Chapter 2: Rahasia

Halo, maaf aku baru update. Soalnya hari senin kemarin aku sakit jadinya baru up🙏

Jangan lupa tinggalkan vote dan komen sebanyak-banyaknya❤️❤️❤️

🌠

🌠

🌠

🌠

Makan malam hari ini seperti biasa. Mint menikmati santapan yang dibuat khusus koki rumah. Keluarganya bukan dari kalangan biasa. Mereka bisa membeli apa pun termasuk meminta koki ternama sekalipun untuk menjadi koki rumahan seperti sekarang.

"Gimana sekolah kamu, Silver? Baik?" Lukman Jayantaka, sang kepala keluarga, membuka obrolan.

Silver menarik senyum. "Baik, Pa. Semuanya masih sama."

"Bagaimana ekskul futsal kamu? Ada turnamen apa yang mau diikuti?"

"Kejuaraan antar beberapa sekolah swasta sih, Pa. Pemenangnya nanti bisa ketemu sama pemain sepak bola terkenal itu, Sangkara Sastrorejo."

"Wah... hebat. Papa yakin kamu bisa menang. Papa bangga sama kamu, Nak." Lukman melempar senyum sambil memotong daging steak miliknya.

"Pa, aku rangking lima paralel, lho!" serobot Mint dengan ceria.

"Oh, gitu." Lukman tampak tidak peduli, mengalihkan pandangan pada putranya yang lain. "Gimana pekerjaan di parlemen, Histerio?"

"Baik, Pa. Ada masalah sih tapi bisa diatasi. Terkait undang-undang yang mau disahkan itu. Papa pasti udah baca beritanya," balas Histerio Jayantaka, kakak pertama di keluarga ini.

"Kalau kamu gimana, Ver? Proyek bangunan yang dikerjakan udah sampai tahap mana?" tanya Lukman pada putranya yang lain.

"Sebentar lagi selesai, Pa. Nanti Papa datang ya pas acara grand opening. Pasti diundang juga sama Pak Juan," jawab Verbani Charlo Jayantaka, kakak kedua Mint dan Silver.

"Pasti. Papa akan datang." Lukman tersenyum bangga.

Mint memerhatikan ayahnya mengajak bicara ketiga kakaknya. Sementara ucapannya hanya ditanggapi seadanya. Ayahnya memang tidak pernah peduli. Sekuat apa pun Mint mencoba meluluhkan hati ayahnya yang sedingin es itu, ayahnya selalu mengabaikannya. Ayahnya hanya peduli pada ketiga anak cowoknya. Dada Mint nyeri.

"Pa, kenapa Papa nggak pernah nanya kabar dan keseharian, Mint?" Mint bertanya seraya meletakkan alat makannya di meja dengan kasar. Kesal.

"Bukannya tadi kamu udah bilang?" jawab Lukman santai.

"Papa cuma bilang; 'oh, gitu'. Apa nggak ada tanggapan lain? Kenapa semua yang ada di sini ditanyain kecuali Mint?"

"Mint, itu cuma perasaan kamu aja. Papa tadi udah respons kok, Nak," sela Maya Rosadi Liora, ibu tirinya Mint.

"Iya, Mint. Itu perasaan kamu aja. Papa jawab kok tadi," sela Verbani.

Mint mengepal tangannya kuat-kuat di bawah meja. Dia bangun dari tempat duduknya. "Kalo Papa nggak mau punya anak cewek, seharusnya Papa nggak perlu buat anak terus-terusan. Jadinya Mint nggak perlu lahir ke dunia ini. Papa cuma peduli sama mereka bertiga. Tapi Papa nggak pernah nanyain soal Mint."

"Apa di sekolahmu nggak diajarin sopan santun? Berani sekali kamu bicara seperti itu sama Papa." Lukman menatap tajam, menunjukkan ketidaksukaan yang amat jelas.

