Chapter 18: Sisi Lain

Yuhuu update! Aku mau tamatin cerita ini dalam waktu dekat, jadi mungkin aku update ketinggalanku minggu ini😂 yang lain udah chapter 20-an ke atas :")

Yuukkk vote dulu baru komen sebanyak-banyaknya🤗🤗🤗❤

Siapa yang rindu Mint - Gempar? 😍😍

Mint mengamati murid-murid yang bermain basket saat jam istirahat. Tidak seperti hari-hari biasanya, Mint duduk sendirian di gimnasium. Mint menonton pertandingan yang berlangsung.

"Mimin!"

Panggilan kencang dan tidak asing itu berasal dari samping. Mint menoleh ke sumber suara yang menampilkan David.

"Apa?" balas Mint jutek.

"Jutek banget sih, Mint." David pura-pura sedih dan duduk di sampingnya. "Belakangan gue panggilin tiap lo sama temen-temen toxic, tapi dicuekin."

Mint tidak mengabaikan kalimat David yang satu itu. "Ada apa nyamper?"

"Nggak ada apa-apa cuma mau nemenin lo merhatiin cogan-cogan di sini. Ada tipe lo nggak?" tanya David sembari melihat pada kumpulan cowok-cowok bertubuh tinggi yang tengah bertanding bola basket. Di antara banyaknya cowok yang ada terdapat sosok yang sudah tak asing. "Oh, lo merhatiin Gempar?"

"Nggak. Masih banyak yang bisa diperhatiin."

Mint memang memerhatikan Gempar. Hanya saja dia tidak mau mengakui karena takut David, si mulut besar itu, menciptakan gosip yang bisa menggemparkan sekolah.

"Mana ada yang ganteng, Mint. Gempar udah cocok sama lo deh," kata David.

"Lo berisik banget." Mint mendelik tajam.

David nyengir. "Maaf, Bu Bos. Galak banget. Cocok jadi tokoh utama novel bos galak lo, Mint."

"Iya, iya, terserah lo." Mint memerhatikan pertandingan sengit itu. Gempar kelihatan keren. Well, Mint baru sadar Gempar sekeren itu. "Gimana sama Ninda?"

"Baik, Mint. Gue sama Ninda lagi pedekate. Kita nyambung gitu. Ini berkat lo, Mint. Dia merespons gue dengan baik," jawab David sambil senyam-senyum. Suaranya menyiratkan rasa senang yang jelas.

Mint menoleh sekilas mengamati raut wajah David begitu mendengar jawaban yang diselipi rasa senang itu.

"Syukurlah. Jagain Ninda baik-baik. Jangan sakitin dia kalo lo nggak mau tangan lo patah." Mint memperingatkan.

"Santai, Mint. Gue nggak akan nyakitin dia. Deketin aja susah payah, masa gue sakitin? Kurang ajar dong namanya."

"Bagus deh otak lo jalan."

"Buset... ketus bener." David geleng-geleng kepala. Pandangannya tertuju pada Mint sekilas sebelum akhirnya ikut menonton pertandingan basket. "Mint, gue sebenarnya nggak berhak ikut campur tentang siapapun yang berteman sama lo. Tapi, kenali mana teman dan lawan. Terkadang nggak semua teman baik."

"Maksud lo teman-teman gue nggak ada yang baik?" tembak Mint.

"Kurang lebih begitu. Gue nggak mau judge siapa aja yang baik dan nggak. Biar lo menilai sendiri. Kalo dia baik, dia nggak akan membuat lo menjadi orang yang jahat. Ya, kalo jahat sendirian aja, nggak perlu ngajak."

"Kasih gue contoh."

"Gini... gue ngerokok nih, Gempar nggak ngerokok. Sebagai teman yang baik, gue nggak akan maksa-maksa Gempar atau cekokin dia rokok. Gue menghargai keputusan Gempar untuk nggak merokok. Kalo gue jahat, gue akan bujuk-bujuk Gempar bahkan cekokin dia rokok. Ya, ibaratnya gue mengubah Gempar menjadi seseorang yang bukan dia. Terlepas itu maunya Gempar juga atau bukan, tapi gue orang pertama yang nyuruh dia ngerokok. Paham, kan, Mint?"

"Paham kok," sahut Mint cepat.

"Ya, itu aja sih, Mint. Gue cuma mau bilang itu sama lo." David menepuk pundak Mint pelan. "Jangan merasa gue mencampuri ya, gue cuma mau ngomong doang. Soalnya...." David tidak melanjutkan kalimatnya.

"Soalnya kenapa?" tanya Mint.

"Ah, nggak, deh. Takut digaplok sama lo."

"Bilang aja."

