Chapter 23: Dua Sisi
Part ini tumbenan panjang banget kek kereta🤣🤣
Boleh ya vote dulu terus komen yang banyaaaaaak banget🥺🥺🥺
Terima kasih kalian sudah membaca cerita Mint sejauh ini🥺 nggak berasa bentar lagi tamat😂😂🥺
#Playlist: Kassy - Take My Hand (ini favorit aku dan Gempar wkwk susah kalo jodoh😛)
•
•
Di depan makam yang menuliskan nama Ava Carolina, Mint duduk dan mengusap batu nisan. Ibunya pergi setelah melahirkannya. Tak ada sentuhan, tak ada pelukan, tak ada senyum yang dia dapat dari ibunya. Mint tidak merasakan kasih sayang itu.
"Ma... kenapa waktu itu Mint nggak dibiarin meninggal aja? Walau Mint belum pernah lihat Mama, tapi Mint kangen. Mint mau gila rasanya ngemis perhatian..."
Mint menangis dan menidurkan kepalanya di atas makam sang ibu. Dia tidak tahu bagaimana rasanya diusap, dipeluk, dan dicium ibunya. Terlalu cepat pergi sebelum dia sempat menikmati semua hal itu.
"Rasanya Mint mau mati aja. Papa nggak pernah menerima Mint. Dia nyuruh Mint mati, Ma..." Mint menangis terisak-isak. "Mint capek jadi Peppermint Jayantaka. Mint nggak mau marga itu..."
Sekali usapan tangan di atas batu nisan, Mint kembali mengutarakan sesuatu dalam isak tangisnya.
"Mint kangen Mama..."
Mint tidak peduli bajunya kotor. Dia hanya ingin memeluk ibunya meski melalui perantara batu nisan dan tanah.
Masih tetap menangis, Mint mengatakan hal yang sama berulang kali. "Mint kangen Mama... Mint kangen banget..."
✨✨✨
Mint membawa baju-baju sekolah dan beberapa potong pakaian seperti piyama dan pakaian untuk pergi. Mint mendatangi rumah salah satu sepupunya. Dia sudah mengirimkan pakaian itu lebih dulu menggunakan jasa taksi online. Kini, Mint berdiri di depan pintu apartemen sepupunya. Dia sudah mendapat kabar kalau sepupunya yang bernama Estetika Jayantaka sudah ada di rumah.
"Hai, Kak Estetika," sapa Mint setelah pintu apartemen terbuka.
"Ya ampun... Mint!" Estetika memeluk Mint dan mengusap kepalanya dengan lembut.
"Nggak apa-apa. Ini cuma berantem aja sama Papa," jawabnya pelan.
Estetika menarik diri dan mengusap wajah adik sepupunya. "Kok papamu tega sih sampai begini? Kenapa sih sama bapak-bapak keluarga Jayantaka ini? Tega kali sama anak gadisnya."
"Nggak apa-apa, Kak. Aku, kan, anaknya bermasalah. Mungkin Papa bosan." Mint memaksakan senyum. Mengingat kejadian kemarin hatinya hancur.
"Kita bahas di dalam. Ayo, masuk." Estetika mengajak Mint masuk ke dalam apartemen, membantunya menenteng tas kecil yang dibawa Mint dan meletakkan di atas meja. "Aku langsung ngadu sama Kak Salty. Terus dia bilang langsung pulang hari ini. Mungkin besok udah sampai," ucap Estetika.
"Kak Estetika cerita?"
"Iya. Biar aja dia yang ngomelin papamu. Heran. Kalo nggak mau punya anak cewek nggak usah bikin mulu. Bingung aku sama Om Lukman. Kok ibu tirimu mau sama dia?"
Mint menyandarkan tubuhnya di punggung sofa. Sementara itu, Estetika beranjak menuju dapur dan mengambilkan minuman untuk sepupunya. Estetika meletakkan jus yang dituang dari jus kotak dan menyajikan untuk Mint di atas meja.
"Aku robek catatan orang di sekolah, Kak. Papa marah. Ya, wajar sih. Aku dapat ranking paralel pun, Papa nggak peduli. Kalo aku buat masalah, dia baru negur," cerita Mint.
Estetika mengusap kepala Mint sembari duduk di sampingnya. "Kenapa kamu robek catatannya? Kamu ada masalah sama orang itu?"
"Aku terbawa emosi. Aku emang salah."
