Chapter 28: Rumah
Akhirnya update lagi T___T
Kalo mau besok update lagi, komen sampai 100 bisa nggak nih? ^^
Tolong jangan spam next, huruf atau emoji ya. Kalo pun nggak tercapai, aku yang suka baik ini tetap update :) kasian kalo kalian spam gitu, nanti komen lain dicapainya susah sama aku. (soalnya aku suka scroll dari ujung sampe ujung ^^) terima kasih bagi kalian yang udah kasih komen dan beneran komen banyak2<3
#Now Playing: Chantal Kreviazuk - Feels Like Home
•
•
Gempar mengajak Mint makan malam di rumahnya. Hal ini dilakukan agar Mint melupakan sejenak soal ayahnya.
Gempar sudah mendengar seluruh cerita Mint dan rasanya menyakitkan. Walau bukan dirinya yang merasakan secara langsung, tapi hatinya ikut sakit. Dengan cara mengajak Mint makan bersama dengannya dan keluarga, Gempar berharap dapat menutup luka yang ada.
Ini pertama kalinya Mint makan malam bersama keluarga Gempar sebagai pacar sungguhan--setelah sebelumnya sempat memalsukan status mereka di depan keluarga besar. Sebenarnya bukan memalsukan karena Mint tidak pernah mengiyakan. Spekulasi itu hanya diciptakan keluarganya, meskipun akhirnya menjadi nyata.
"Gimana tadi sekolahnya, Mint?" tanya Yana ramah.
"Baik, Tante. Semuanya berjalan lancar," jawab Mint. Rasanya sesak berbohong seperti ini. Mint tidak baik-baik saja. Sekolahnya kacau balau. Bukan soal nilainya, tapi karena fitnah yang dilempar padanya sampai kena skorsing. Belum lagi ayahnya yang membuang dia begitu saja.
Gempar mengamati ekspresi Mint selama menjawab pertanyaan ibunya. Dia khawatir Mint sedih lagi. Walau Mint bisa menipu semua orang, tapi Gempar tak bisa ditipu lagi. Dia tahu Mint sedang menahan sedih dan lukanya sendirian.
"Syukurlah kalau gitu. Tante senang dengarnya." Yana tersenyum ramah. "Kamu gimana sekolahnya, Gem? Ada yang nakalin kamu nggak? Kalau ada biar Mama samperin terus omelin."
"Baik kok. Nggak ada yang nakal. Emangnya anak kecil pakai segala disamper segala."
"Gempar, dengar. Kamu masih SMA dan menurut Mama itu belum cukup dewasa. Biarpun bentar lagi tujuh belas tahun, tetap aja kamu tanggung jawab Mama dan Papa. Kalau ada yang nakalin kamu di sekolah, misal kayak bully kamu, ya Mama harus lapor sekolah dan nyamperin itu anak. Tega-teganya bully anak Mama. Mau anak raja, sultan, presiden apalah itu, Mama nggak peduli. Kamu anak Mama dan harus Mama lindungi," cerocos Yana.
Mint merasa tersindir soal bully. Mungkin orangtua beberapa murid yang kena bully darinya juga seperti ini. Seperti halnya orangtua Widi. Mereka tidak terima karena surat itu membawa namanya. Bahkan DM itu memang dari akunnya, tapi dia tidak tahu siapa pengirimnya. Setidaknya Mint tahu kalau Gempar memiliki orangtua yang sangat baik. Berbeda dengan dirinya.
"Nggak ada, Ma. Tenang aja. Mint tuh yang dibully," beber Gempar.
"Hah? Mint dibully?! Siapa yang bully kamu, Nak? Siapa?! Kurang ajar banget!" Yana mulai meninggikan suaranya.
"Ma, santai lah. Macam preman aja kau ini. Kasihan Mint lihat kau mirip preman di pasar," sela Jaron dengan logat bataknya.
"Mana bisa lah aku diam aja. Mint ini calon menantu kita. Kurang aja kali itu bocah yang berani macam-macam. Belum pernah aku maki dia," ucap Yana dengan logat yang sama.
Mint menahan senyum. Dia terhibur dengan interaksi antara Yana dan Jaron. Mereka berdua sangat baik dan ramah.
"Curiga jangan-jangan Gempar yang bully Mint," sela Gerling.
Yana menatap Gempar dengan tajam. "Heh! Kau nggak bully, Mint, kan? Jangan jadi pengecut sampai berani bully perempuan."
"Astaga, Mamak! Mana ada lah aku bully, Mint. Bisa-bisaan Kak Gerling aja lah ini," sahut Gempar.
