BAB 4 : Yang ngebet mau nikah tapi nggak punya calon, tunjuk tangan!

"Iya?"

Faras menyenggol lenganku, kali ini cukup keras. Aku segera mengambil napas, mengedipkan mataku berulang kali dan berusaha melihat ke arah lain ... selain dia pokoknya.

"Mbak, jadi gimana itu?" bisikan Faras penuh tekanan. Mungkin dia gemas karena atasannya seperti sedang terkena hipnotis.

"Ah, iya ... konsep. Sebenarnya tujuan saya tetap mempertahankan konsep glamour, karena rival ONOOPO, yaitu XIAOMAY juga memakai tema yang sama. Bukankah orang akan membandingkan iklannya terlebih dahulu? Dan karena kami bekerja sama dengan fotografer andal, tentu tidak sulit mengambil foto yang jauh lebih baik dari XIAOMAY, kan?" Aku berusaha menatap lukisan di belakang Ersad, meskipun matanya seperti bicara, 'tatap mata saya ... tatap mata saya'.

Lagi, dia mengusap janggutnya lagi. "Hmm ... logika kamu ada benernya juga," sahutnya sambil membuka map dan membaca kembali konsep di dalamnya.

Aku meminta bloknot dari tas Faras. Di sana tertulis lengkap ide dasar dari pembuatan iklan ini. Meskipun aku berkeras dengan konsep glamour tapi konsep fresh juga tidak ada salahnya. Saat mengangkat kepala, aku langsung menghindari matanya. "Tapi ... menurut saya, kita bisa memadukan dua konsep itu. Glamour dan fresh. Lokasinya bisa di swimming pool hotel, sehingga kesan glamour-nya tetap terasa. Bagaimana?" tanyaku.

Dia berpikir sejenak kemudian mengangguk. "Memilih talent bagian produksi, kan?" Aku dan Faras serempak mengangguk. "Minta mereka cari talent yang berkarakter," sambungnya.

Tidak sampai lima menit sejak kami memutuskan deal dengan konsep yang baru, aku langsung pamit. Bahkan cenderung tergesa-gesa saat berjalan menaiki tangga menuju halte TransJakarta.

"Mbak ... Mbak ... tungguin." Faras setengah mati berusaha menyejajarkan langkahku.

"Buruan deh, kita mesti meeting ama tim," kataku tanpa menoleh ke belakang.

"Mbak, lo nervous kan, di depan Pak Ersad tadi? Ya, kan?" Meski terengah-engah ternyata bocah ini kepo sekali.

Aku berbalik. "Iya! Gue emang grogi, emang lo nggak? Gue baru nyadar kalau dia ternyata sangat-sangat karismatik, suaranya gurih meskipun pedes. Dan lo tahu? Itu tipe laki-laki idaman gue!"

Faras terbahak, bahkan sampai jongkok memegangi perutnya. "Gue suka gaya lo, Kakak...." Dia bangkit dan berlari ke arahku.

***

Banyak hal dalam hidupku yang tidak berjalan sesuai rencana awal. Contoh paling gampang adalah pernikahan yang batal. Tapi sering kali itu membuatku lebih kreatif. Berpikir bahwa masih banyak jalan lain yang bisa kutempuh. Sering gagal sama dengan sering belajar. Kalau kata Kelly Clarkson, What Doesn't Kill You Makes You Stronger. Hal itu pun kujadikan kata-kata mutiara dalam hidup. Jadi, walau laki-laki sialan seperti Arik membuatku patah hati, tapi tidak menyurutkan langkahku untuk berjuang lagi. Menangislah sepuasnya untuk hari ini, but life must go on.

Notifikasi e-mailku berbunyi, ada pesan masuk dari situs cocokcocokan.com. Sekilas keningku berkerut, rasanya sudah hampir seminggu aku tidak mencoba membuka situs ini. Bukan karena trauma akibat bertemu orang seperti Rake, tapi meeting demi meeting membuatku sedikit melupakan situs mencari jodoh itu.

Hai J

Begitulah isi pesan yang masuk. Username-nya GAGAHBERANI. Di situs ini kami memang diperbolehkan memakai username. Biasanya setelah chatting cukup serius, barulah kami mengungkapkan identitas masing-masing. Aku sendiri memakai username MARIAMERCEDES, yang merupakan telenovela jadul kesayanganku.

Aku mulai membalas pesannya. Sebenarnya aku sedang memikirkan perkataan Hana untuk out dari situs ini. Dan aku memutuskan, GAGAHBERANI akan menjadi orang terakhir yang kubalas pesannya. Jika nanti bertemu dan kemudian hasilnya mengecewakan, aku akan berhenti mencari jodoh dari situs ini.