"Mint," Estetika kembali mengusap kepala Mint. "Kita kesampingkan dulu masalah teman kamu itu. Betul kamu salah, tapi Om Lukman nggak berhak sampai ngusir kamu. Waktu kecil, dia mana ada ngurus kamu. Siapa yang ngurus kamu? Kak Salty. Apa Om Lukman pernah datang waktu kamu pentas atau apa pun? Nggak pernah. Lantas dia baru mau ngomong kalo kamu bikin masalah? Itu keterlaluan. Nggak ada satu pun anak yang berhak diperlakukan kayak gini. Nggak ada."
Mata Mint berkaca-kaca. "Aku, kan, ngebunuh Mama. Kalo aku nggak lahir, Mama pasti nggak meninggal, Kak."
"Mint, meninggal atau hidup itu udah diatur sama Tuhan. Om Lukman nggak berhak menyalahkan kematian ibu kamu. Dia seenaknya melimpahkan salah itu sama kamu. Padahal kamu nggak salah apa-apa. Berhenti dengerin kata-kata Om Lukman soal Mama kamu. Kamu nggak salah, Mint." Estetika menggamit tangan Mint dan menggenggamnya dengan erat.
Mint mengangguk pelan. Air matanya jatuh membasahi pipi. Dadanya sesak.
"Soal catatan itu, kamu salah. Pasti ada usaha yang besar yang dituangkan dalam catatan itu. Kamu minta maaf sama orang itu. Dimaafkan atau nggak, itu urusan belakangan. Yang penting kamu punya itikad baik. Terus jangan diulangi lagi." Estetika menasihati.
Mint mengangguk pelan. "Iya, Kak."
"Lebih baik kamu fokus belajar. Nggak usah pikirin Om Lukman. Kamu nggak perlu cari-cari perhatian dari papamu. Contoh Sani aja. Setelah keluar dari rumahnya yang toxic, dia berhasil menemukan kebahagiaannya. Semoga setelah ini, kamu bisa hidup bahagia dan memaafkan apa pun yang bikin kamu sedih. Terutama maafin diri kamu. Meninggalnya Mama kamu bukan karena kamu," lanjut Estetika dengan mata berkaca-kaca. Sedih rasanya dia melihat para sepupunya yang cewek selalu mendapat perlakukan tidak adil. Setidaknya Estetika bersyukur ayahnya tidak seperti ayahnya Mint atau pun Sani.
"Aku melakukan banyak hal buruk, Kak. Aku sering bully orang-orang di sekolah. Aku sering jahat. Aku pernah melakukan hal baik, tapi rasanya nggak cukup."
Mint tidak pernah merasa cukup baik untuk dibilang baik. Dia tidak pernah merasa baik sebagai teman, adik, anak, bahkan sebagai pacar. Mint merasa bersalah dengan semua hal yang ada di hidupnya.
Estetika menyeka air mata Mint dengan ibu jarinya. "Nggak apa-apa. Kalo kamu sadar tindakan kamu salah, maka sekarang saatnya kamu menjadi pribadi yang lebih baik. Di dunia ini nggak ada satu pun manusia yang nggak pernah berbuat jahat. Nggak ada. Semua orang pasti pernah melakukan itu. Mau sengaja atau nggak. Nggak apa-apa mereka menganggap kamu jahat, tapi buktikan kalo kamu udah berubah. Terkadang butuh menjadi jahat dulu untuk bisa menjadi pribadi yang lebih baik. Butuh untuk terpuruk dulu untuk bangkit. Semua ada prosesnya, Mint."
Mint mengangguk kecil. Estetika kembali mengusap kepala Mint dan menambahkan, "Kamu nggak perlu nunjukkin atau kasih tau hal-hal baik yang kamu lakukan untuk dibilang baik sama orang. Biar orang lihat dengan sendirinya dan mereka menentukan sendiri persepsinya. Jadi aku harap kamu bisa memulai semua hal baik dimulai hari ini. Bahagia lah, Mint. Lupain semua masalah keluarga. Fokus belajar, mengubah diri menjadi lebih baik, dan memaafkan diri. Aku tunggu cerita baik kamu."
"Kak Estetika, makasih..."
Mint memeluk Estetika dengan erat. Begitu pula Estetika yang membalas pelukannya. Estetika mendengar Mint menangis terisak-isak.
"Sama-sama, Mint. Jangan sedih lagi ya. Kalo Om Lukman nggak biayain kamu lagi, nggak usah khawatir. Aku bayarin biaya sekolah kamu sampai kuliah," bisik Estetika.
"Makasih, Kak. Aku mau cari kerja."
"Nggak, nggak usah. Kamu belajar aja yang bener. Urusan uang itu biar aku yang urus."
"Makasih banyak, Kak." Mint semakin mempererat pelukannya. Dia bersyukur kakak sepupunya sebaik ini.
✨✨✨
Mint duduk di kantin bersama Elva dan Ninda. Tak hanya bertiga saja karena ada David dan Gempar.
