Chapter 21: Pertengkaran

Yuhuu sesuai janji aku double up!😘

Yokkk vote dulu baru komen sebanyak-banyaknya😘😘😘🤗❤️

"Kayaknya, gue bakal lintas jurusan deh pas daftar kuliah nanti." Mint sengaja meninggikan suaranya supaya Ivory dengar karena dia tahu ada cewek itu di sana.

"Yakin lo, Mint? Dari IPS ke IPA? Selama ini gue cuma pernah denger banyak yang lintas jurusan dari IPA ke IPS. Bukan sebaliknya."

"Yakin, dong. Apalagi gue udah dikasih catetan anak IPA dari kelas sepuluh sama kakak gue. Nih, liat." Mint memamerkan buku catatan Ivory ke udara dengan senyum miring.

Mint tahu Ivory sudah berada di belakangnya, tapi dia pura-pura tidak melihatnya. Tak lama dia mendengar suara cewek itu. "Balikin catetan gue."

Mint memasang wajah tidak bersalah sama sekali. "Hah? Lo bilang apa?"

Ivory kembali mengulangi ucapannya, penuh penekanan ditiap kata. "Balikin-catetan-gue."

"Oh, maksud lo, ini? Catetan yang lo kasih Silver untuk ngerayu dia biar nggak ninggalin lo lagi? Tapi, karena Silver nggak bales perasaan lo, jadinya lo deketin Diko juga? Dasar lo kecentilan."

"Mint-balikin-catetan-gue-sekarang. Selagi gue masih minta baik-baik."

Mint yang sedari tadi masih duduk di kursinya, menyeringai menikmati Ivory mulai tersiksa, dia mulai berdiri. "Kalo gue nggak mau lo mau apa? Lo berani ngancem gue?"

Mint pikir Ivory takut karena selama ini Ivory selalu terlihat menghindarinya.

Ivory maju selangkah. Dengan gerakan cepat, Ivory meraih buku di tangan Mint. Sayangnya, Mint yang menyadari pergerakan Ivory refleks lebih cepat. Buku tersebut diangkatnya lebih tinggi, tepat di atas kepala. Detik setelahnya Mint merobek semuanya hingga kertas-kertas berhamburan dan bertebangan.

Mint terkejut ketika melihat Ivory hendak melayangkan tangan padanya. Namun, tangan itu berhasil ditahan oleh kakaknya yang baru saja muncul.

"By ...."

Plak!

Ivory menampar Silver dengan tangannya yang lain. Tindakan itu cukup membuat Silver melepaskannya dan membuat semua yang berada di kantin terdiam dan benar-benar memusatkan seluruh antensi.

"Sebenernya aku punya salah apa sama kamu sampe aku harus nerima ini semua?" Ivory bertanya frustrasi, menyingkirkan tangan teman-temannya yang berusaha menenangkan.

Ivory beralih pada Mint sepersekian detik setelahnya. "Gue punya salah apa sebenernya sampe lo ngelakuin ini ke gue?"

"Udah puas, kan, kalian?"

Begitu Ivory berbalik, pergi meninggalkan kantin, suara bising kembali memenuhi udara. Pertanyaan Ivory yang ditujukan pada Silver atau pun Mint itu masih tertinggal.

"Kalian berdua ini punya masalah hidup apa sih sebenernya?" tanya Dela kesal. Sudah berdiri di hadapan Silver dan Mint. "Lo itu ya, masih kelas sebelas udah banyak betingkah. Lo udah ngerasa paling hebat? Lo pikir selama ini kita-kita nggak berani negor elo karena lo adeknya Silver? Gue kasih tau aja ya, Mint. Lo itu cuma anak kecil yang sengaja lagi cari-cari perhatian. Jadi nggak usah ngerasa sok hebat."

"Elo juga. Dasar cowok nggak tau diri. Sok kecakepan!"