Mint menahan diri, berusaha tenang sekuat tenaga, tapi tidak bisa. "Mint benci sama keluarga ini. Mint benci sama Papa."

Kemudian, Mint berlari pergi meninggalkan ruang makan. Tak ada sedikitpun Lukman mengejar. Ketika Silver berdiri dari tempat duduknya, Lukman memintanya agar duduk kembali.

Mint berlari menuju kamarnya, lalu mengunci pintu. Tubuhnya merosot jatuh, air matanya berurai. Mint sedih. Sejak kecil dia selalu berusaha menyenangkan ayahnya bahkan berusaha menjadi putri yang dapat dilihat ayahnya. Namun, ayahnya tidak pernah memberi timbal balik yang baik. Ayahnya tetap mengabaikan. Dia yakin ayahnya sangat membenci anak cewek. Dia pernah dengar kalau anak cewek akan sulit menduduki posisi yang biasa diisi oleh anak cowok.

Mint benci ayahnya mengutamakan pemikiran itu. Mengabaikan dia hanya karena dia cewek. Memangnya dia tidak mampu menduduki posisi direktur yang ayahnya miliki? Tentu dia bisa. Bukan hanya kakaknya saja yang mampu. Dia pun bisa.

"Ini nggak adil...," Mint bergumam pelan sambil mengusap air matanya.

🌠🌠🌠

"Rumah nenek jauh amat," protes Gempar.

Butuh waktu satu jam bagi Gempar untuk datang ke rumah neneknya. Ada acara yang diselenggarakan di sana. Sejujurnya Gempar malas, tapi apa boleh buat.

"Kamu nih protes mulu kayak netizen," balas Yana Barani, ibunda tercinta Gempar.

"Contoh dong kakakmu. Dia diam aja," sambung Jaron Barani, ayahanda tercinta.

Gempar melirik kedua kakaknya, Gegan Imanuel Barani dan Gerling Beebinka Barani. Kedua kakak kembarnya itu tampak tidak peduli. Lebih tepatnya mereka sibuk mendengarkan musik dan main game.

"Nanti ada Kak Mila nggak, Pa?" tanya Gempar.

"Ada. Kakaknya Mila juga pulang dari luar negeri," balas Jaron.

"Bagus deh." Gempar bernapas lega. Setidaknya dia dekat dengan kakak sepupunya yang bernama Mila ketimbang sepupu yang lain.

"Ada Saga, Era, Stigma, Expan, Vicky, Dita, Arina, Reta, dan masih banyak lagi nanti. Mereka semua datang," tambah Jaron.

"Iya." Hanya itu yang Gempar katakan. Dia tidak mau mengatakan apa-apa lagi selain mengamati pemandangan di sekitar.

Mobil yang dikendarai ayahnya sudah memasuki kawasan perumahan elite. Rumahnya besar-besar seperti rumah yang dia tinggali. Gempar sudah tidak kaget. Dia bahkan tinggal di mansion mewah waktu di luar negeri.

Selagi melihat sekeliling, dia mendapati pemandangan di sebelah kanannya. Pada saat yang sama mobil yang ditumpanginya berhenti. Dia menunggu kakak-kakaknya keluar karena dia duduk di jok paling belakang.

Gempar melihat seorang cewek keluar dari rumah mewah bertingkat tiga bersama tiga cowok dan seorang pria paruh baya. Bukan cewek biasa melainkan cewek yang membuatnya malu kemarin di kantin. Mint.

Dia memerhatikan Mint menyodorkan syal rajut berwarna biru kepada pria itu, yang dia duga ayahnya. Namun, pria itu mengabaikan dan memeluk tiga cowok bergantian. Mint diabaikan seolah tidak ada di sana. Raut wajah ceria Mint berubah sedih dalam sekejap. Bahkan saat mobil yang ditumpangi melaju, tak ada sedikitpun pria itu melihat Mint atau mengusap kepalanya. Sikapnya sangat dingin.

