Chapter 31: Insiden

Yuhuu update lagi😍😍

Mint sedih karena tidak dapat berpartisipasi dalam pentas drama musikal di sekolah. Dia sudah diperbolehkan datang ke sekolah dan kebetulan setelah acara selesai guru BK akan bicara dengannya. Mint sudah menyiapkan diri, tak mau terlalu memusingkan hal itu sekarang. Mint ingin menikmati penampilan pacarnya.

Sejujurnya Mint sangat ingin berpartisipasi penggalangan dana pentas drama musikal ini. Hanya saja pihak sekolah tidak mengizinkannya menampilkan wajah, menyangkut skors yang didapatnya. Mint agak cemburu waktu Gempar harus bermesraan dengan pemain lain. Walau sebatas drama musikal dan akting saja, tapi tetap hatinya terbakar api cemburu. Seharusnya dia yang bermesraan dengan Gempar, bukan cewek lain.

"Cie... cembokur, nih," goda David.

Mint menyikut perut David, yang kebetulan duduk di sisi kanannya. Sementara Ninda berada di samping kanan David sehingga rasanya sulit diajak bicara. Mint memelototi David dan menyuruhnya diam.

"Mesra banget, ya, Sist. Gempar bisa cinlok tuh," bisik David, masih edisi menggoda.

"Jangan sampai gue pukul lo di sini, ya," omel Mint.

David menaikkan jari telunjuk dan tengah dengan diselipi cengiran kuda. "Peace, Mimin, peace."

Mint dapat kembali fokus setelah David menutup mulutnya. Mint duduk di paling depan, tidak ingin ketinggalan setiap adegan dengan detail. Pasangan Gempar bukan anak lama drama musikal. Pintarnya ketua drama musikal menggaet junior bernama Ivona karena tidak ada yang berani menggantikan--itu yang dikatakan Yayuk padanya. Bahkan junior itu sempat ketakutan karena tidak mau terlibat masalah dengan Mint. Padahal Mint tidak masalah.

Dia percaya pada Gempar. Cowok itu takkan menyakitinya. Kalaupun menyakitinya karena ada orang lain, dia akan menjadikan pembelajaran berharga--seperti yang sudah-sudah. Namun, Mint selalu percaya yang namanya orang ketiga ada karena dua belah pihak membuka pintu. Baik dari cowoknya ataupun ceweknya. Tidak mungkin ada orang ketiga jika salah satunya menutup pintu. Sesimple itu saja pemikirannya. Entah bagaimana persepsi orang tentang itu.

"Mint, ini perasaan gue atau Gempar makin kece?" bisik Elva, duduk di samping kiri Mint.

"Mungkin karena pacaran sama gue makanya makin kece," sahut Mint santai.

"Gila, pede banget." Elva menahan tawa. "Tapi benar juga sih, pacaran sama lo tuh anak kelihatan lebih bahagia. Baru-baru masuk mukanya dingin dan jutek banget. Biar secakep apa, kalo nyebelin mah males juga."

Mint menahan tawa. Benar juga. Dia tidak suka versi Gempar yang menyebalkan itu. Mungkin Gempar merasakan hal yang sama ketika berhadapan dengannya. Dan pelan-pelan semua sisi itu tergantikan dengan sisi yang lebih menyenangkan. Karena semua orang punya sisi baik dan buruk.

Selama setengah jam lamanya Mint menonton pertunjukan sampai selesai. Tempat duduk ramai diisi orang-orang yang datang. Mereka tidak datang cuma-cuma, tapi harus membayar dan uangnya akan disumbangkan untuk pihak yang kurang mampu. Pertunjukan drama musikal ini murni untuk penggalangan dana.