Mint agak terkejut. Ini pertama kalinya dia mendengar Gempar dengan logat batak. Entah mengapa, dia suka mendengarnya. Kalau bisa, dia ingin Gempar bicara pakai bahasa daerahnya sekalian.
"Siapa tau kau bully Mint. Muka-muka kau, muka-muka sialan," balas Gerling.
"Gerling, mulut kau!" Yana memelototi putrinya, berhasil membungkam Gerling dalam cengiran. "Intinya jangan bully-bully. Buat apa? Belajar aja yang benar. Lakukan yang terbaik di sekolah."
"Ma, ini serius. Mint dibully. Aku lagi nggak bercanda." Gempar masih belum menyerah membahas pacarnya.
"Beneran, Mint? Gempar serius?" tanya Gegan.
"Nggak kok, Kak. Aku nggak diapa-apain," elak Mint sambil menggeleng pelan.
"Mint bohong. Di sekolah ada yang pakai nama Mint buat bully orang. Jadi orang itu nulis di surat cantumin nama Mint. Udah gitu ada yang kirim pesan buat orang yang dibully lewat akun Instagram Mint," cerita Gempar.
"Kok gitu, sih? Itu orang ada masalah hidup apa sampai melibatkan Mint segala?" tanya Yana merasa prihatin.
"Gara-gara itu Mint kena skorsing, Ma. Padahal bukan Mint pelakunya," lanjut Gempar.
"Lho, kok? Pihak sekolah ngapain? Nggak cari pelaku sebenarnya? Main asal skorsing aja. Minta Mama samperin aja ke sekolah!" cerocos Yana mulai emosi. Lalu, pandangannya tertuju pada Mint, menatap sedih. "Kamu nggak apa-apa, Mint?"
Mata Mint berkaca-kaca mendengar pertanyaan Yana. Dia ingin ditanya hal yang sama oleh ayahnya, tapi harapan itu tidak pernah terwujud. Memaksakan senyum, Mint menjawab, "Nggak apa-apa, Tante. Katanya pihak sekolah akan usut sampai ketemu pelakunya."
Yana berdecak kesal. "Sekolah apaan tuh begitu. Main asal skorsing murid yang nggak bersalah. Bayar mahal, tapi tindakan sekolah nggak ada benernya. Seketika Mama nyesel sekolahin kamu di situ. Cara sekolah menyikapi masalah serius begini kayak nggak niat."
"Santai, Ma. Pelakunya pasti ketemu. Jangan ngomel-ngomel. Itu kelihatan tanduknya. Umpetin dulu, ada Mint," canda Jaron, berusaha mencairkan suasana. Bukan tanpa sebab dia melakukan ini, karena takut Mint semakin sedih.
Yana pun sadar kode suaminya dari lirikan mata. Yana mendekati Mint, menyuruh Gempar berpindah tempat, lalu duduk di sampingnya. Sambil menggamit tangan Mint, dia berkata, "Jangan sedih, ya, Mint. Hidup nggak pernah baik-baik aja. Ada kalanya kita dikasih ujian besar sebelum diberikan kebahagiaan. Tante yakin masalah ini akan segera selesai. Tante tau Mint nggak salah dan anaknya baik. Tuhan pasti kasih jalan. Semangat, ya."
Mint sudah menahan diri untuk tidak menangis. Namun, kata-kata Yana berhasil menumpahkan air mata. Mint ingin disemangati seperti ini, bukan diabaikan. Kenapa orang lain yang melakukannya, bukan ayahnya? Kenapa dia mendapat kenyamanan dari keluarga lain, bukan keluarganya?
"Ma, parah, sih. Tanggung jawab itu Mint sampai nangis," celetuk Gerling.
"Ya, ampun... Nak. Kenapa nangis? Aduh, maafin Tante. Jadi sedih lagi, Mint." Yana menarik Mint dalam pelukan, mengusap-usap kepala Mint dengan lembut.
"Makasih...." Kalimat Mint tertahan. Isak tangisnya mulai terdengar. "Makasih banyak, Tante...," lanjutnya.
Gempar belum menceritakan apa-apa pada orangtuanya tentang keluarga Mint. Melihat Mint menangis seperti ini, dia tahu pacarnya butuh perhatian dan diberikan kata-kata penyemangat seperti yang ibunya lakukan tadi. Semoga saja kebaikan orangtuanya bisa mengobati luka di hati Mint pelan-pelan. Gempar harap Mint tahu bahwa masih ada 'rumah' yang menyediakan kebahagiaan yang Mint inginkan.