"Lagi?" Suara Hana terdengar dari belakangku. Dia pasti sudah melihat aku sedang chatting dengan seseorang dari cocokcocokan.com.

Aku berbalik. "Untuk terakhir kalinya. Setelah itu gue fokus cari jodoh di dunia nyata," jawabku kemudian melanjutkan chat.

Hana mengeluarkan erangan tidak percaya. "By the way, kata Faras, lo selama ketemuan ama Ersad nggak kedip, ya?"

Aku melirik Hana. "Ya kali! Kelilipan dong, mata gue."

"Jujur deh, ama gue, dia keren kan?" bisik Hana.

Tak bisa kupungkiri, Ersad memang penuh pesona. Laki-laki akan terlihat sangat seksi jika dia memiliki passion terhadap sesuatu. Dan Ersad luar biasa mengagumkan saat sedang memotret.

Aku bergumam menjawab pertanyaan Hana. Pura-pura tidak tertarik, padahal menunggunya memberi sebuah informasi.

"Dia masih single. Perjaka ting-ting, bo!" Saking antusias suaranya, aku melihat beberapa kepala muncul dari balik kubikel dengan tatapan ingin tahu dan kembali menghilang begitu tahu itu suara Hana.

Ku-minimize chatku dengan si gagahberani dan berbalik, kali ini langsung berhadapan dengan Hana. "Lo cicak di kamarnya? Atau kutu di rambutnya? Segitu tahunya dia masih perjaka...."

"Dia ini cukup populer di kalangan para sepupu. Beberapa dari mereka berusaha ngejodohin Ersad sama temennya. Hasilnya nol besar. Gue curiga, dia suka lekong." Kali ini suaranya hampir tidak terdengar.

Tubuhku menegak. Mataku mendelik. Hidungku kembang kempis dan bibirku mulai tidak keruan bentuknya. Rasa-rasanya, Ersad ini maskulin banget dan kalaupun dia dingin sama perempuan bukan berarti dia penyuka sesama jenis, kan?

"Eh, busyet ... kali aja cewek yang dikenalin memang nggak ada yang sesuai ama tipenya dia," sahutku sambil menoyor kepala Hana.

Hana terkikik, "Satu lagi, kalau lo ngebet banget mau nikah, Ersad kebalikannya. Dia pengen melajang seumur hidup!" Kemudian dia berlari kecil menuju kubikelnya.

Aku termenung menatap layar komputer. Sudahlah susah mencari pria yang sesuai, giliran ada, malah punya kecenderungan homo bahkan tidak mau menikah. Apes, apes....

***

Bisa dibilang aku kecewa dengan informasi yang diberikan Hana. Pikiranku sudah berkelahi sejak siang tadi, antara maju terus dan berusaha mendekati Ersad yang meskipun sejenis es batu namun karismatik. Atau menjauh saja karena menurut Hana, dia tidak tertarik dengan pernikahan. Di usia 33 tahun tentu saja aku sudah kebelet menikah, membayangkan mengurus suami dan anak yang lucu. Berubah bentuk jadi macan ternak alias mama cantik anter anak ke sekolah. Hal-hal seperti itu sudah terprogram jelas dalam pikiranku. Yang belum hanya calonnya.

Dengan langkah gontai aku masuk ke The Truth Café. Setelah tiga hari chatting, MariaMercedes dan GagahBerani sepakat bertemu. Namanya Emir. Saat aku bertanya soal usia, dia hanya menjawab cukup matang untuk menikah. Dia tidak memberi foto, sebagai gantinya, dia langsung memutuskan bertemu denganku. Biasanya aku baru bertemu setelah dua minggu chatting, namun kali ini hanya membutuhkan waktu tiga hari. Baguslah, aku juga tidak ingin membuang waktu lama-lama. Jika ini tidak cocok juga, aku memutuskan mendatangi Pak Ustadz dekat rumah dan minta tolong dicarikan pasangan ta'aruf.

Aku mengeluarkan ponsel dari tas, namun karena terburu-buru, dompetku terjatuh. Seorang pria membungkuk dan mengambilkannya untukku. Saat berdiri berhadapan, pria dengan kemeja denim itu menyerahkan dompet sambil tersenyum. "Ramlan?" dia mengulurkan tangannya untuk bersalaman. "Gue Emir."

Tatapanku terkunci di matanya. Dia pasti bukan seratus persen Indonesia. Matanya kelabu, dibingkai alis yang tegas, hidung bangir dan jawline yang pasti bisa membuat wanita mana pun mengaguminya. Laki model begini ngapain cari pacar di cocokcocokan.com, ya?