Orang-orang bertepuk tangan, bersiul-siul bahagia, dan berteriak menyerukan 'bravo'. Pertunjukan yang disuguhkan memang sebagus itu. Akting memukau dari Gempar dan Ivona berhasil memuaskan penonton. Suara lembut keduanya berhasil membuat para penonton terngiang-ngiang. Tentu saja properti, kesiapan, aktor pendamping, dan segala macam yang telah dipersiapkan matang-matang oleh klub drama musikal menjadi sorotan. Meskipun harus melalui perubahan besar karena pergantian pemeran utama cewek, semua anggota drama musikal dapat membuktikan bahwa mereka layak mendapatkan apresiasi. Bahkan penonton yang datang sangat penuh.

Mint menyerahkan buket bunga matahari kepada Gempar di ruang berganti setelah pertunjukan selesai. "You are amazing. Congrats for your first drama musical, Honey. You create brightness on everyone's face, especially me."

Gempar mengambil buket bunganya, lalu memeluk Mint. "Makasih, Mint. Ini berkat kamu juga."

"Halah... berkat aku? Ngapain? Berkat mundurnya aku dari pentas ini?" Mint pura-pura sewot.

"Eh? Kok malah sewot?" Gempar menarik diri, terkejut mendengar suara Mint terdengar sewot. "Ya, ini maksudnya berkat dukungan kamu. Tadinya aku udah nolak nggak mau maju, tapi kamu dukung dan bilang aku bisa."

"Anjir... panik si Gempita," celetuk David.

"Panik lah. Nanti dikira kesenengan beradu sama cewek lain," sahut Gempar.

Mint tertawa terbahak-bahak. Orang-orang di dalam ruangan sampai kaget melihat Mint tertawa selepas itu. Mungkin ini pemandangan baru. Mint biasanya jutek, jarang senyum, dan jarang memperlihatkan tawa segamblang itu di depan orang. Dan itu akan mereka kenang sebagai sesuatu yang langka dan takkan dilihat dua kali.

"Aku nggak mikir kayak gitu meskipun agak cemburu kamu peluk-peluk orang lain. But, i'm cool," ucap Mint mulai menguasai tawanya. Sambil merangkul pinggang Gempar, dia menatap pacarnya dengan penuh bangga. "Aku beneran bangga sama kamu. You did well. Aku traktir makan karena kamu udah menunjukkan yang terbaik."

"Mint, lo nggak mau traktir kita juga apa?" celetuk Feri. "Gue yang mempertemukan lo sama Gempar, lho! Anggaplah duit mak comblang."

Tia memukul lengan Feri. "Gue udah gebuk dia nih, Mint. Cuekin aja."

Mint terkekeh. "Gue traktir kalian semua. Pesan apa aja yang kalian mau. Kalian udah melakukan yang terbaik dan mau direpotkan karena masalah gue. Let's go!"

Semua anak klub drama musikal bersorak-sorak senang, mengelu-elukan Mint, dan menyanjungnya dengan rasa terima kasih. Mint berjalan di paling belakang, mengikuti yang lainnya bersama Gempar.

"Nanti setelah makan, aku mau...." Mint berhenti bicara setelah merasakan ponselnya bergetar. Layar ponselnya menunjukkan nama 'Lana' sebagai id caller. Dia pun menjawab panggilannya dengan cepat walau sebenarnya sudah malas berurusan dengan Lana. "Halo?"

"..."

"Mau ngapain?"

"..."

"Ya, udah."

Gempar mengamati perubahan ekspresi pacarnya. Setelah Mint mematikan sambungan, dia langsung bertanya, "Ngapain Lana telepon?"

"Nggak apa-apa." Mint tidak mau memberitahu Gempar bahwa Lana mengajaknya bertemu di belakang sekolah. Ini urusannya dan teman-temannya di Death Eyes.

"Beneran?"