"Jangan marah ya, Mint. Jangan dipukul juga." David menggeser posisinya menjauhi Mint. Takut kena pukul. "Gue merasa semakin ke sini lo meresahkan. Lo lebih sering labrak orang dan jahat udah nggak ketolong. Gue sama Ninda kayak kehilangan Mint yang masih punya rasa empati sama orang."

Mint diam tak menjawab. David sudah panik duluan sampai bangun dari tempat duduknya karena Mint diam saja.

"Mint, lo nggak mau mukul, kan? Maaf nih," tanya David panik.

Mint menggeleng. "Duduk. Gue nggak marah kok."

David kembali duduk dan bernapas lega. "Syukurlah gue nggak digaplok pentolan sekolah."

Mint diam tak mengatakan apa-apa. David kembali bersuara. "Gue nggak tau ini bakal mengubah pikiran lo atau nggak, Elva nggak melakukan hal itu, Mint. Dia nggak tau kenapa bisa blognya ada tulisan kayak gitu. Elva sampai sumpah segala. Gue bukan belain, tapi apa lo yakin Elva melakukan itu? Setega itu setelah lo nolongin dia? Dia berhutang nyawa sama lo jadi gue yakin sepenuhnya dia nggak mungkin sejahat itu. Walau gue belum mengenal Elva sepenuhnya, tapi gue tau orang seperti dia lebih tulus saat temenan."

Mint diam selama beberapa saat, menyandarkan punggungnya pada batas tempat duduk.

"Gue benci melakukan hal-hal yang gue lakukan, tapi kalo nggak ngelakuin, mereka akan meremehkan gue. Mereka akan bilang gue ini payah, takut, dan lembek. Gue nggak suka dengernya," ucap Mint tiba-tiba.

David sempat bingung dengan kata-kata yang diucapkan Mint. Namun, dia akhirnya mengerti.

"Sampaikan maaf gue buat Elva. Bilang sama dia, tunggu sebentar lagi. Gue akan keluar dari neraka." Mint menoleh pada David dan menyunggingkan senyum kecil.

David mengangguk sambil tersenyum. "Omong-omong, Gempar mengkhawatirkan lo. Dia nanyain kenapa lo mengabaikan dia. Ini pertama kalinya gue jadi tempat curhat."

"Bilang sama dia, gue masih hidup dan belum diusir balik ke neraka."

David tertawa geli. "Haha... bisa aja lo, Mint."

Tak lama kemudian, ada Gempar datang menghampiri. David menyodorkan tisu pada Mint, yang kemudian dengan tiba-tiba Mint bangun dari tempat duduknya.

Mint menyeka air keringat yang mengucur membasahi wajah Gempar. Selagi Gempar terkaget-kaget, David senyam-senyum menjadi saksi kejadian itu.

"Hiw! Bau-baunya kapal gue bakal berlayar nih," goda David jahil.

"Congrats lo menang." Mint menggamit tangan Gempar dan meletakkan bekas tisu di telapak tangannya.

Kening Gempar berkerut samar. "Lo sehat? Kemarin-kemarin lo jauhin gue. Sekarang lo bersikap kayak gini."

"Anggap hadiah atas kemenangan tanding basket. Gue lagi baik," jawab Mint seraya merapikan rambut Gempar yang berantakan.

David senyam-senyum memandangi keduanya. "Duh, gue nonton ftv bagian mana gemesin gini?" gumamnya pelan.

Gempar tidak bisa menebak Mint. Sikap perempuan itu benar-benar tidak bisa diprediksi sama sekali.

"Ayo, kita ke kantin, David," ajak Mint.

"Yoook! Ajak Gempita nggak nih?" sahut David.

"Nggak usah."

Ketika Mint akan melangkah, Gempar menahan pergelangan tangannya. Mint terpaksa berhenti dan menoleh ke belakang.

"Balas chat gue. Jangan dicuekin lagi," pinta Gempar.

"Lo bukan pacar gue jadi nggak masuk dalam daftar orang yang gue prioritaskan." Mint membalas dengan senyum kecil.

"Kalo gitu jadiin gue pacar lo."

David memekik kaget. "Ya, ampunnnnn! Mint buruan terima!"

Mint menurunkan tangan Gempar dari pergelangan tangannya. Sambil tetap tersenyum kecil, dia membalas, "Pacaran sama gue nggak seindah cerita novel teenfict lainnya. Mungkin lo akan menderita atau semakin membenci gue."

"Kalo membuat gue menderita bisa membuat lo bahagia, gue rela. Asalkan lo nggak sedih sendirian." Gempar menatap Mint dengan serius. Suaranya turut mendukung keseriusan itu.

"Asli, gue kayak nonton mini series ala Mint dan Gempar," gumam David dengan pelan. "Gemes! Ah, elah! Mau cerita sama Ninda ah nanti."