Setelah puas melampiaskan kekesalannya, Dela berniat mengambil sisa catatan Ivory yang masih utuh, yang berada di atas meja, di belakang Mint. Namun, Diko––yang baru selesai memunguti robekan catatan Ivory––sudah mengambilnya lebih dulu.

"Biar saya aja, Kak. Sekalian."

Dela mengangguk. Berbalik pergi setelah memelototi Silver dan Mint bergantian.

"Gue rasa, kali ini lo udah kelewatan, Mint." Diko berbisik pada Mint sebelum ikut-ikutan pergi.

Sebelum pergi Silver beralih pada Mint yang masih belum bergerak. Menatap adik perempuannya itu tajam, "Lo tau dari mana Ivory pinjemin catetannya ke gue? Lo abis periksa kamar gue?"

Mint mengabaikan kakaknya dan sengaja menabrak bahu kakaknya dengan kasar sebelum akhirnya dia meninggalkan tempatnya. Tidak peduli bagaimana tatapan orang-orang padanya, dia sudah terbiasa menjadi pusat dari segala kejahatan.

"Mint!" teriak Ninda dari belakang.

Mint tidak berhenti sedikitpun sampai akhirnya Ninda menarik pergelangan tangannya dan berhasil memutus langkah.

"Lo kenapa sih, Mint? Anak-anak bahas soal lo robek catatan Ivory. Ada apa lagi kali ini? Apa geng suram lo itu yang manasin lo?" tanya Ninda.

Mint menatap Ninda dengan tajam dan dingin. "Jangan bawa-bawa geng. Gue emang begini. Bukannya lo udah tau?"

"Mint." Ninda mendesah kasar. "Just stop. Kian hari lo semakin nggak terkontrol. Kenapa sih? Lo bisa cerita seperti biasa. Lo bisa––"

"Lo nggak perlu ikut campur," potong Mint, yang kemudian melepas tangan Ninda dari pergelangan tangannya dan berlalu begitu saja meninggalkannya di belakang sana.

Mint bergegas cepat. Dia beranjak menuju rooftop sekolah. Sebenarnya tidak ada yang boleh naik ke atas sana, tapi gembok yang digunakan untuk mengunci pintu rooftop rusak. Hanya beberapa siswa yang tahu gembok rusak. Salah satunya Mint. Bagusnya rooftop sedang tidak didatangi siapa pun.

Di sana Mint menahan kekesalan dan air matanya. Dia ingat bagaimana tatapan Silver padanya. Padahal dia hanya ingin melindungi Silver.

"Rupanya kamu di sini." Gempar muncul, masih berdiri di samping Mint yang tengah duduk. Tak ada alas apa pun dan tampaknya Mint tidak peduli roknya kotor. Lalu, dia ikut duduk di samping Mint.

Gempar melihat kunci rooftop tidak dikunci jadi dia memeriksanya. Dan pacarnya ada di sana. Dia mendengar perbincangan hangat mengenai kejadian Mint merobek catatan Ivory. Semuanya heboh. Gempar sedang bermain basket dengan Sastra dan teman-teman kelasnya di lapangan indoor basket dan berita itu sampai ke sana. Akhirnya dia mencari-cari Mint dan menemukannya di sini.

"Kamu mau cerita sesuatu?" tanya Gempar. Suaranya tenang dan lembut. Dia tidak mau memancing amarah Mint. Satu tangan Gempar mampir di kepala Mint dan mengusapnya dengan lembut.

"Aku salah ya mau melindungi Kak Silver? Aku nggak mau dia disakitin. Aku nggak suka Ivory keganjenan gitu." Mint mulai buka suara. Nadanya menggebu-gebu.

"Kamu tau dari mana Ivory ganjen?" Sebelum Mint memukul atau mengomel, dia meralatnya. "Bukan belain Ivory, tapi kamu tau dari mana dia ganjen? Ini nanya, lho."

"Di dalam majalah, ada foto Ivory sendirian. Diko foto Ivory. Kenapa ada foto Ivory di sana coba? Mana lagi ketawa."