"Iya, Sayangku." Mint mencubit pipi Gempar sebentar, lalu mengambil kunci mobil di dalam saku rok dan menyerahkan kuncinya pada Gempar. "Ini kunci mobilnya David tadi dia pergi bareng sama aku dan Ninda. Dia nitip. Di mobilnya David ada hampers yang aku siapkan untuk semua anak klub drama musikal. Aku mau berterima kasih mereka bersedia direpotkan sama aku karena harus ganti pemeran secara mendadak. Tolong kamu bagiin, ya. Aku harus nemuin guru BK."

"Bener ketemu guru BK? Bukan ketemu Lana, kan?" tanya Gempar tak yakin.

"Iya, bener. See you soon!"

Mint berlari meninggalkan Gempar, menyisakan kebohongan yang dia ciptakan agar Gempar tidak khawatir. Dia penasaran apa yang ingin dikatakan Lana sampai mengajaknya bertemu di belakang sekolah.

✨✨✨

Di belakang sekolah suasana sangat sepi karena murid-murid fokus pada beberapa kegiatan yang diadakan sekolah dalam acara The Colors of Art Project. Kegiatan itu mencakup banyak hal termasuk pentas seni drama musikal. Ada pula lomba fotografi, lomba poster, lomba menulis dan lain-lain. Kegiatan ini memang rutin dilakukan sekolahnya. Ada pula food bazaar yang enak, semacam festival. Ada pula konser penutupan nantinya.

Elva mengikuti lomba menulis dan sudah mengumpulkan batasnya kemarin. Ninda pun mengikuti lomba melukis dan sudah mengumpulkan beberapa hari lalu. Mint tidak diperbolehkan ikut apa-apa jadi memilih datang saja untuk menonton dan menyapa sekolah kesayangannya.

Mint mengedarkan pandangan, tidak ada siapa-siapa selain dirinya. Di mana keberadaan Lana? Dia menghubungi Lana dan sialnya tidak dijawab.

"Ketua geng Death Eyes akhirnya sendirian."

Mint menoleh, terkejut saat melihat ada dua belas murid cewek menghampirinya secara bersama-sama. Mint ingat dua di antaranya; Sisil dan Lita. Dua orang yang pernah dia perlakukan tidak baik dan akhirnya dia meminta maaf.

"Enaknya kita apain ya, Girls?" Cewek bertubuh tinggi tersenyum miring. "Gimana kalo kita telanjangin biar dia malu karena udah pernah mempermalukan orang-orang yang dibully?"

Mint menarik senyum miring. "Lo mau melakukan itu? Lakuin sendiri, nggak perlu bawa segerombolan."

"Heh! Lo sadar dong! Lo juga kalo ngelabrak orang bawa geng kesayangan lo itu. Emangnya lo doang yang bisa," seru cewek berambut pendek sepundak. Tangannya mengibas ke udara, seolah memanggil kawanannya untuk bertindak. "Ayo, kita sikat, Girls!"

Mint berbalik badan hendak berlari meninggalkan tempat itu. Dia tidak mungkin mampu melawan lebih dari sembilan orang sekaligus. Bunuh diri namanya. Sialnya Mint kalah cepat. Tubuhnya sudah dipeluk dari belakang dan kedua tangannya ditarik ke belakang, diikat dengan lakban.

"Lo akan tau rasanya dipukul kayak gimana, Mint. Biar lo nggak sok jago."

Mint tidak sempat membalas ucapan itu. Wajahnya sudah ditampar kencang-kencang oleh cewek itu. Tak cukup sekali, Mint ditampar berulang kali. Mint tidak dapat berkutik. Selain tangannya diikat, ada dua orang yang menjaga dan memegangi tubuhnya agar tidak berontak.

"Lo sakit, ya. Gue nggak nyangka lo lebih buruk dari gue," balas Mint setelah cewek itu berhenti menamparnya.

"Dasar jalang! Banyak ngomong lo!" Cewek itu menampar Mint sekali lagi, lebih keras. Masih diliputi kekesalan atas ucapan Mint barusan, dia menarik cewek lain yang berdiri di belakangnya. "Sil, lo tampar Mint. Dia udah nampar lo dan bersujud di depan teman-temannya. Buruan tampar!" suruhnya.

