Bab 11. Logikaku, tidak sengaja bertemu = Jodoh
--Hula hula teman semua,
Rindu sekali lama nggak berjumpa. Semoga semua sehat dan baik-baik saja, ya. Aku membawa info bahwa Minori Mengejar Cinta insyaAllah akan terbit akhir Juni atau awal Juli. Penerbitnya masih sama, Elex Media Komputindo. Bertepatan dengan Minori terbit, Morning Breeze dan Railway in Love yang cetak lima tahun lalu, akan cetak ulang sekaligus ganti cover.
Nah, saat ini aku akan publish Minori yang versi editan. Tapi nggak full, dear. Kalau tertarik dan berminat, nanti beli versi cetaknya ya :)
Oiya mohon maaf lahir batin ya. Stay safe dan stay healthy :*
Love,
Vy
-----------------------------------------------------------------------------------
Sejak aku menyadari bahwa aku dan Emir dalam posisi yang sama, aku memilih diam. Lagi pula apa yang bisa kukatakan? Jangan mendekatiku atau jangan coba-coba melindungiku? Itu pasti menyakitkan. Karena ketika Ersad berkata jangan berharap terlalu banyak saja, aku sudah seperti ditampar bolak-balik. Jadi aku tidak akan berkata apa-apa. Masing-masing kami sudah sama dewasa untuk bisa memahami tanpa harus bicara.
Perjalanan dari villa menuju Kawah Putih tidak memakan waktu lama. Karena kami datang saat hari biasa maka kawasan wisata ini tidak terlalu ramai. Hanya ada beberapa pasangan yang sepertinya sedang foto prewedding. Hana terlihat sedang memberi arahan pada Brian dan talent.
Emir dan timku langsung mendekat dan mencari tahu apa yang bisa mereka bantu. Karena jika sudah turun di lapangan, sejujurnya tim kreatif tidak bisa membantu banyak kecuali ada konsep yang harus diubah. Kurapatkan jaket yang Emir pinjamkan dan memutuskan untuk melihat-lihat area sekitar. Beberapa orang tampak sedang melakukan photoshoot juga tidak jauh dari tempat kami.
Mataku menyipit saat melihat sosok yang kukenal. Ini serius? Setelah sejauh ini, aku malah harus bertemu Ersad di sini? Dia terlihat sedang berbicara dengan seorang wanita, tersenyum dan beberapa kali tertawa. Namun tentu saja itu hanya sesaat, karena dia kembali mengangkat kamera dan bekerja. Tubuh tinggi tegap atletisnya dibalut sweater hitam dan celana khaki. Seperti ada yang menuntun, kakiku melangkah ke arah Ersad.
Dia menoleh tepat saat aku berdiri di belakangnya. "Apa kabar?" sapaku.
Ersad terdiam, dia tampak terkejut namun segera menutupinya. "Baik. Kamu di sini juga?" Dia melihat sekitarku, mungkin mencari dengan siapa aku pergi ke sini.
Aku mengangguk. "Lagi photoshoot juga," sahutku sambil menunjuk ke arah Hana dan kawan-kawan. "Selesai jam berapa nanti?"
Ersad melihat jam tangannya, "Mungkin satu jam lagi. Ada apa?"
Aku pasti sudah gila, kan?
"Saya pengen ngobrol."
Aku memang sudah gila. Dia terdiam, namun kemudian mengangguk. "Saya free di atas jam lima sore. Kamu nginap di mana?"
Kusebutkan nama villa tempat kami menginap. Kemudian kami sepakat bertemu jam lima sore. Villa tempat Ersad menginap tidak jauh dari tempatku. Kalian tahu, melihatnya berdiri di sana, mengangkat kamera dan bekerja, membuat hatiku berkembang. Aku tahu tidak seharusnya berharap terlalu banyak. Tapi aku pun bukan tipe yang segera menyerah. Setidaknya Ersad harus tahu bahwa aku mengharapkannya.
"Itu Mas Ersad, kan?" Emir menghampiriku.
Aku mengangguk. "Gue masih ada urusan sama dia."
"Ramlan, sudahlah. Kalau kamu berharap dia akan mau menjalin hubungan serius sama kamu, itu nggak mungkin," rautnya terlihat kesal.
"Mir, kalau gue bilang ke lo untuk stop peduli ama gue, gimana perasaan lo?"