"Bisa aja fotonya diambil diam-diam. Aku lihat fotonya kok. Semacam candid gitu. Selain itu, ada foto Ivory dan Kak Silver. Kalo Ivory genit, kenapa nggak foto Ivory aja semuanya? Buktinya ada foto Ivory berdua sama Kak Silver. Kamu lihat, kan, ada foto berdua itu?"

Mint mengangguk. Gempar melanjutkan, "Berarti Ivory genit atau nggak kalo ada foto Kak Silver segala? Kamu udah tanya sama Diko belum dia ambil foto Ivory sendirian itu dengan maksud apa? Bisa aja yang tertarik di sini bukan Ivory, tapi Diko. Ada banyak kemungkinan Mint."

Mint menatap Gempar dan memikirkan kata-katanya.

"Aku tau kamu niatnya baik, tapi alangkah baiknya kamu dengar dari berbagai sisi, Mint. Kamu bilang orang cuma mau lihat apa yang mereka lihat, kan? Iya, mereka lihat kamu semakin nyebelin tanpa alasan yang jelas sampai jahat sama Ivory. Lain kali kamu lihat sisi yang lain. Aku bukan menggurui, tapi aku nggak mau orang-orang selalu mandang kamu jahat. Padahal aku tau kalo kamu punya sisi lain."

Mint menghela napas kasar. Mint sepenuhnya sadar bahwa dia salah. Benar yang dikatakan Gempar. Hanya saja caranya keterlaluan.

"Aku iri Silver selalu perhatian sama Ivory. Aku kangen kakakku. Aku tau, aku ngemis-ngemis perhatian Papa dan kakak-kakakku. Tapi..."

"Tapi caranya salah." Gempar mengusap kepala Mint sekali lagi. "Kamu, kan, punya aku, Mint."

Mint menyandarkan kepalanya di pundak Gempar. "Mungkin aku harus berhenti ngemis perhatian."

"Iya, berhenti. Nanti juga mereka sadar ada kamu. Mending kita pergi ke tempat yang lebih bagus. Mau nggak?"

"Nggak. Kalo kamu ngajak pergi nonton konser Victory, i'm in."

"Siapa, tuh?"

"Boyband Indonesia. You don't know them?"

"Nggak. Mau nonton mereka? Aku temenin."

Mint menarik diri dan menatap Gempar dengan binar-binar senang. "Beneran nih? Kamu mau nemenin aku nonton konser mereka?"

Gempar mengangguk. "Kenapa nggak?"

"Yes! Makasih, Gempitaku!" Mint kembali menyandarkan kepala di bahu Gempar sambil tersenyum riang. Wajah muramnya mulai menghilang digantikan tawaran menggiurkan dari pacarnya.

"Jangan lupa minta maaf sama Ivory." Gempar mengingatkan.

Mint menghela napas berat. "Mungkin nanti."

Gempar mengusap kepala Mint tanpa henti, membiarkan Mint tenang lebih dulu. Ternyata menjadi pacar Mint tidaklah mudah. Dia mendengar banyak pembicaraan tidak enak tentang Mint. Meskipun begitu, dia tetap menyayangi cewek itu apa adanya.

Lebih dari itu, Gempar yakin menjadi seorang Mint tidaklah mudah. Hidup dalam pergunjingan kasar, diabaikan, dan dipandang sebelah sisi.

💫💫💫

Mint sedang duduk di lapangan indoor basket. Mint melihat Fuchsia dan segera memanggilnya. Namun, Fushcia berlalu begitu saja. Merasa diabaikan, Mint mengejar Fuchsia.

"Apa masalah lo?" tanya Mint dengan nada tinggi. Mint mengejar Fuchsia yang tetap melangkah, jelas menjauhinya.

"Lo yang punya masalah apa sama sepupu gue," sahut Fuchsia dengan nada sama tingginya, temannya itu terus melangkah dengan pandangan lurus.