Mint tidak menanggapi dan pergi berlalu begitu saja. David kesal karena tidak ada lanjutannya.

"Ikut atau nggak, terserah lo, David. Gue duluan," teriak Mint.

"Eh, eh, ikut!" sahut David kencang. Dia melihat Gempar sebentar dan menepuk pundaknya. "Berjuang lebih keras lagi, Bro. Gue dukung! Semangat!" Lalu, dia berlari cepat menyusul Mint.

Gempar menurunkan pandangan melihat gumpalan tisu yang ada di tangannya. Ternyata meraih Mint memang sesulit itu. Meski begitu, ada senyum yang tertarik menghiasi wajah Gempar.

✨✨✨

"Gimana hari ini, Silver? Sebentar lagi ujian. Kamu udah siap-siap?" Lukman bertanya di sela kegiatan makan malam. Setelah bertanya pada dua putra yang lain, dia bertanya pada Silver.

"Baik, Pa. Aku udah siapin catatan juga untuk dipelajari," jawab Silver tenang.

"Bagus. Papa doakan nilai kamu memuaskan." Lukman tersenyum lebar saat menatap putranya.

Mint sudah terbiasa dengan segala sikap bodo amat Lukman padanya. Anak-anak yang lain kebagian pertanyaan yang sama tentang hari-hari mereka dan diberikan senyum lebar sang ayah, tapi Mint hanya diam dan menikmati makan malam.

"Setelah lulus, Mint mau kerja," ucap Mint.

"Eh? Kerja gimana maksud lo, Mint?" tanya Silver.

Mint menjawab, "Mau kerja jadi apa aja yang nerima lulusan SMA. Gue mau cari uang sendiri buat biaya kuliah."

"Kok ngomong gitu, Mint? Ada Papa yang biayain lo. Buat apa capek-capek kerja? Lebih baik fokus kuliah yang bener," sela Histerio.

Mint tertawa pongah. "Belajar yang bener? Gue udah belajar yang bener dan dapat ranking paralel walaupun belum nomor satu. Tapi nggak ada satu pun yang memberikan selamat. Gue nggak pernah ditanyain hari-hari gue di sekolah. Kalian menganggap gue manusia atau setan sih? Apa di mata kalian gue cuma numpang di sini?"

"Mint, cukup!" seru Verbani.

"Kenapa?" Mint menarik senyum miring. "Mau bilang gue kurang ajar? Iya, gue kurang ajar. Selama ini gue diem aja jadi anak manis yang nggak dianggap. Kalo kalian izinin, gue mau pergi dari rumah ini."

Belum sempat ada yang menanggapi, Mint menambahkan, "Oh, gue lupa. Ini bukan rumah. Ini neraka."

"Mint! Cukup! Lo keterlaluan!" Histerio membentak dengan suara yang cukup keras.

"Oh, gue keterlaluan? Gimana dengan kalian? Apa nggak keterlaluan nggak peduli sama kehadiran gue?" Mint bangun dari tempat duduknya. "Udah nggak selera makan. Selamat menikmati makan malamnya. Kalian pasti lebih suka makan tanpa kehadiran Mint yang kurang ajar ini."

Mint beranjak dari sana. Baru beberapa langkah, dia mendengar suara ibu tirinya.

"Mint," panggil Maya. "Duduk, Sayang. Kita makan...." Maya tak melanjutkan kalimatnya setelah Lukman menyentuh lengannya.

"Kamu mau pergi dari sini? Silakan. Kuliah bayar sendiri juga silakan. Coba aja. Bisa apa sih kamu dengan sikap arogan kayak gitu? Memalukan," ucap Lukman.

Mint mengepal tangannya. Air matanya mulai mengembang. Tahan, tahan. Dia harus menahan dirinya supaya tidak terlihat lemah di depan ayahnya.

Berpura-pura tegar, Mint berbalik dan menatap ayahnya. "Oke. Mint akan pergi dari sini nanti. Mint mau cari tempat yang tepat. Silakan nikmati kehidupan ini tanpa Mint. Kalian pasti senang."

Setelah itu Mint langsung pergi menuju kamarnya. Mint mengunci kamarnya rapat-rapat. Dia masuk ke dalam kamar mandi dan duduk di dalam bathtub. Di sanalah Mint menangis terisak-isak.

✨✨✨

Jangan lupa vote dan komen kalian😘😘😘🤗❤

Anyway sejauh ini cerita Mint menurut kalian gimana sih? Aku sempet merasa cerita ini bukan like-able karena sifatnya Mint😂😂

Follow IG & Twitter: anothermissjo

Aw aw Gemparku😍😍😍 eh, Gempar-nya Mint😏

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top