Tak lama setelah mobil pergi, Mint terlihat menunduk sedih sambil meremas syal di tangannya.

"Kamu nggak mau turun? Mau diem di dalam mobil aja?" tegur Yana.

Gempar tersentak kaget. Dia mengalihkan pandangan pada ibunya dan tersenyum kecil. "Iya, Ma. Ini mau turun."

"Lamunin apa?"

Yana mencoba mencari tahu, tapi Gempar berhasil menghalau ibunya dan menggenggam tangannya.

"Ayo, masuk, Ma."

"Mama curiga kamu melamun yang jorok-jorok. Seumuran kamu kan hobinya mikir yang aneh mulu."

"Nggak, Ma. Mending mikirin Mama."

"Hilih... bisa bener gombalnya."

Gempar tertawa kecil, lalu menarik ibunya agar masuk ke dalam rumah neneknya. Beberapa langkah setelah menjauhi mobil, Gempar menoleh ke belakang melihat rumah mewah yang berhadap-hadapan dengan rumah neneknya. Dia bisa saja salah, tapi tidak mungkin Mint masuk ke rumah orang. Sosok Mint sudah menghilang dari sana.

Bayangan tadi akan perlakuan pria itu pada Mint membuatnya merasa kasihan. Diabaikan seperti itu pasti menyakiti hati Mint.

🌠🌠🌠

Gempar baru saja akan menyalakan mesin motornya. Namun, dia melihat ban motornya kempes. Dia lihat motor lain baik-baik saja. Kenapa punya dia doang yang kempes? Seakan tahu ini ulah siapa, dia hendak menghampiri sang pembuat onar. Belum sempat melangkah, sosok Mint muncul dan naik ke atas motor gede yang diparkir tepat di samping motornya.

"Kasian banget sih ban motor lo kempes." Mint tersenyum miring. "Butuh uang nggak buat pulang?"

"Ini pasti ulah lo, kan?" tuding Gempar.

"Fitnah itu lebih kejam dari pembunuhan, lho! Jahat banget sih nuduh cewek sebaik gue." Mint memasang wajah pura-pura sedih.

"Sakit lo ya."

"Sakit? Gue sehat kok." Mint tertawa kecil, kemudian turun dari motor. Detik berikutnya dia berdiri di hadapan Gempar dan memasukkan permen lolipop yang baru saja diemutnya ke dalam kantung baju Gempar. "Permennya hadiah buat lo biar nggak sedih. Dadah, Menggemparkan."

Gempar masih bisa bersabar. Kelakuan cewek yang satu itu memang... ah, sudahlah. Kalau melihat bagaimana Mint sedih kemarin rasanya dia menyesal sudah merasa kasihan. Cewek kayak Mint tidak perlu dia kasihani.

"Dikerjain lagi, Bro?" tanya Palitan.

"Iya."

"Bener-bener itu bocah. Kekanakan bener."

Pagi ini Gempar dikirimi surat oleh Mint di bawah mejanya. Di sana tertulis; Hai, Gempar Gemparan. Siap nerima hadiah dari gue, kan?

Dia pikir Mint bercanda. Ternyata memang serius. "Mint benci sama apa sih? Lo tau nggak?" tanyanya pada Palitan.

"Setau gue nggak ada. Dia nggak pernah kelihatan takut sama apa pun, Bro."

"Beneran?"

"Eh, ada deh. Kelihatannya nggak semua orang tau. Tapi gue sama Sastra pernah lihat dia takut sama kucing."

"Kucing?" ulang Gempar.

"Iya. Waktu itu gue lihat Mint ngacir setelah lihat kucing. Kenapa nanya-nanya, Par?"

"Nggak apa-apa."

Gempar akan berikan kejutan untuk Mint. Lihat saja nanti.

🌠🌠🌠

Jangan lupa vote dan komen kalian😘😘😘🤗

Follow IG & Twitter: anothermissjo

Uwu Gempar😍😍😍 cakep bener jodoh orang😍🤭

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top