Mint menatapnya heran. "Selama ini lo netral lho, Sya."

"Nggak lagi setelah kelakuan lo kelewatan."

"Karena ngerobek catetan dia?"

"Punya otak nggak lo seberapa berharganya catatan itu buat Ivory?"

"Lebay banget. Itu cuma catatan."

Mint tersentak mundur karena Fuchsia berhenti berjalan secara tiba-tiba. Temannya itu kini menatap Mint tak percaya.

"Lo bilang itu berlebihan? Mint, yang nggak penting buat lo bukan berarti nggak penting buat orang lain. Lo tau seberapa keras Ivo belajar biar bisa ranking satu."

"Kenapa lo nggak dengerin alasan gue dulu kenapa lakuin itu?"

"Nggak ada alasan yang layak buat gue denger yang bisa bikin kelakuan lo pantes buat dilakuin sama orang lain. Bukan cuma lo yang menderita. Lo pikir gampang buat Ivo ranking satu? Lo pikir dia nggak menderita karena hal itu?"

"Lo pikir gue nggak menderita juga, Sya?"

"Lo, gue, Ivo, semua orang, nggak ada yang hidupnya berjalan baik-baik aja, Mint. Dan kalo lo nggak bisa meringankan beban orang lain, jangan bikin beban orang lebih berat."

"Lo cuma bela Ivo. Lo nggak denger penjelasan gue dulu. Apa lo masih temen gue?"

"Temen? Bukannya lo cuma temenan sama Death Eyes?"

Mint mengernyit. Belakangan dia memang hanya bermain dengan Death Eyes dan tidak pernah datang berkumpul dengan teman-teman klub cheerleader.

"Lo dapet informasi tentang orang itu dari sana ya, Sya."

"Pantes aja informasi itu bocor. Selama ini lo udah jadi boneka badut mereka, Mint. Lo lakuin hal-hal jahat karena hasutan mereka. Dan apa lo nggak pernah mikir kalau di belakang, mereka lagi ngetawain lo?"

"Lo nggak tau apa-apa. Lebih baik lo urus aja Aatreya."

"Ini antara gue sama lo ya, Mint," Fuchsia mengepalkan tangannya kuat. "Kayak lo suka aja kalo gue bahas tentang milik gue yang udah lo rebut. Lo nggak berjuang apa-apa buat dapet perhatian dia. Seneng kan, lo?"

Mint paham maksud ucapan Fuchsia. Dia geram mendengarnya. Karena tidak dapat menahan emosi yang mulai meluap, Mint melayangkan tangannya hendak menjambak Fuchsia. Hal yang sama dilakukan Fuchsia, ikut melayangkan tangannya ke udara.

Sebelum ada pergulatan yang berlanjut, Gempar dan Aatreya berhasil datang tepat waktu untuk melerai.

"Mint, cukup." Gempar menarik Mint ke belakang. Namun, pacarnya itu berontak dan hendak maju lagi menghadapi Fuchsia.

Menyadari Mint tak terkontrol, Gempar langsung menggendongnya di atas bahu dan membawanya pergi dari sana sebelum semakin runyam.

"Gempar! Turunin!"

Gempar mengabaikan Mint, tetap menggendongnya menjauhi jangkauan siswa yang menjadikan mereka tontonan.

"Gempaaaaaar! Turuninnnn!" teriak Mint semakin kencang sambil memukul punggung belakang Gempar bertubi-tubi.

Gempar tetap mengabaikan Mint. Tidak peduli pukulan itu semakin kencang, Gempar hanya ingin membawa Mint menjauh dan berhenti menimbulkan masalah lain setelah beberapa waktu lalu bermasalah dengan Ivory.

✨✨✨

Jangan lupa vote dan komen kalian🤗🤗😘❤

Follow IG & Twitter: anothermissjo

Yuhuu salam dari Mint😍😍😍

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top