✨✨✨
Mint baru saja selesai mandi. Dia melangkah keluar dari kamar menuju dapur. Biasanya kakak sepupunya sudah berangkat mengisi acara musik pagi di salah satu stasiun televisi. Kakak sepupunya akan meninggalkan makanan di meja makan. Akan tetapi, ada yang aneh. Mint mencium aroma wangi masakan. Apa mungkin kakak sepupunya masak?
Penasaran dengan aromanya, Mint mempercepat langkahnya. Di sana dia melihat punggung dan rambut yang berbeda. Mint menyipitkan mata, mengamati siapa sosok tersebut jika dilihat dari punggungnya saja. Kala dia sedang mengamati, sosok tersebut menoleh.
"Hai, Mint," sapa perempuan itu dengan ramah.
"Kak Salty?!" Mint berlari menghampiri kakak sepupunya itu.
Tanpa pikir panjang, Mint memeluk Salty. Dia merindukan kakak sepupu yang selalu menemaninya waktu kecil. Sejak Salty memutuskan pindah ke Amsterdam, kakak sepupunya itu jarang menghubunginya. Tidak ada kabar apa pun. Bahkan Salty melewatkan beberapa acara keluarga Jayantaka.
"Aku kangen," bisik Mint lirih.
"Me too, Mint." Salty mengusap-usap kepala Mint, melepas rasa rindu yang terlalu besar. "Maaf, aku nggak pernah ada buat kamu. Maaf, kamu harus mengalami hal yang nggak enak. Seharusnya aku nggak menetap di luar negeri."
Mint menarik diri, menatap Salty yang menunjukkan mata berkaca-kaca. "Nggak apa-apa, Kak. Aku tau Kak Salty sibuk. Aku senang bisa lihat Kak Salty di sini."
"Maafin aku, Mint." Salty memeluk Mint sekali lagi. Kali ini dengan air mata yang mengalir deras. "Kamu pasti terluka banget hidup sama Om Lukman. Aku yakin kamu terluka dengan semua sikapnya yang keterlaluan. Aku nggak bisa lihat kamu diginiin. Maafin aku nggak bisa menjadi sepupu yang baik sampai kamu terluka dan mengalami kejadian ini."
"Nggak apa-apa, Kak." Mint menepuk-nepuk pelan punggung kakak sepupunya. "Aku udah terbiasa hidup seperti ini. Kak Salty nggak perlu bilang begitu. Semua ini bukan salah Kak Salty, berhenti minta maaf. Aku baik-baik aja."
Salty menarik diri, memegang kedua sisi pundak Mint, masih dengan air mata yang tertinggal di pipinya. "Setelah lulus sekolah, ikut sama Kak Salty ke Amsterdam, ya. Kita tinggal di sana. Mau, kan?"
Mint mengangguk cepat. Mint sudah muak tinggal di sini.
"Aku udah bilang sama Om Lukman, katanya silahkan aja bawa kamu. Terus aku bilang, kalo emang papamu nggak mau mengurus kamu, maka aku mau angkat kamu jadi anakku."
"Papa bilang apa?"
"Katanya boleh, silahkan aja."
Hati Mint hancur berkeping-keping. Tidak ada peliuang lagi baginya untuk dilihat sang ayah. Dadanya seperti diremas kencang, sesak. Mint tidak perlu memohon lagi atau berharap ayahnya akan memperhatikannya. Tidak. Mint akan ikut dengan Salty setelah lulus nanti.
Salty mengusap pipi Mint, lalu beralih mengusap kepalanya. "Kamu belajar aja yang benar. Semua biaya sekolah kamu sampai lulus nanti, aku yang biayain. Jangan pikirin Papa kamu. Dia nggak pantas disebut ayah. Kamu berhak bahagia, Mint. Lupain hal-hal yang menyakiti kamu. Aku nggak akan biarin kamu sedih lagi."
"Makasih, Kak."
Sekali lagi mereka berpelukan. Melepas rindu rasanya tak cukup memeluk satu atau dua kali. Mint bisa merasakan kasih sayang yang begitu besar dari kakak sepupunya. Setidaknya dia merasa bersyukur masih ada sepupu-sepupunya yang berhati bagai malaikat. Mereka sebaik itu sampai-sampai berhasil mengingatkan Mint bagaimana rasanya 'rumah' yang nyaman.
✨✨✨
Yuhuuu tinggalkan jejak kalian baik komen ataupun vote😍😘😘😘
Salam dari Gempar😍😍
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top