Chapter 27: Skorsing
Akhirnya update lagi T___T
Yoook siapkan komen terbaik kalian >_<
#Playlist: Titi DJ - Jangan Berhenti Mencintaiku
•
•
Mint mendatangi ruang BK dengan hati tidak keruan. Ketika sudah dipersilakan masuk, hal pertama yang Mint lihat adalah dua orang paruh baya tengah menangis di depan guru BK dan wakil kepala sekolah, yang mana diyakini Mint sebagai orangtua Widi.
"Duduk, Mint," suruh Bu Anisa.
"Baik, Bu." Mint duduk dengan was-was.
"Mint, mereka berdua adalah orangtuanya Widi." Bu Anisa memberitahu.
"Iya, Bu." Mint tidak tersenyum sama sekali. Dia hanya mengangguk pelan.
"Apa anak saya ada salah sama kamu sampai kamu memperlakukan dia seperti ini?" Wanita paruh baya itu menatap Mint dengan air mata yang berlinang deras.
"Ma, tahan dulu. Kita belum dengar jawabannya," ucap sang suami di sebelahnya.
"Bu Mira dan Pak Rafael, tolong tenang dulu. Biar saya yang bertanya pada Mint," ucap Bu Anisa mencoba menenangkan. Setelah tidak ada yang bicara lagi, barulah Bu Anisa melihat pada Mint. "Ibu menyuruh kamu ke sini karena ada yang ingin ditanyakan secara langsung."
Bu Anisa mengambil beberapa surat dan meletakkan di atas meja. Lalu, dia melanjutkan, "Kenapa kamu kirim surat-surat ini untuk Widi? Kamu juga kirim pesan direct message di Intagram untuk Widi dengan kata-kata yang nggak seharusnya."
Mint mengambil beberapa surat yang diberikan padanya. Mint mengamati surat-surat tersebut dan membaca satu per satu tiap suratnya. Mint membaca salah satunya.
Dasar cewek murahan. Jangan sok cantik deh lo. Gendut aja belagu sok mau deketin senior. Ngaca diri dong. Kalo lo seorang Mint kayak gue, baru lo boleh deketin senior!
Mati aja sana!
Mint mengamati raut wajah orangtua Widi dan Bu Anisa. Keduanya menunjukkan tatapan penuh penghakiman, seolah menyatakan telak-telak dia dalang dari surat-surat ini.
"Bu, saya nggak pernah kirim surat semacam ini. Saya nggak pernah nulis ini, Bu," ucap Mint pelan.
"Kamu mau ngelak? Sakit kamu ya! Setelah kamu ngebunuh anak saya, sekarang kamu mau menyanggah hal itu?" Mira, ibunya Widi, berucap dengan suara setengah berteriak.
"Saya emang nggak pernah nulis ini, Tante," balas Mint. Kali ini dengan menunjukkan wajah seriusnya.
"Jelas-jelas di sana tertulis nama kamu!" Mira berteriak lebih kencang. "Bu Anisa, nggak usah basa-basi lagi. Saya mau Mint dikeluarkan dari sekolah. Jangan sampai ada Widi yang lain. Anak ini rusak moralnya. Nggak ada perasaan sama sekali. Saya dengar dia sering ngebully murid di sini. Gimana bisa sekolah sebagus ini membiarkan tukang bully kayak dia? Dia nggak pantas ada di sekolah ini!"
"Ma, tenang dulu. Sabar dong," bujuk Rafael.
"Mint, coba kamu jawab. Kenapa kamu kirim surat ini untuk Widi? Dia ada salah apa?"
Mint mengambil surat lain yang diberikan. Mint membaca lebih dulu.
Lo naksir David? Jangan mimpi! Badan segede buldozer kayak lo nggak akan mungkin dapat David. Ngaca sana. Lo cocoknya sama gajah. Kalian sama-sama gede. Mati lebih baik daripada lo naksir David.
Seburuk-buruknya Mint, dia takkan membully orang dengan kata-kata tak pantas seperti ini. Dia hanya sering mengancam dan mengatai secukupnya--meskipun keterlaluan terletak pada menyuruh hal yang gila--seperti mencium kaki contohnya. Kata-kata dalam surat ini sangat menyakitkan. Mint saja yang sekadar membaca ikut merasa sakit.