Emir mengernyit. "Nggak mau. Memang kenapa kalau saya peduli sama kamu?"
"Kalau begitu biarkan gue mencoba bicara dengan Ersad. Apa pun yang terjadi nanti, gue bisa melindungi diri gue sendiri." Aku berlalu meninggalkannya.
Aku jahat? Tidak. Aku hanya perlu merentangkan batas mana yang bisa Emir lalui. Saat ini aku dan dia hanya berteman. Bahkan umur pertemanan kami masih sangat baru, jadi dia tidak perlu menilai mana yang boleh atau tidak boleh aku lakukan.
***
Cuaca sore itu mendung. Rintik-rintik hujan mulai turun. Aku duduk di teras villa, sementara anak-anak lainnya duduk di serambi bagian belakang sambil bernyanyi dan bermain gitar. Hana hanya mendoakan agar Ersad tidak terlalu parah menyakitiku. Sementara Emir, dia diam mengunci diri dalam kamar sejak pulang dari Kawah Putih.
Sweater abu-abu dan celana hitam yang kukenakan rupanya tidak cukup melindungi dari udara dingin, beberapa kali aku gemetar saat angin berembus. Kubuka ponsel dan melihat Whatsapp dari Ersad bahwa dia akan segera tiba. Aku meringis, di atas pesan itu entah ada berapa pesan dariku yang sudah dibaca namun tidak dibalas. Kuakui harusnya kegigihan ini digunakan untuk menuntut ilmu atau mendulang prestasi, bukan malah mengejar jodoh seperti ini.
Range Rover hitam berhenti tepat di depan villa. Aku langsung beranjak menghampirinya. Ersad keluar dari mobil dengan wajah tanpa ekspresi.
"Mau ke mana?"
"Nggak tahu. Kamu tahu daerah sini?"
Dia menggeleng, menahan senyum kemudian masuk mobil tanpa berkata apa-apa padaku.
***
Di tempat yang menyajikan berbagai macam olahan kopi, Ersad memilih kopi hitam tanpa gula. Sambil duduk tanpa suara dan tanpa ekspresi, dia menyesap kopi hitamnya. Biasanya aku tidak menyukai pria yang terlalu pendiam. Namun kadang saat dewa cinta melepaskan panahnya, dia tidak pandang bulu. Aku ingat semasa sekolah dulu, aku paling benci dengan golongan anak pintar. Mereka cenderung sulit bergaul dan kurang asyik diajak berteman. Ironisnya, aku justru berpacaran dengan pemegang ranking satu di sekolah. Sejak itu, aku tidak lagi menetapkan standar untuk mencintai orang lain.
"Terima kasih sudah bawa saya ke rumah sakit waktu itu." Ersad memecahkan hening dan membuka obrolan. "Saya nggak menyangka bakalan drop di jalan."
"Nevermind, saya akan lakukan hal yang sama ke siapa pun yang saya kenal." sahutku sambil menuang gula ke cappucinno.
"Apa yang mau kamu obrolin?" tanyanya. Kakinya yang panjang disilangkan dengan santai. Dalam hati aku bertanya, bagaimana orang sedingin ini tidak terlihat kaku?
"Apa aja, saya pengen lebih mengenal kamu." Aku berterus-terang.
Dia bersandar. "Saya sudah bilang, jangan banyak berharap. Saya tidak berminat menjalin hubungan," tegasnya.
Aku tertawa kecil, "Kamu dingin banget, ya. Siapa bilang saya mau menjalin hubungan. Saya hanya ingin ngobrol."
Dia menyesap kopinya lagi kemudian menatapku. "Saya sudah tahu niat kamu. Kamu nggak perlu mengelak."
Kumajukan tubuhku, "Memang apa niat saya?"
Ersad diam, dia tampak ragu. "Kamu gagal menikah hampir setahun yang lalu." Jawaban yang meskipun tidak pas dengan pertanyaan, cukup membuat terkejut. Tubuhku menegang. Dia tahu dari mana? Hana tidak mungkin menyebarkan berita yang cukup pribadi seperti itu.
"Kamu bingung saya tahu dari mana?"
Aku mengangguk.
"Nama calon kamu Arik Satriansyah. Gagal nikah karena dia dapat beasiswa ke Kanada," ujarnya tanpa ekspresi. Seperti baru saja memesan beberapa menu makanan ke pramusaji.