"Ih... ngapain sih dia duduk di situ? Nanti kena virus jahat lagi." Suara seorang cewek terdengar jelas mendengung di telinga Mint dan yang lainnya.
"Tau nih. Menuh-menuhin kantin aja. Harusnya kita tulis nggak ada tempat buat orang yang berani ngerobek catatan orang," sambung yang lain.
Ninda mengepal tangannya dan memelotot tajam pada dua orang cewek itu. "Dua mulut setan itu nggak bisa diem ya," umpat Ninda kesal.
"Cuekin aja ya," bisik Gempar seraya mengusap kepala Mint.
Mint mengangguk dan melahap chicken katsu pesanannya. Sesekali dia menyuapi Gempar, berhasil membuat David berdeham berulang kali karena iri.
"Setelah robek catatan orang, dia masih punya muka duduk di situ? Gila ya. Nggak tau diri banget." Suara lain terdengar lebih lantang.
"Iya, dia udah didepak dari gengnya tuh. Makanya cari temen baru," sambung yang lain.
"Lagian gue sih nggak pernah takut sama dia. Anak caper kayak gitu buat apa diladenin," celetuk yang lainnya.
Mint tidak peduli dan tetap menyantap chicken katsu miliknya. Namun, kegiatannya terganggu saat ada yang mengguyur air jeruk di atas kepalanya. Hal ini membuat rambut dan seragam Mint basah.
"Heh! Lo gila ya?!" omel Ninda dengan suara meninggi.
"Ups! Tangan gue kepleset. Karma, Sist," balas cewek itu santai.
Gempar bangun dari tempat duduknya, menatap tajam dua cewek itu. "Kalian tau nggak, tindakan kalian sama aja ngebully. Apa bedanya lo sama pembully? Kalo lo bilang Mint jahat, kalian apa kabar?"
"Kok mau sih sama Mint? Ngapain dibelain?" balas cewek itu.
David berdecak dan ikut bangun dari tempat duduknya. Selera makannya hilang. "Gue heran lo pada bukan banyakin tobat malah guyur-guyur kepala orang. Terus berdalih karma. Emang lo siapa? Tuhan? Tuhan aja nggak pernah menghakimi umatnya. Kenapa lo pada bilang ini karma? Gila kali."
Mint menahan pergelangan tangan Gempar dan menariknya supaya duduk. "Biarin aja." Dia mengambil tisu dan menyeka wajahnya. Masih tidak beranjak dari tempatnya, Mint tetap santai melahap makanannya yang terkena guyuran air jeruk.
Gempar dan David kembali duduk. Sebenarnya mereka sudah muak, tapi tidak ada yang bisa dilakukan selain menuruti kata-kata Mint untuk tetap duduk.
"Heh! Lo berdua sinting ya? Ngapain sih guyur-guyur orang? Meja basah tau!" Seorang cewek datang membela. Kemudian, cewek itu menepuk pundak Mint. "Kak Mint, pakai ini aja."
Mint menoleh dan melihat cewek yang pernah disuruh mencium kakinya di halaman belakang sekolah. Cewek itu bernama Lita. Cewek itu menyodorkan jaket pink padanya. Tanpa pikir panjang Mint mengambil jaketnya.
"Idih... lo udah dibully masih aja belain! Lihat tuh, orang baik mah pasti bakal baik. Mau aja nolongin orang jahat." Belum selesai, cewek itu masih mengoceh.
"Pergi lo berdua!" usir Lita.
"Kalo udah jahat mah nggak usah ditolongin. Beruntung banget jadi orang jahat ya. Tau gitu gue jadi jahat," ejek cewek itu dengan nada sinis, sebelum akhirnya pergi berlalu bersama teman-temannya.
"Aku mau ganti baju dulu, ya." Mint menepuk pundak Gempar. Lalu, pandangannya tertuju pada Lita yang meminjamkan jaketnya. "Lita, pinjam dulu jaketnya ya. Nanti dibalikin lagi. Mau ganti baju bentar. Kebetulan bawa kaus olahraga."
"Oke, Kak. Pakai aja."
"Eh, Mint. Gue temenin," ucap Ninda ikut menyusul.
Mint pergi meninggalkan kantin ditemani Elva dan Ninda. Sementara itu, David dan Gempar tetap duduk di kantin.
"Kok lo masih baik sama Mint? Bukannya waktu itu lo disuruh cium kakinya dan kaki temen-temen dia?" tanya David pada Lita.
"Kak Mint baik kok, Kak," jawab Lita sambil tersenyum.
David mengangkat satu alisnya. "Baik sama lo maksudnya? Yakin?"