Sisil mengamati Mint. Dia tidak mengatakan apa-apa pada temannya yang lain mengenai permintaan maaf Mint. Sekarang pun Mint tampak seperti memohon padanya untuk tidak mengatakan apa-apa. Sisil menepis tangan temannya.

"Gue nggak mau," tolak Sisil.

"Kenapa? Dia udah mempermalukan lo, kan?"

"Iya, tapi bukan gini cara balasnya. Gue nggak mau," ucap Sisil.

"Payah lo!" Cewek itu menarik cewek yang lain hingga berdiri di hadapan Mint. "Gue yakin lo mau balas dendam. Jangan kayak Sisil, dia payah. Cepetan lo pukul Mint. Kalo dia bales, kita bakal bales. Jangan takut, Lita."

Lita merasa bersalah mau ikut-ikutan datang dan diam saja menyaksikan kejadian ini. Dia menggeleng. "Nggak, gue nggak mau," tolak Lita. Dia sendiri sudah memaafkan Mint dan berjanji tidak akan membeberkan permintaan maaf itu seperti halnya Sisil. "Gue nggak mau membalas dengan cara seperti ini."

"Lo berdua payah, ya! Kalo lo berdua takut, gue yang balas."

Cewek itu menampar lagi sebanyak dua kali. Ketika tamparan ketiga akan dilayangkan, Mint menendang perut cewek itu sampai terjengkang ke belakang. Hal itu menyebabkan kemurkaan yang besar. Cewek-cewek di belakang sana langsung menolong teman mereka sampai berdiri. Alhasil, cewek yang ditendang itu meninju perut Mint dan mendorongnya sampai tersungkur.

"Ikat kakinya. Kita harus kasih pelajaran biar dia berhenti sok jagoan," teriak cewek itu dengan penuh semangat. "Ayo, habisin, Girls! Jangan kasih ampun!"

Sisil dan Lita mundur perlahan setelah cewek-cewek itu mulai memukuli Mint dengan tangan kosong. Mereka bahkan menendang tubuh Mint dengan kencang, bertindak dan menghakimi dengan cara mereka sendiri. Sisil dan Lita berlari meninggalkan mereka agar bisa segera mencari guru ataupun teman-teman Mint yang lain.

Dalam kondisi tangan dan kaki terikat, Mint berusaha menyembunyikan wajahnya agar tidak terkena tendangan dari cewek-cewek itu. Mint menahan sakit di sekujur tubuhnya yang ditendangi. Bahkan beberapa di antara mereka ada yang menjambak dan meludahinya. Tenaga Mint sampai terkuras habis hanya untuk menahan semua rasa sakit yang diberikan.

Kala itu Ivory kebetulan sedang berjalan ke belakang sekolah. Ivory melangkah mundur. Hampir tersandung jika saja tidak bisa mengendalikan ketakutan yang perlahan merayap melihat pemandangan di depannya. Buru-buru Ivory menutup mulut agar tidak teriak, agar isi perutnya tidak keluar karena mendadak mual. Ivory menekan-nekan ruas jarinya, mengumpulkan keberanian, melihat sekeliling dan berpikir cepat, akhirnya perempuan itu justru berteriak, "Kak Silver! Di sebelah sini!" Tentu saja tidak ada Silver di sana. Namun, berhasil membuat murid-murid yang mengelilingi Mint itu berhenti menyiksa Mint dan kabur dari sana.

Ivory jatuh terduduk. Air matanya mengalir begitu saja. Sambil menangis perempuan itu mengambil ponsel dari dalam saku. Menggulirkan layar terburu dengan tangan gemetaran. Dan tidak sampai tiga detik setelah teleponnya tersambung, satu-satunya orang yang terpikir olehnya saat ini langsung mengangkat panggilannya.

"Mint ... Mint ... Mint ... di belakang sekolah ... tolong ...."

