Chapter 26: Bullying

Yuhuu update lagi pengganti kemarin2 nggak update hehe

Yok tinggalkan vote dulu baru komen sebanyak-banyaknya😘😘😘🤗❤

Mint baru saja akan keluar dari bilik kamar mandi. Sialnya pintu tidak bisa dibuka.

"Kok pintu ini nggak kebuka?" Mint bermonolog sendiri sambil terus mencoba membuka pintunya.

"Silahkan diiem di dalam sana sampai pulang sekolah. Rasain! Lo udah nggak bisa bertingkah lagi karena nggak ada Death Eyes. Biar mampus di dalam kamar mandi!" Suara yang terdengar keras itu mengisi kamar mandi.

"Lo gila ya?" balas Mint.

"Nggak. Seenggaknya nggak segila lo kalo lagi bully orang. Biar lo tau rasanya menjadi orang yang dibully."

Baru Mint ingin menanggapi, tubuhnya basah kuyup karena air yang diguyur dari atas pintu. Mint langsung menghindar begitu melihat ember yang digunakan mengguyurnya dilemparkan ke arahnya. Meski sudah menghindar, kepala Mint masih kena sedikit ember itu. Selain ember, bau air yang dipakai mengguyurnya sangat tidak bersahabat. Mint tidak tahu air apa yang dipakai.

"Bye, Pecundang! Kasihan deh nggak bisa ngadu sama Death Eyes. Selamat menikmati sisa hidup lo di sini."

"Pecundang kok teriak pecundang. Nggak tau malu," ucap Mint dengan suara lantang.

Tidak ada balasan karena pintu sudah ditutup. Mint mendengar pintunya dikunci. Sial! Pelaku yang melakukan ini mengunci bilik dan pintu utama kamar mandi. Ternyata karma langsung menyapanya dalam waktu cepat. Setelah orang-orang tahu dia tidak bersama Death Eyes, semua orang menjadi semakin berani melakukan hal yang semena-mena. Waktu masih bergabung dengan Death Eyes, walau ada banyak yang berani, tapi tidak sejelas ini.

Mint tertawa pongah. "Bener-bener cobaan. Kalo gue tampar yang ngunciin malah makin dikatain."

Tidak mau hanya diam saja, Mint melompat untuk mencapai atas pintu yang tinggi. Dia hampir saja tergelincir kalau tidak sigap berpegangan pada sisi bilik. Mint tidak membawa ponselnya sehingga tidak bisa menghubungi siapa pun. Akhirnya dia memiliki ide lain. Mint menaiki ember yang telah dia telungkupkan dan menaiki sisi bagian bawahnya. Walau berhasil mencapai atas pintu, tapi Mint tidak bisa mengangkat tubuhnya karena biliknya tidak kuat. Dia takut biliknya roboh. Bisa menjadi masalah baru. Alhasil Mint duduk dan berpikir. Mungkin dia bisa pakai cara lain.

Selagi berpikir, Mint menghitung berapa jumlah murid yang telah dilabraknya selama bersama Death Eyes. Bukan yang dia labrak sampai disuruh melakukan sesuatu seperti cium kaki. Dia menghitung manusia yang telah ditampar olehnya dan teman-temannya.

Dan... sepertinya ada beberapa. Mint tidak heran banyak yang ingin balas dendam. Seperti mafia, hidup mereka tidak akan pernah tenang. Mint sadar hidupnya tidak akan tenang setelah ini. Di kala pikiran sedang berputar memikirkan dosa-dosanya, Mint mendengar suara pintu dibuka. Suara gaduh pun menjadi hal pertama yang dia dengar.

"Mint! Mint!"

Mint menarik senyum mendengarnya. Suara pacarnya mendengung kencang di telinga. "Iya," balasnya cukup keras.

"Tunggu bentar."

"Mint, lo baik-baik aja, kan?" Ninda bertanya dengan nada khawatir.

"Fine. Gue masih hidup."

Setelah suara berisik, entah apa yang dilakukan Gempar dan Ninda di luar sana untuk mengeluarkannya, pintu bilik kamar mandinya bisa dibuka. Mint melihat kedua orang yang menolongnya setelah pintu dibuka.

