Chapter 15: Hal Yang Diketahui

Yuhuuu update lagi ^^

Yoook vote dulu baru komen sebanyak-banyaknya😘😘

#Playlist: Kassy - Listen To This Song



"Mint! Mint!" 

Suara berisik itu memaksa Mint menoleh saat hampir menaiki anak tangga. 

"Apa?" sahutnya singkat setelah melihat Lana di belakangnya. Ada pula Helena yang berdiri di samping Lana. Kalau keduanya sudah muncul pasti ada sesuatu yang penting.

"Mint, lo tau nggak sih kalau Elva bikin cerita buruk tentang lo di blog milik dia?" mulai Lana. 

"Cerita apa?" tanya Mint.

"Dia nulis kalo di sekolahnya ada tukang bully namanya Mint. Tapi nggak cuma itu, dia tulis artikel kalo lo tidur sama om-om. Ada lagi tulisan lain yang harus lo baca selain dua hal itu," jawab Lana memberitahu. 

"Masa dia nulis kayak gitu?" Mint menatap tidak percaya. 

"Gue tau lo nggak akan percaya. Lihat nih buktinya. Gue sampai print segala." Lana menyenggol bahu Helena untuk menyodorkan kertas yang dipegang temannya itu. "Lo harus baca, Mint. Gue emosi lihat dia curhat di dalam blognya kayak gitu. Gue nggak habis pikir deh. Padahal lo udah baik banget sama dia tapi ternyata dia busuk."

Mint mengambil kertas yang diberikan Helena, kemudian membaca tulisan yang di-print itu. Mint membaca satu per satu tulisan yang terpampan dalam blog milik Elva. Mint bukan hanya kesal karena dibilang tidur sama om-om, tapi ada hal lain yang lebih memicu emosinya. Mint meremas kertas itu sampai lecak.

"Kalo lo masih nggak percaya, nih gue bukain blog punya Elva." Lana menyodorkan ponselnya setelah membuka laman website yang dikunjungi. "Lihat betapa bitch perempuan itu. Gue kesel banget sama dia."

Mint melirik layar ponsel Lana dan ternyata tulisannya memang ada di sana. Lana dan Helena tidak mengada-ngada. Kesal melihat laman website blog milik Elva terpampang nyata di depan mata, Mint memukul tangan Lana sampai ponselnya jatuh. Emosi Mint memuncak. Pagi-pagi sudah ada yang mencari masalah dengannya. 

Tanpa mau berlama-lama, Mint bergegas naik ke lantai dua. Bertepatan dengan tibanya Mint, ada Elva dan Ninda yang sedang berdiri di depan kelas. 

"Eh, Mint. Tumben datang pagi," sapa Elva sambil tersenyum.

Mint tidak menjawab dan menampar wajah Elva dengan keras. "Dasar sialan! Gue pikir lo baik ternyata pura-pura baik."

"Mint!" seru Ninda kaget. "Kok lo tampar Elva sih?" 

"Dia pantes gue tampar." Mint melempar kertas yang dia remas ke wajah Elva. "Gue nggak pernah jelek-jelekin lo, tapi lo melakukan hal yang bikin gue muak."

Ninda mengambil kertas yang jatuh di lantai. Membuka lembar kertas itu, Ninda menunjukkan pada Elva. "Kok lo bikin kayak gini sih, El? Kenapa?" tanyanya tidak percaya.

Belum sempat Elva memberi jawaban, Mint sudah menoyor kepala Elva sampai tubuh cewek itu nyaris jatuh karena kehilangan keseimbangan kalau tidak ditolong Ninda.

"Cukup, Mint! Jangan main tangan dong!" tegur Ninda seraya menarik Elva sampai berdiri di belakang punggungnya. "Kita bisa bahas ini baik-baik. Mungkin ada salah paham."

"Gue terima lo ngatain gue apa pun, tapi jangan bawa-bawa keluarga gue. Mau lo bilang gue pelacur pun, gue nggak masalah." Suara Mint menyiratkan kekesalan. Wajahnya semakin dingin dan tidak menunjukkan belas kasihan.

Tiba-tiba ada dehaman keras yang terdengar. Mereka bertiga melihat Nita, guru BK di sekolah, menatap tajam.

"Mint, ikut saya ke kantor," tegur Bu Nita dengan suaranya yang tegas dan galak. "Elva juga."

Tanpa membantah, Mint mengikuti Bu Nita dari belakang, lalu disusul Elva setelahnya.

✨✨✨

Setelah cukup lama berada di ruang BK, akhirnya Mint keluar. Ayah Mint dan Ibu Elva datang ke sekolah segera setelah guru BK menghubungi. Guru BK menindak tegas tindakan Mint karena asal main tangan. Mint diberi peringatan, jika satu kali lagi melakukan tindakan seperti yang dilakukan pada Elva, maka Mint akan diskors.

Mint mengekori ayahnya sampai parkiran mobil. Mint berhenti setelah ayahnya berdiri di samping mobilnya. Mint menaikkan pandangan memandangi ayahnya yang memasang wajah kesal, marah, dan banyak ekspresi yang sulit Mint artikan. 

"Kamu mau ngapain sih nampar-nampar orang di sekolah? Kamu mau jadi jagoan? Apa menurut kamu itu hebat?" omel Lukman. 

"Papa nggak tau yang sebenarnya," balas Mint.

"Papa nggak mau tau. Kamu bikin malu! Papa donatur rutin di sekolah ini. Gimana kalau donatur yang lain dengar anak Papa suka main tangan? Mau ditaruh mana muka Papa?" Lukman meninggikan suaranya sampai terdengar setengah berteriak.

