nanti ada yang benci sama Mint, jangan lupa kalau masih banyak orang menyayangi Mint. Once again, I love you, Mint."

Kalimat terakhir Ava berhasil meluruhkan semua tangis Mint. Suara isak tangisnya menggema di seisi ruangan.

"Mama..."

✨✨✨

Mint sedang melahap dessert pada jam sore. Tiba-tiba dia melihat Bu Anisa masuk ke dalam kamarnya ditemani Gempar. Ini sudah jam pulang sekolah. Mint terheran-heran melihat kedatangan Bu Anisa.

"Halo, Mint. Gimana keadaannya?" tanya Bu Anisa ramah.

"Lumayan baik, Bu. Kok Bu Anisa datang ke sini?"

"Iya, saya mau jenguk kamu sekalian mau memberitahu sesuatu."

"Soal apa, Bu? Skorsing saya ditambah?"

Bu Anisa belum melanjutkan apa-apa. Hal ini dikarenakan ada gangguan lain yang memaksa mereka semua melihat ke arah pintu.

"Hai, Mint," sapa Lana.

"Hai, Mint," sambung Helena.

"Kalian mau ngapain ke sini?" tanya Gempar.

Pertanyaan Gempar tidak dijawab. Lana dan Helena saling melempar pandang. Mereka berdua mengangguk, seolah memberi kode akan sesuatu.

"Mumpung Bu Anisa ada di sini. Saya mau mengakui sesuatu," ucap Lana.

"Mengakui apa, Lana?" tanya Bu Anisa.

"Mint nggak pernah kirim pesan di direct message Instagramnya Widi. Itu saya dan Lani yang kirim. Waktu itu ponselnya Mint digeletakin gitu aja dan saya melakukan itu tanpa memikirkan efeknya terhadap Widi. Saya cuma mau bikin salah paham aja, bukan sampai bikin Mint diskorsing," aku Lana.

Mint terkejut bukan kepalang. Setelah mempercayai semua teman-teman satu gengnya, dia mendengar pengakuan yang menyakitkan.

Lana melihat pada Mint dengan tatapan nanar. "Gue cuma pengin lo balik sama gue dan yang lain, Mint. Gue sama yang lain kangen lo. Kita nggak mau lo pisah dari kita. Makanya gue ngelakuin itu biar lo semakin disebelin sama orang-orang jadinya nggak ada yang mau temenin lo selain kita."

"Tapi bukan Lana sama Lani yang kirim surat-surat itu, Bu. Mereka cuma melakukan soal kirim pesan aja di Instagram. Dan saya bisa jamin Mint nggak mengirim surat itu," sambung Helena.

"Oke, saya paham sekarang," sela Bu Anisa. "Saya datang mau bilang kalau Mint nggak bersalah. Sayangnya CCTV di gimnasium rusak jadinya nggak bisa periksa pelakunya. Soal surat-surat yang dikirimkan itu udah ada petunjuk dan kejelasan. Mint nggak bersalah. Berarti kamu dan Lani akan mendapat hukuman."

"Iya, Bu. Saya dan Lani bersedia menerima hukuman itu."

"Datang ke ruang kesiswaan besok."

"Baik, Bu."

Bu Anisa mengusap pundak Mint. "Maaf Ibu sempat nggak percaya sama kamu. Lekas sembuh, ya, Mint. Maaf kamu harus menjalani skorsing yang bukan menjadi kesalahan kamu."

"Iya, Bu, nggak apa-apa. Berarti saya udah bisa masuk lagi, kan?" Mint bertanya dengan penuh harap.

"Bisa, Mint. Setelah sembuh kamu boleh masuk. Ibu tunggu, ya, kedatangan kamu. Sekali lagi lekas sembuh. Ibu pamit pulang. Maaf nggak bisa lama-lama."

"Nggak apa-apa. Makasih banyak, Bu Anisa. Hati-hati di jalan."

Sepeninggal Bu Anisa, suasana menjadi lebih hening. Gempar tetap berada di dalam ruangan, memantau hal yang akan dilakukan Lana dan Helena.

"Maaf, Mint. Maaf...," ucap Lana.

Mint menatap kecewa. Gempar yang menyadari tatapan itu langsung berpindah posisi, berdiri di samping Mint--menjaga kekasihnya dari teman-teman yang toxic itu.

"Gue cuma mau kasih pelajaran biar lo merasa kehilangan kita. Karena gue sama yang lain benci lihat lo nggak merasa kehilangan setelah nggak main sama kita semua," lanjut Lana.

"Gue juga minta maaf, Mint. Gue kangen sama lo. Kangen pertemanan kita," sambung Helena.

"Pertemanan kita yang buruk itu?" balas Mint.

"Gue tau kita nggak pernah berbuat baik, tapi ada masanya kita ingin menjadi lebih baik, kan? At least, kita bisa berubah menjadi lebih baik bersama-sama. Kalau nggak ada kesempatan kedua, seengaknya gue mau menunjukkan udah berubah lebih baik," ucap Lana.

Mint tidak menjawab. Dia hanya diam memandangi kedua temannya itu. Cukup lama sampai akhirnya mereka saling menggenggam tangan dan menatap sedih.

"I'm sorry, Mint," ujar Lana.

Mint tidak membalas, diam memandangi Lana dan Helena secara bergantian. Mint bisa merasakan ketulusan keduanya saat minta maaf. Dan Mint percaya bahwa setiap orang selalu punya sisi terbaiknya dan dia melihat sisi itu sekarang.

Tanpa permisi Mint menarik keduanya, berpelukan dalam tangis akan penyesalan. Mereka bersama-sama sadar bahwa hidup tak selalu tentang salah atau menjadi dominan.

Lana selalu kesepian di rumah sehingga berusaha menonjolkannya dengan tindakan-tindakan anarkis agar diperhatikan. Hanya saja caranya salah. Begitu juga dengan Helena yang benar-benar salah telah bersikap semena-mena.

Pada akhirnya mereka semua belajar bahwa menjadi seseorang yang baik tidak rugi. Mereka memahami, pertemanan yang baik bukan karena ingin terlihat hebat atau mendominasi, melainkan berusaha menjadi pribadi yang lebih baik dan menghindari hal-hal yang tak sepantasnya dilakukan.

✨✨✨

Jangan lupa vote dan komen kalian😘😘😘🤗❤

Follow IG: anothermissjo

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top