"Baju lo basah, Mint." Ninda buru-buru menutup hidungnya karena bau. "Duh, bau banget. Air apa sih ini?"

"Mungkin air kloset," ucap Mint santai.

"Kamu beneran baik-baik aja? Ada yang luka?" tanya Gempar khawatir sembari mengobservasi Mint dari segala sisi untuk memastikan pacarnya baik-baik saja.

"Gempar, i'm fine." Mint menyunggingkan senyum. "Kok kamu keluar dari kelas? Mau nolongin aku ya?" godanya sambil kedip-kedip.

"Gue kabarin Gempar soalnya lo nggak balik ke kelas," sela Ninda.

"Mint, jangan bercanda. Siapa sih yang berbuat kayak gini?" Gempar menatap dengan wajah marah.

"Mungkin salah satu yang pernah aku tampar. Udah lah, balik ke kelas." Mint hendak menarik Gempar, tapi diurungkan karena baru ingat tangannya bau. Tidak perlu menarik Gempar, dia berjalan lebih dulu menuju pintu utama kamar mandi. "Oke, sebelum masuk kelas mau mandi dulu dan ganti pakaian."

"Mint, kamu beneran nggak apa-apa?" tanya Gempar semakin khawatir.

"Selama aku nggak nangis, aku baik-baik aja." Mint melayangkan kecupan di udara kepada pacarnya sambil tersenyum lebar. "Makasih, Sayang, udah nolongin. I love you."

Gempar tidak merasa senang ketika Mint mengatakan itu. Justru Gempar semakin khawatir karena Mint tersenyum sejak tadi, seolah sedang berpura-pura baik.

"Gue duluan, ya! Sekali lagi makasih, Ninda dan Gempar!" seru Mint, yang kemudian melenggang pergi begitu saja meninggalkan keduanya.

"Cobaan banget Mint mau taubat aja diusik mulu," gumam Ninda.

Gempar melirik Ninda. "Mint lagi pura-pura ya?"

"Nggak tau, Gem. Gue cuma tau Mint nggak akan tinggal diam kalo udah diginiin. Tapi kalo dia udah taubat, ya... mungkin dia bakal cuekin."

Gempar mendesah kasar. Terkadang Gempar merasa masih sulit menjangkau Mint.

✨✨✨

Mint sedang bersiap-siap untuk latihan cheerleader. Dia sudah berbaikan dengan Fuchsia setelah cewek itu lebih dulu menegurnya. Satu per satu keadaan mulai membaik. Mint merasa lebih tenang meskipun masih banyak yang perlu dia urus sebelum lulus.

"Mint! Ayo, latihan!" teriak Lilac.

Mendengar Lilac sudah memanggil, Mint hanya meletakkan ponselnya di atas bangku dan tidak memasukkan ke dalam tas. Setelah itu Mint berlari menghampiri teman-teman cheerleader dan mulai latihan.

Selagi anak-anak cheerleader fokus latihan, ada dua orang yang menghampiri tempat duduk Mint. Mereka berniat meletakkan sesuatu, tapi tidak jadi ketika mendapati ponsel Mint berada di atas bangku. Salah satunya mengambil ponsel Mint dan melihat yang lainnya, seolah memberi kode akan sesuatu.

Dalam waktu singkat mereka membuka ponsel Mint dan mengetikkan sesuatu. Hal itu tidak berlangsung lama karena mereka tidak mau tertangkap basah ada di sana. Mereka berdua pergi dan meninggalkan ponsel Mint di tempat semula. Mereka berdua tertawa senang.

"Ini akan jadi headline seantero sekolah," ucap sosok itu.

"Yeah, i know."

✨✨✨

"Suasana lagi nggak enak banget, ya," mulai Elva selama duduk di kelas, belum beranjak turun menuju kantin.

"Iya. Gue kaget denger Widi angkatan kita bunuh diri," sambung Ninda.

"Katanya dia begitu karena dibully. Tadi gue lihat orangtuanya datang ke ruang guru. Mau ngapain, ya?" Elva bertanya-tanya. Kemudian, dia melirik Mint. "Tapi Mint nggak pernah bully Widi. Mungkin karena nggak pernah ganggu lo, ya, Mint?"