"Papa, kan, udah lihat apa yang ditulis Elva di blognya. Wajar dong kalo Mint marah? Mint nggak mau ada yang menjelek-jelekkan keluarga Mint."

"Wajar kamu bilang?" Lukman berdecak kasar. "Itu nggak wajar, Mint! Kamu bisa bahas baik-baik atau laporin sama Bu Nita. Kamu nggak perlu sampai mukul segala. Kalau tadi ibunya Elva nuntut kamu, Papa nggak akan nolongin."

"Papa baca nggak sih apa yang Elva tulis?" Mata Mint berkaca-kaca.

"Baca. Terus masalahnya di mana? Kalau nggak benar, buat apa kamu marah?"

Mint membuka lembar kertas yang diberikan Lana kepada ayahnya. "Papa bilang baca, kan? Papa nggak marah dibilang seperti ini?"

"Buat apa marah? Papa nggak malu karena nggak merasa. Seharusnya kamu malu karena udah nampar orang cuma karena kata-kata kayak gini." Lukman berdecak lagi.

"Seharusnya Mama kamu nggak mempertahankan kamu. Papa nggak pernah mau punya anak cewek karena bakal lebih nyusahin dari anak cowok. Ternyata benar. Kamu lebih menyusahkan dari kakak-kakak kamu. Kalau kamu nggak lahir, Mama kamu pasti masih hidup. Papa jadi mempertanyakan buat apa kamu hidup kalau kerjaannya seperti ini. Papa malu punya anak kayak kamu," lanjut Lukman penuh penegasan dalam setiap kalimatnya.

Kata-kata itu menusuk hati Mint. Dengan mata berkaca-kaca, Mint membalas, "Kenapa pas Mint lahir nggak dibunuh aja? Papa aja nggak pernah gendong Mint. Papa nggak pernah ada di setiap Mint lomba atau apa pun itu. Mint nggak pernah merasa punya ayah."

"Itu karena Papa nggak menginginkan kamu. Yang menyebabkan ibu kamu meninggal itu kamu." Lukman menunjuk wajah Mint. Suaranya tetap meninggi seperti sebelumnya. "Awas kamu sampai buat onar lagi di sekolah. Jangan bikin malu Papa."

Lukman masuk ke dalam mobil, meninggalkan Mint sendirian di pelataran parkiran. Mobil yang dikemudikan sopir pribadi itu berlalu dengan cepat. Tubuh Mint merosot jatuh dan telapak tangan mulai menutup wajahnya. Mint tidak mau ada yang melihat, maka dia menyembunyikan diri di antara mobil-mobil yang diparkir bersebelahan.

Mint menangis terisak-isak. Kertas yang dia pegang, dia lempar jauh-jauh. Andai Mint bisa memilih, Mint tidak ingin dilahirkan kalau memang ayahnya tidak bisa menerimanya. Mint juga tidak ingin ditinggalkan ibunya. Mint pasti akan meminta Tuhan untuk membuatnya meninggal saja dan membiarkan ibunya hidup.

Gempar hendak kembali ke dalam setelah mengambil jaket dari dalam bagasi motor, tapi batal karena dia melihat Mint dan ayahnya. Alhasil Gempar berjalan mendekati kedua orang itu dan mendengarkan semua percakapan mereka. Setelah mendengarkan percakapan penuh emosi dan kekesalan, Gempar merasa kasihan dengan Mint. 

Pelan-pelan Gempar berjalan mendekati Mint. Dia mengambil bulatan kertas yang berada tak jauh dari Mint. Penasaran dengan apa yang tertulis di dalam kertas itu, Gempar membuka lembar kertasnya dan membaca secara saksama.

Mint itu suka tidur sama om-om. Selain itu, papanya suka tidur sama wanita lain. Papanya Mint tuh playboy makanya sifat itu turun ke anaknya. Kelihatan deh bitch-nya Mint tuh turun dari siapa. Orang bapaknya aja begitu.

Gempar tahu bagaimana perasaan Mint. Kalau dia berada dalam posisi Mint, maka dia akan marah. Benar tindakan Mint salah, tapi tak seharusnya ayahnya Mint mengatakan kalimat seperti itu. Semakin Gempar dengar, isak tangis Mint semakin jelas. 

Gempar menutupi kepala Mint dengan jaketnya. "Kalo mau nangis jangan di sini. Orang-orang bisa lihat."

Mint menarik tangannya dari wajah dan mendongak dengan air mata yang membasahi pipinya. Gempar mulai berjongkok di depan Mint. Mata mereka beradu selama beberapa saat. Seiring tatapan yang beradu Gempar dapat melihat kesedihan Mint di dalam matanya. Mata yang menyembunyikan banyak rahasia itu mulai menunjukkan satu per satu rahasianya termasuk tangis yang tidak pernah Gempar lihat.

"Nangis aja sepuasnya. Gue pastiin nggak ada yang lihat," ucap Gempar.

Tangis Mint luruh kembali. Gempar tidak tega melihatnya hingga dia buru-buru menarik Mint dan membiarkannya bersandar di pundaknya. Gempar menepuk punggung Mint berulang kali untuk menenangkannya.

"Menangis bukan berarti lo cengeng atau lemah. Itu karena lo udah nggak bisa memendam lagi. Jadi nggak apa-apa menangis sebanyak-banyaknya," bisik Gempar. 

✨✨✨

Jangan lupa vote dan komen kalian😘😘😘🤗

Follow IG & Twitter: anothermissjo

Salam sayang dari Gemparrrrrr~~~😘😘

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top