"Bu," Mint menatap Bu Anisa dengan memelas. "Saya bersumpah, saya nggak kirim surat-surat ini, Bu."
"Kamu bisa membuktikan bukan kamu pelakunya, Mint?" tanya Bu Anisa.
Mint diam sejenak. Bagaimana dia membuktikan itu kalau dia saja baru tahu ada surat seperti ini?
"Lantas gimana kamu mau menjelaskan kalo kamu bukan pelakunya? Sementara pesan di Instagram dari akun kamu," tanya Bu Anisa sekali lagi.
"Bu, saya juga nggak tau. Tapi saya bersumpah, saya nggak melakukan itu. Saya nggak tau kenapa ada pesan seperti itu di direct message Widi," ucap Mint membela diri.
"Mint, itu jelas-jelas akun Instagram kamu. Nama kamu. Gimana kamu bilang nggak tau? Coba kamu lihat ini." Bu Anisa menunjukkan gambar yang diperlihatkan dari ponselnya. "Nama akun kamu, kan? Namanya mintjayantaka. Apa ada orang lain yang pakai nama itu?"
Mint menggeleng. "Iya, itu nama akun saya, Bu, tapi bukan saya yang mengirim pesan itu. Bahkan di ponsel saya nggak ada saya kirim pesan untuk Widi." Dia mengambil ponsel dan menyodorkan pada Bu Anisa. "Lihat, nggak ada, kan, Bu?"
"Bisa aja kamu hapus! Masih aja mau kasih alasan! Sakit kamu, ya!" serobot Mira dengan tatapan sinis.
Tak sempat apa pun Mint mengeluarkan seluruh tenaganya untuk membela diri, ada ketukan pintu dari luar yang terdengar keras. Sosok yang membuat Mint menegang takut hadir dan duduk di sampingnya. Ayahnya datang.
"Jadi, ini ayahnya seorang tukang bully?" sindir Mira.
"Ma, jangan kayak gitu. Tahan dulu dong." Rafael berusaha menenangkan istrinya dan lagi-lagi istrinya tidak mau menerima sarannya.
"Anda punya bukti apa kalau anak saya membully anak Anda?" Lukman mulai buka suara. Suaranya tenang dan ekspresinya datar.
"Itu ada surat dan pesan dari akun anak Anda, ya!" seru Mira.
"Ada buktinya Mint mengirim surat itu secara langsung untuk anak Anda? Kalau hanya ditulis namanya, Anda nggak bisa menyalahkan putri saya. Bisa aja namanya dicantumkan biar dia yang disalahkan, padahal pihak lain yang berbuat. Banyak manusia keji kayak gitu, terutama yang suka nyindir tanpa cari tau dulu," balas Lukman, masih tetap tenang.
Mint melirik ayahnya. Dia terharu ayahnya menyebut 'putri saya'. Selama ini dia tidak pernah mendengar kata-kata seperti itu.
"Heh! Bapak biadab! Kelakuan sama aja kayak anaknya. Mengelak terus!" Mira bangun dari tempat duduknya, menunjuk-nunjuk wajah Lukman.
"Saya nggak tau ibunya Widi seanarkis ini. Nggak sopan nunjuk-nunjuk orang." Lukman menarik senyum tipis menyombongkan keahlian bicaranya. "Bu Anisa, saya harap Bu Anisa bisa mencari solusi dari masalah ini. Kalau Mint nggak terbukti atas apa pun, tolong jangan bersikap nggak adil. Bagaimanapun putri saya termasuk korban juga, dituduh tanpa bukti jelas dan alasan pasti. Tapi kalau itu terbukti anak saya, nggak masalah dikeluarkan. Saya akan tunduk dengan keputusan sekolah."
Bu Anisa mengamati kedua belah pihak. Satu panas, satunya dingin. "Sebelumnya saya udah membahas ini dengan pihak sekolah. Kami ingin menelusuri lebih jauh jika memang bukan Mint orangnya. Tapi selama penelusuran itu, Mint akan kami skorsing selama dua minggu. Setelah itu, kami akan memutuskan apakah Mint bisa melanjutkan sekolah di sini atau dikeluarkan. Selain itu, Mint nggak diizinkan ikut acara apa pun yang ada di sekolah selama masa skorsing."