"Gue nggak akan nyamperin orang yang nggak pernah ngatain atau ngurusin hidup gue. Buat apa? Selama nggak menyenggol, gue nggak mau tau urusan mereka," jawab Mint.

"Orang-orang bilang Ivory nggak salah apa-apa, tapi selalu lo ganggu," kata Ninda.

Sambil merapikan poninya yang berantakan, Mint menjawab, "Terserah mereka mau bilang apa. Gue iri karena dia ambil semua perhatian Kak Silver. Mau dibilang berlebihan juga sebodo amat. Mereka boleh berpendapat. Itu hak mereka. Gue sendiri nggak mau pusing dan nggak masalah dengan apa pun yang mereka katakan tentang gue di luar."

"Ada yang bilang lo gila tau, Mint," ucap Elva.

"Mint emang gila, sih. Gue setuju sama orang itu," timpal Ninda setengah bercanda sambil terkekeh.

"Lo bener banget." Mint ikut tertawa menanggapi ucapan Ninda.

Selama beberapa hari Mint sudah mulai menikmati kehidupannya di sekolah. Tanpa menampar, tanpa membully orang, dan tanpa masalah. Hidupnya lebih tenang. Terlebih dengan adanya Elva dan Ninda. Oh, Gempar juga. Mint semakin merasa bersyukur karena Gempar.

"Mint, lulus sekolah lo mau kuliah di mana?" tanya Elva.

"Mau coba Harvard atau Stanford mungkin? Kalo lo mau coba ke mana, El? Jadi ambil tata boga?" jawab Mint yang kemudian bertanya balik. "Soalnya Ninda mau ambil desain. Dia mau jadi desainer."

"Lo inget gue mau ambil tata boga?" Elva menatap penuh haru.

Mint menarik senyum. "Inget lah. Gue inget rasa roti cokelat buatan lo yang enak itu. Kalo lo punya toko bakery atau resto, gue akan rutin datang. Nanti kalo gue butuh dress, gue datang ke tempatnya Ninda."

Elva bertopang dagu, membayangkan mimpinya nanti. "Duh, bayanginnya udah keren banget. Gue kepengen punya restoran sama toko bakery. Biarpun kesannya maruk, tapi itu impian gue. Gue pengen ikutan Master Chef Indonesia. Kepengen jadi celebrity chef juga!"

"Gue nggak sabar buatin dress untuk kalian berdua," sambung Ninda ikut membayangkan mimpinya terwujud di masa depan. Detik berikutnya dia melirik Mint. "Bukannya lo mau jadi penyanyi, Mint? Tapi waktu itu lo bilang mau kuliah ambil bisnis. Apa nggak jadi ambil Performing Arts?"

Mint diam cukup lama. Awalnya dia memang ingin mengambil jurusan Performing Arts, tapi melihat perlakuan ayahnya, dia ingin mengambil bisnis dan manajemen. Setelah ayahnya mengusir, Mint perlu memikirkan kembali apa dia tetap ingin mengambil bisnis dan manajemen atau tidak. Kalaupun dia mengambil jurusan bisnis, apa yang akan dia perjuangkan? Supaya ayahnya melihatnya ada? Rasanya mustahil. Sekuat apa pun Mint mencoba, ayahnya hanya akan menyalahkan dirinya atas kematian ibunya.

"Entah lah. Yang gue pikirin sekarang adalah fokus menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Urusan mimpi bisa gue pikirkan setelah lulus," jawab Mint akhirnya.

"Ah, Mint..." Ninda memeluk Mint dari samping, yang mana kebetulan sedang duduk di sampingnya. "Lo selalu baik di mata gue, meskipun kadang suka minta digigit juga karena terlalu sering dengerin setan."

Elva tertawa terbahak-bahak. "Parah banget, Ninda, mah. Gigit aja, Mint."

Mint menepuk-nepuk lengan Ninda yang tengah memeluknya. "Gue tau dia begini karena lagi bahagia sama David. Iya, paham."

"Mint! Ih... gosip!" elak Ninda.

"Halah! Kalo jadian pasti mesam-mesem lu!" ledek Elva.