"Untuk seseorang yang nggak tertarik menjalin hubungan apa pun dengan saya, kamu cukup banyak tahu." Aku berusaha menutupi keterkejutanku.
"Nggak sulit mencari informasi seperti itu." Ersad menegakkan duduknya. "Saya hanya ingin memperjelas, saya tidak tertarik dengan pernikahan ataupun hubungan serius. Kecuali kamu hanya ingin have fun." Dia mengangkat sebelah alisnya.
"Apa kamu bersikap seperti ini sama semua perempuan?" tanyaku.
Ersad mengangguk. "Kebanyakan dari mereka memang hanya mengharapkan hubungan senang-senang." Dia menghela napas. "Saya tidak ingin menyakiti siapa pun, maka dari itu, saya bicara seperti ini sejak awal. Tolong, jangan berharap apa pun, Minori," lanjutnya dengan penuh penekanan.
***
Kata-kata 'jangan mengharapkan apa pun' terus terngiang saat perjalanan pulang. Ersad sudah menutup pintu untukku. Kecuali aku hanya ingin bersenang-senang, dia tidak mengizinkan masuk. Seakan semua cerita dari Emir tadi menamparku keras. Peringatan itu seharusnya membuatku mundur, karena Emir sudah memberi contoh betapa sulitnya menghadapi Ersad. Namun setiap kuingat cerita dari Hana tentang masa kecil Ersad, hatiku langsung terperenyak. Luka yang sedemikian dalam, mana mungkin selesai dan sembuh dalam sehari. Ersad hanya tidak pernah tahu rasanya menjadi pusat dunia bagi seseorang.
"Sudah sampai," ujarnya singkat.
Aku hanya diam dan tidak beranjak keluar. Kali ini Ersad tampak tidak sabar, dia menghela napas berat. "Masih ada yang mau kamu bicarakan?"
"Kamu pikir aku akan menyerah?" tanyaku lirih.
"Demi Tuhan, Minori. Carilah laki-laki lain yang tidak akan membuatmu kecewa." Dia menatap kesal padaku.
"Kamu hanya belum pernah tahu rasanya menggantungkan hati pada seseorang. Ersad, cinta tak sekejam yang kamu bayangkan." Suara kami saling beradu dalam keheningan mobil Ersad. Audio mobil sudah dia turunkan volumenya sejak tadi. Hanya terdengar deru napas yang tidak teratur milik kami yang sedang mencoba menahan emosi.
"Kalau tidak kejam, bagaimana mungkin ada seorang wanita yang ditinggalkan menjelang pernikahannya? Kalau bagimu cinta itu baik, mengapa kamu terlihat begitu menyedihkan seperti ini?"
Aku memejamkan mata. Mencoba mencerna kata-kata kasar dan sinis yang keluar dari mulutnya. Dadaku terasa sesak. Apakah aku terlihat begitu? Apakah seorang wanita yang berjuang untuk cintanya terlihat begitu menyedihkan? Jika sebelumnya aku dicampakkan, apakah itu salahku?
Dengan kasar kuhapus air mata yang tidak bisa kubendung. Tanpa pamit, aku meraih handle pintu mobil. Namun belum sempat kubuka, tangan Ersad meraih lenganku kemudian menarik tubuhku. Bibirnya menyentuh bibirku, mendesakku dengan tidak sabar. Tangannya menyentuh tengkuk dan punggungku. Sentuhannya nyaris membuatku kehilangan akal.
Saat itu aku lupa segalanya. Rasanya seperti ciuman pertama yang membuatmu pusing dan tidak bisa berpikir jernih. Namun akal sehatku akhirnya kembali. Kulepaskan pagutannya dan mendorong bahunya.
Kuremas baju di bahunya, dengan suara yang hampir tidak terdengar, aku menggeram, "Kalau memang aku sedemikian menyedihkan, perlukah kamu berlaku merendahkan seperti ini?"
Tanpa mendengar jawabannya, akuturun dari mobil. Kali ini aku tidak mengharapkan dia mengejarku. Kugigit bibiruntuk menahan isakan yang sepertinya akan meledak. Aku benar-benar berharapsemua pria yang mencampakkanku, hidupnya tidak akan bahagia
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top