"Iya. Setelah insiden itu, Kak Mint langsung datang ke rumah saya dan minta maaf. Bukan cuma minta maaf, dia cium kaki saya seperti apa yang saya lakukan ke dia," beber Lita.
Gempar bertanya, "Mint ngelakuin itu?"
"Iya, Kak. Kalo nggak salah sama Sisil juga minta maaf. Aku sendiri kaget Kak Mint datang terus minta maaf. Lebih... eh..." Lita mengatup mulutnya.
"Kenapa? Kok lo tiba-tiba diem?" tanya David.
Lita menggaruk kepalanya yang tidak gatal sama sekali. "Pura-pura nggak tau ya, Kak. Kak Mint minta jangan ada yang tau dia minta maaf. Aku udah ingkar janji nih keceplosan."
"Kenapa nggak boleh ada yang tau?" tanya Gempar penasaran.
"Gengsi kali?" sela David.
"Bukan, Kak. Katanya biarin aja orang taunya dia kejam. Aku juga nggak ngerti. Tapi aku mohon jangan bocorin ke siapa-siapa," pinta Lita setengah memohon.
"Oke, tenang. Aman," sahut David.
"Kalo gitu aku pamit ya, Kak Gempar dan Kak David," pamit Lita, yang mana segera pergi berlalu meninggalkan Gempar dan David.
"Wow! Gue nggak pernah nyangka itu sama sekali dari seorang Mint," kata David.
Gempar pun sama tidak menyangkanya.
David menjentikkan jarinya. "Eh, gue inget sekarang. Waktu itu dia pernah minta alamatnya Sisil, anak yang pernah disuruh sujud depan dia itu. Gue kasih tau tapi dia nggak ngasih tau mau ngapain. Berarti Mint minta maaf juga sama anak itu dong?"
Gempar baru tahu. Kenapa ada manusia membingungkan seperti Mint. Di sekolah sikapnya seperti preman, tapi di luar itu sikapnya berubah.
"Ah, ini bener kata pepatah. Don't judge a book by it's cover. Well, gue paham sekarang. Gue bisa judge Mint jahat, tapi gue nggak tau hal lain yang dia lakukan. Gue inget dia pernah bilang nggak mau diremehin gitu kalo nggak ngelakuin. Mungkin ini menyangkut Death Eyes yang selalu memanfaatkan kebodohan dan tempramen dia," lanjut David.
Tanpa pamit, Gempar langsung meninggalkan David. Dia ingin menemui Mint. Selama ini dia menjadi salah satu orang yang mengatai-ngatai Mint karena sikapnya. Padahal dia hanya tahu yang terlihat saja.
Akhirnya Gempar paham maksud kata-kata Mint; "Semua orang hanya melihat apa yang bisa dilihat."
Tiba di depan kamar mandi sesuai yang diberitahu Ninda, Gempar melihat Mint keluar dari kamar mandi mengenakan kaus olahraga. Gempar tidak memedulikan siswa yang berlalu lalang dan langsung memeluk Mint.
"Heh! Jangan gila lo ya. Ngapain sih peluk-peluk?" omel Mint seraya mendorong sedikit tubuh Gempar. Sialnya tidak berhasil memutus pelukan itu.
"Are you okay?" bisik Gempar.
Mint menarik senyum tipis dan menepuk-nepuk punggung Gempar. "Of course. Kenapa harus nggak baik-baik aja? Apa karena kejadian tadi kamu ngira aku bakal nangis-nangis?" tanyanya setengah tertawa.
"Nggak. Aku tau kamu nggak akan nangis."
"Ya, udah, lepasin. Jangan sampai dikira mesum sama guru."
"Janji sama aku, Mint. Kalo kamu butuh sandaran, kamu datang ke aku."
Mint tertawa geli. "Haha... anak kelas sebelas sok-sok ngomong gini. Puitis banget. Kalo aku butuh sandaran, aku nyender sama tembok."
"Mint..."
"Iya, aku akan datang ke kamu setiap kali aku merasa down. Puas?"
Gempar mengangguk pelan. Mint akhirnya bisa melepas pelukan. Bagi Mint, melihat senyum Gempar membuat hari menjadi lebih indah dari biasanya.
Sambil mencubit pipi Gempar dengan pelan, Mint berkata, "Makasih, Gempitaku."
💫💫💫
Jangan lupa vote dan komen kalian ya😘🤗❤️
Kok sama Elva dan Ivory nggak minta maaf? Aku nggak mungkin dong jabarin semua sampe clear dalam satu bab. Kepanjangan nanti~~
Follow IG & Twitter: anothermissjo
Salam dari bebeb Gempar🤗❤️
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top