"Udah ah. Ayo, turun. Gue lapeeeer," ajak Ninda, yang kemudian menarik diri dan berdiri dari tempat duduknya.

Tanpa mengatakan apa-apa Mint dan Elva ikut berdiri dari tempat duduk mereka. Bersamaan dengan itu, ada seorang cewek datang dengan wajah marah dan tanpa permisi menampar keras wajah Mint.

"Yani!" seru Elva kaget. "Kok lo main tampar Mint gitu aja sih?!"

"Lo pembunuh, Mint. Lo jahat tau nggak!" Yani, cewek berambut panjang sepunggung itu menunjuk-nunjuk Mint.

"Maksud lo apa?" tanya Mint bingung.

"Maksud gue? Lo pakai nanya lagi! Gara-gara DM lo di Instagram, Widi bunuh diri! Kata-kata lo keterlaluan, Mint. Nggak cuma DM aja, lo kirim surat berulang kali untuk dia. Lo bully dia! Keterlaluan lo, Mint. Salah dia apa sih sama lo?" jawab Yani dengan suara kencang. Seluruh murid di kelas langsung menjadikan Yani tontonan.

"DM? Gue nggak pernah DM apa-apa."

"Nggak pernah DM apa-apa lo bilang? Lo mau sok suci kayak biasanya ya? Gue punya buktinya. Widi screen shot pesan lo!" Yani membuka pesan dari teman baiknya, lalu menunjukkan screen shot pesan yang dikirimkan. "Ini buktinya. Lo masih mau ngelak?"

Mint mengamati gambar yang ditunjukkan. Pupil matanya melebar saat membaca pesan yang dikirimkan dari akun Instagramnya untuk cewek bernama Widi itu. Mint tidak pernah sekalipun mengirim apa-apa. Dia langsung mengambil ponsel dan melihat isi DM akun Instagramnya. Tidak ada apa-apa. Pesan yang dikirimkan dari akunnya untuk Widi tidak ada. Lantas, bagaimana bisa ada tulisan seperti itu?

"Apa hak lo menghakimi orang lain, Mint? Lo seenaknya ngatain Widi begitu sampai bikin dia sedih. Lo bener-bener bukan manusia. Lo nggak pantas dianggap manusia. Pantes aja banyak orang benci sama lo," ucap Yani. Suaranya bergetar seiring air mata yang jatuh.

"Gue nggak kirim itu. I swear to God, gue nggak tau gima--"

"Jangan bawa-bawa Tuhan deh! Orang kayak lo nggak pantas nyebut nama Tuhan. Lo bukan manusia!" potong Yani dengan nada meninggi. "Lo nggak pantas dapat apa pun, Mint. Tukang bully kayak lo nggak seharusnya hidup dengan tenang. Lo harus ngerasain gimana rasanya dibully kayak gitu. Gue harap orang kayak lo mati lebih cepat."

Suasana menjadi gaduh. Orang-orang membicarakan Mint. Begitu Elva dan Ninda memelototi, mereka semua diam dan menahan diri untuk tidak bergosip ria.

"Mint, lo dipanggil ke ruang BK." Salah seorang murid datang dan mengatakan hal itu dengan lantang.

"Semoga lo dikeluarin dari sekolah ini," ucap Yani, yang kemudian pergi meninggalkan tempatnya dengan perasaan marah.

Mint tidak mengatakan apa-apa dan keluar dari kelasnya seiring suara pembicaraan yang semakin mendengung jelas di telinga. Kata-kata Yani terasa begitu menusuk. Mint tidak tahu siapa yang mengirimkan pesan itu, tapi memang kata-kata yang dilontarkan sangat keterlaluan.

Di perjalanan melewati lorong, Mint berpapasan dengan Gempar dan David. Bukan membalas panggilan sang pacar, Mint justru mengabaikan panggilan itu dan terus berjalan melewatinya. Mint tidak mau Gempar melihatnya dengan wajah sedih seperti ini. Lebih baik Mint mengurus hal yang sedang menantinya.

✨✨✨

Yuhuuu tinggalkan jejak kalian baik komen ataupun vote😍😘😘😘

Follow IG & Twitter: anothermissjo

Salam dari Mint😘

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top