Setelah panggilan telepon berakhir, Ivory menghampiri Mint dengan terseok-seok. Tangis perempuan itu semakin menjadi melihat wajah Mint yang dipenuhi luka lebam ... dan juga darah.

"Mint ...."

Ivory mulai meracau melihat mata Mint yang memejam. Ivory memindahkan kepala Mint menuju pangkuannya, menepuk-nepuk pelan pipi Mint sambil berteriak meminta tolong dengan suaranya yang parau.

Mint pingsan setelah berusaha kuat menahan kegilaan yang tidak terduga. Sekujur tubuh Mint dipenuhi luka lebam dan bagian bibirnya berdarah. Wajahnya ikut lebam-lebam karena terkena hantaman tendangan di menit-menit terakhir sebelum Ivory datang.

Beberapa menit kemudian Gempar datang bersama Sisil dan teman-teman yang lain.

"Mint!" Gempar kaget bukan kepalang. Bukan khawatir lagi, perasaannya bercampur aduk. Bagaimana bisa ada orang yang tega melakukan ini kepada pacarnya? Kepalanya langsung dipenuhi tuduhan-tuduhan tak pasti. Dadanya sesak. Matanya berkaca-kaca.

Belum sempat Gempar mengambil alih tubuh Mint dari pangkuan Ivory, Silver datang lebih dulu, terpaku beberapa saat begitu melihat keadaan Mint.

Silver menatap Ivory, meminta jawaban yang jelas. Lalu, dia mendengar Ivory memberitahu apa yang dilihat. "Mint ... ada yang pukulin Mint ... ada sepuluh orang ...."

"Apa? Keterlaluan!" geram Silver. Tanpa pikir panjang Silver mengambil alih tubuh Mint dari Ivory. "Mint, Mint... bangun, Mint."

Tak ada jawaban apa-apa, Silver menggendong adiknya. Diliputi perasaan khawatir dan marah, dia berkata, "Gempar tolong telepon orangtua gue dan kasih tau kondisi Mint. Dan sekalian tolong laporin sama guru. Ada yang bilang sama guru, kan?"

"Lita lagi lapor, Kak," sambung Sisil.

"Oke, thank you."

"Apa nggak sebaiknya buka tangan dan kaki Mint dulu, Kak?" saran Elva dengan khawatir.

"Coba foto dulu buat jadi bukti." Silver berucap dengan gelagapan.

Setelah difoto dengan cepat, Silver mendapat pulpen dari Ninda dan mulai menusuk bagian lakban yang diikat kencang. Pada saat yang sama, beberapa guru datang dan Lita membawakan gunting, sehingga memudahkan Silver membuka ikatan kencang itu.

"Pak, saya mohon lihat siapa korbannya di sini. Apa pantas adik saya dipukuli seperti ini?" Mata Silver berkaca-kaca.

Tak mau mendengar jawaban apa-apa, Silver meninggalkan belakang sekolah dengan menggendong Mint kembali dan membawa adiknya ke rumah sakit terdekat. Teman-teman Mint, Ivory, dan Gempar mengikuti Silver.

Sementara itu Lita dan Sisil menceritakan kronologis ceritanya kepada dua guru yang terkejut melihat kondisi Mint. Keduanya memberikan kesaksian.

✨✨✨

Jangan lupa vote dan komen kalian😘🤗❤

Hai, yang namanya Bullying tidak pernah dibenarkan. Apalagi beramai-ramai dan lawannya cuma seorang atau dua orang (yang intinya kalah jumlah). Sekalipun orang itu pernah membully seseorang, kita tidak berhak menghakimi dengan cara yang sama. Dan jatuhnya akan disebut pembully juga.

Kejadian di atas tidak boleh dicontoh ya! Be Wise

-------

Follow IG: anothermissjo

Salam dari Gempar😍😍

TerGempar-Gempar nggak nih? XD

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top