Mint diam mematung. Selagi Mira protes tidak setuju karena ngotot Mint sebagai pelakunya, maka Mint menahan air mata. Dia tidak melakukan apa-apa, lantas kena skorsing? Apa salahnya sampai hal ini terjadi? Jika dia tidak boleh ikut acara apa pun, itu berarti dia tidak bisa mengikuti pentas drama musikal.
✨✨✨
Dari belakang Mint mengikuti ayahnya sampai menuju parkiran. Langkahnya berhenti setelah ayahnya berbalik badan dan menghadapnya. Mint sudah membuka mulutnya, bersiap berterima kasih karena ayahnya membelanya di depan Mira. Namun, sebelum hal itu terjadi Mint sudah merasakan sakitnya ditampar kencang oleh ayahnya.
"Keterlaluan kamu. Kalau bukan karena nama baik keluarga kita, saya nggak akan pernah belain kamu. Benar-benar nggak tau diri!" maki Lukman.
Mata Mint berkaca-kaca. Mint salah sudah mengharapkan sesuatu yang lebih indah setelah dibela. Rupanya sang ayah hanya malu nama baiknya tercoreng, bukan karena memang membela putri semata wayangnya. Mint semakin sedih saat ayahnya tak lagi menyebut dirinya sebagai 'Papa' dan menggunakan kata 'saya'.
"Kamu bersyukur saya donatur rutin di sekolah ini. Saya memberikan uang yang banyak untuk sekolah ini. Kalau nggak, kamu nggak akan dapat privilege itu. Mereka pasti memikirkan saya sebagai donaturnya dan hanya memberi skorsing selama dua minggu."
Air mata Mint tumpah. Dia sudah berusaha menampungnya dulu dan menunda tangis. Akan tetapi, hatinya terlalu sakit untuk melakukan itu. Mint menatap ayahnya dengan tatapan nanar. "Apa sepenting itu marga Papa? Kalo iya, ambil aja. Mint nggak butuh marga itu." Suaranya bergetar. Meskipun telah mencoba tetap tegar, Mint gagal menguatkan dirinya.
"Iya, saya ambil. Kamu bukan bagian dari Jayantaka lagi. Kamu bukan anak saya lagi. Kalau nanti kamu dikeluarkan dari sekolah, saya nggak mau tau. Urus hidup kamu sendiri." Lukman membuka pintu mobilnya dingin, tidak tergerak sedikitpun saat melihat Mint menitikkan air mata. "Hapus air mata palsu kamu itu. Jangan belagak kamu korban. Saya tau kelakuan kamu nggak pernah baik."
Hati Mint hancur sehancur-hancurnya. Dadanya sesak. Tidak pernah terbesit sedikit pun Mint akan dibuang dengan cara paling sadis. Mint diam mematung, menitikkan air mata tanpa henti saat mobil ayahnya mulai meninggalkan parkiran.
Tubuh Mint merosot jatuh. Tangisnya semakin menjadi. Mint tidak peduli ada yang mendengar atau tidak.
"Mint?"
Mint mendongak, menatap sosok yang berdiri di depannya. "Gempar..."
Gempar berjongkok dan menarik Mint dalam pelukan. Mint meremas bagian punggung seragam Gempar seiring tangis yang semakin histeris.
"It's okay, aku ada di sini." Gempar berbisik pelan seraya mengusap kepala Mint dengan lembut.
Lagi, Gempar menjadi sandarannya di kala sedih melanda. Mint menyalurkan seluruh rasa sedihnya dalam pelukan. Walau Mint tidak merasakan kasih sayang seorang ayah dalam hidupnya, tapi setidaknya dia punya sosok yang selalu ada di kala hidupnya jatuh sejatuh-jatuhnya.
"Everything is gonna be okay, Mint. I promise," ucap Gempar yakin.
✨✨✨
Yuhuuu tinggalkan jejak kalian baik komen ataupun vote😍😘😘😘
Gaes moga2 ini udah keubah yak. Itu skorsingnya bukan enam bulan ya, tapi 2 minggu😢 aku salah ketik hiks
Gaes, maap nih cerita teenfictku keknya masalah idupnya berat banget. tapi di kehidupan nyata pun nggak semua hidup ringan2 aja wkwk semoga tetap dinikmati biarpun bikin gemes ya hehe😘
Follow IG & Twitter: anothermissjo
Salam dari Gempita😍😍😍
Gempita lagi sedih karena Mint sedih :")
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top