"Ramlan?" Dia memanggil nama belakangku sekali lagi.

Aku mengerjap beberapa kali sebelum menyambut jabatan tangannya. "Minori. Panggil Minori aja."

Saat dia menunjukkan tempat duduk, aku melihat sekilas baju yang kukenakan, celana jeans hitam dan sweater rajut berwarna biru. Bahkan aku tidak memoles ulang bedak dan lip balm. Dalam hati aku mengutuk keteledoranku, kalau saja aku tahu teman chatting-ku akan sekeren ini, sudah pasti aku akan berdandan maksimal.

Dia terlihat santai saat melihat menu dan sesekali menatapku yang saat ini nervous bukan main. "Minum apa?" tanyanya.

"Lychee tea...," jawabku.

Dia memanggil waitress dan memesan dua iced lychee tea.

"Ramlan, santai aja. Jangan tegang begitu."

Aku tertawa kecil mendengarnya memanggilku dengan nama belakang. "Lo bisa kan, panggil gue Minori."

Dia mengangkat bahu. "Gue suka nama Ramlan."

Sudah kuduga. Meskipun ganteng, manusia ini pasti aneh.

"Lo orang creative juga?" Aku mengalihkan pembicaraan.

Emir mengangguk, "Di stasiun TV swasta. Tapi gue baru resign. Ritme kerjanya nggak sepadan sama gajinya."

Aku langsung mengangguk setuju. Pekerja belakang layar macam kami ini, sudah seperti sapi perah. Bekerja tidak kenal waktu. Kadang tengah malam atau menjelang pagi baru selesai, namun pendapatan kami terbilang rendah.

"Trus lo pindah? Ke mana?" tanyaku.

Pesenan kami datang, setelah menggumamkan terima kasih, dia menjawab, "Gue belum bisa jawab, masih nunggu hasil interview terakhir."

Setelahnya, kami ngobrol selama hampir dua jam. Entah karena aku dan Emir satu bidang pekerjaan, atau memang karena dia asyik diajak ngobrol, aku sangat menikmati pertemuan sore itu. Rasanya seperti bertemu teman lama. Dan dia tetap memanggilku Ramlan, aku menyerah untuk melarangnya. Lagi pula mendengar seseorang menyebut namamu dengan caranya sendiri, rasanya menyenangkan.

"Jadi, kapan kita ketemu lagi, Ramlan?"

"Bergantung...." Aku berusaha jual mahal.

"Kalaupun lo nggak mau ketemu, gue pasti nemuin lo," tegasnya.

Hooo .... yang begini nggak mungkin aku lepas. Tidak masalah kalau Ersad tidak tertarik menikah, aku sudah punya calon baru!

Emir memanggil waitress untuk meminta tagihan, selain uang dia mengeluarkan member card The Truth Café dari dompetnya. Member card yang aku juga punya, uniknya The Truth Café tidak memakai nama untuk identitas, melainkan tanggal lahir. Jadi aku mengintip sedikit milik Emir untuk mengetahui tanggal ulang tahunnya. Aku tertegun, dan memicingkan mata untuk memperjelas tulisan pada kartu.

10 Desember 1995

Aku berusaha menelan ludah dengan susah payah. Di tenggorokanku seperti ada bakso sebesar bola tenis. "Kamu bahkan belum 25 tahun...." Suaraku terdengar lirih. Dan itu bukan pertanyaan, karena jawabannya sudah pasti.

Emir mengangguk. "Umur yang matang kan, untuk menikah," sahutnya santai.

Matang, kepalamu!

Aku bangkit dan menggumamkan terima kasih pada Emir kemudian secepat kilat berjalan menuju pintu keluar. Aku hanya mengingat wajah bingungnya saat melihatku pergi begitu saja setelah obrolan yang cukup seru sore itu. Hatiku seperti mendidih. Dia tahu usiaku 33 tahun. Biar kuperjelas, monyet ganteng di dalam tahu kalau wanita yang 8 tahun lebih tua darinya ini, sedang mencari jodoh. Dan dia duduk santai seolah-olah tidak ada masalah dengan itu. Bahkan sejak awal tidak memperjelas berapa usianya dan hanya bilang bahwa dia cukup matang untuk menikah.

Eh, semprul, 16 tahun juga udah mateng untuk menikah. Tapi ibarat buah, lo itu buah yang mengkel baru mau mateng, sementara gue udah kematengan, jelas?!

Emirsyah Safiq, OUT

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top