BAB 1 : Aku memang pejuang cinta, tapi nggak diginiin juga kali!


Gue Harus Kawin Sebelum Kiamat!

Tulisan itu terpampang jelas di ponsel saat aku mematikan alarm. Sambil duduk aku mulai melakukan peregangan ringan. Mulai dari memiringkan kepalaku ke kanan dan kiri, dan diakhiri sit up. Tidak perlu banyak-banyak, cukup lima kali saja. Dengan terhuyung, aku berjalan ke kamar mandi. Dari ventilasi kamar mandi, terlihat matahari masih enggan terbit, sinarnya masih malu-malu tertutup awan. Namun dia tidak pernah ingkar janji, dalam hitungan menit pasti akan muncul.

Suara piring beradu menemani lamunan pagiku. Mami pasti sedang mencuci piring. Rumah yang tidak terlalu besar memungkinkan aku mendengar apa yang sedang orang rumah lakukan tanpa bantuan telinga super. Mulai dari ayam kate' di halaman belakang rumah. Suara keran air yang dinyalakan di dapur. Sampai suara kipas angin gantung yang berputar dengan susah payah karena usianya tidak lagi muda.

"Good Morning, Mam...." Aku meniupkan ciuman jauh kepada Mami. Sepagi ini dan hanya tinggal mami yang ada di rumah, berarti Papi sudah berangkat banting tulang. Sebenarnya Papi sudah memasuki masa pensiun lima tahun lalu. Namun daripada bengong di rumah, akhirnya Papi memilih bekerja kembali saat mendapat tawaran dari perusahaan tempatnya bekerja.

"Tumben, pagi banget, Min." Mami tersenyum sambil menuang teh manis ke cangkirku.

"Iya dong, Sarimin kan, mau ke pasar," jawabku sembari manyun. Sejak kecil nama Minori yang terdengar unik, sudah biasa diplesetkan oleh orang-orang di sekitarku. Dengan serunya, teman SD memanggilku Sarimin, topeng monyet yang terkenal seantero Indonesia Raya.

"Dih, pagi-pagi ngambek. Nanti pulang seperti biasa, kan?"

"Aku pulang telat, Mi. Mau blind date," bisikku sambil terkekeh.

Mami menggelengkan kepala, raut wajahnya seperti tidak mengerti apa isi pikiran manusia yang sedang duduk di hadapannya. Bukan sekali atau dua kali Mami bertanya, apa kegagalan pernikahan tidak membuatku takut dan trauma?

"Mbok, ya sudah, Mami juga nggak pengin kamu salah pilih orang. Daripada kencan buta gitu apa nggak sebaiknya kamu cari di kantormu? Atau coba di kantor Papi," sahut Mami santai sambil mengoles selai cokelat ke roti.

"Mami tahu kan, kantor aku sebagian besar perempuan. Kalaupun ada laki-laki, pasti udah beristri atau ngondek. Mami mau dapat menantu ngondek?"

Mami bergidik sambil menggeleng. "Lalu si Arik ... apa kabarnya?" Mami bertanya dengan ragu.

Udah ditelan mentah-mentah ama beruang kutub, dikunyah, terus dilepeh lagi.

Demi kesopansantunan yang diajarkan guru PPKN saat sekolah, aku memutuskan tidak memakai jawaban itu. Biar bagaimanapun terlukanya aku, Mami jauh lebih kecewa. Satu bulan menjelang pernikahan, anak semata wayangnya dicampakkan begitu saja. Bahkan setelahnya, Arik tidak menghubungiku sama sekali. Minimal harusnya dia e-mail sambil bertanya, "Halo Minori, masih hidup apa udah mati?"

"Mi, nggak usah tanya-tanya Arik lagi, ya. Biarpun aku jadi perawan tua, aku nggak mau balikan sama dia. Lagian ya, Mi, di cocokcocokan.com itu banyak banget calon suami potensial." Aku menyebut nama situs perjodohan yang sudah aku ikuti dua bulan terakhir. Meskipun sudah kopi darat ketiga, semua yang kutemui masih dalam taraf mengecewakan.

Jujur saja, di usia 33 tahun, penampilan fisik seorang pria bukan hal yang terpenting. Jika diurutkan maka ada di nomor ketiga. Yang pertama adalah karisma. Aku mengidamkan pria dengan suara berat, kalau kata Mami yang seperti penyiar radio kayu manis. Hangat-hangat gurih.

Di urutan kedua adalah kedewasaan. Meskipun sudah kepala tiga, aku tidak ubahnya bocah umur tiga tahun, manja dan buper. Butuh perhatian. Pria yang doyan ngambek sudah jelas aku hapus dari daftar.

"Kamu itu, jangan gampang suka sama orang. Pilih yang bisa dipercaya. Jangan dikenalkan ke keluarga besar dulu kalau belum ada kepastian." Mami mengakhiri kata-katanya sambil menatapku serius.

Aku menarik napas kemudian tersenyum. "Mi, kejadian delapan bulan lalu itu kesalahan aku. Harusnya aku nggak minta Arik melamar buru-buru, karena sebenarnya dia sudah bilang kalau dia ingin sekolah lagi."

"Dan satu lagi, jangan menyalahkan dirimu karena kesalahan yang orang lain lakukan," ujar Mami sambil berdiri kemudian membawa piring kotor ke dapur.

Menyalahkan orang, salah. Menyalahkan diri sendiri juga salah. Ah, serbasalah cocok sekali jadi nama tengahku. Minori 'serbasalah' Ramlan.

***

Kata orang, patah hati itu akan sembuh seiring berjalannya waktu. Perlahan kamu akan mulai menatap matahari terbit dengan senyuman yang sama saat dirimu jatuh cinta. Aku percaya seratus persen. Senyum yang terlihat pascatragedi kegagalan pernikahan ini adalah hasil kerja keras untuk melupakan mantan sialan seperti Arik. Bulan-bulan pertama, aku pun benar-benar hancur. Saat menatap diri di cermin kamar mandi, rasanya seperti tidak bisa tertolong lagi. Kantung mata yang sudah sebelas dua belas dengan mata panda karena setiap malam menangis. Rambut yang acak-acakan tidak keruan. Sampai emosi yang tidak terkontrol.

Kejadian itu pun cukup mengguncang keluarga. Beberapa kerabat masih membicarakannya sampai saat ini. Bahkan tidak ragu menambahkan nama belakangku, si Minori yang batal nikah. Hal ini membuat Papi dan Mami berada dalam kondisi siaga satu setiap ada acara keluarga. Mereka memilih datang paling terakhir dan pulang paling awal demi menghindari tanya jawab soal tragedi ini.

Kalau dipikir-pikir, aku kan, pihak yang dirugikan, kenapa juga harus aku yang merasakan malu bukan kepalang? Sementara Arik sialan itu malah sudah dadah-dadah sama bule di Kanada. Meskipun begitu, dalam hati aku mengucap syukur. Hatiku yang cuma satu-satunya ini memang hancur, tapi setidaknya aku jadi tahu orang seperti apa Arik.

"Lo ikut nggak nanti siang?" Kepala Hana muncul dari balik kubikelnya.

Aku hanya menggeleng untuk menjawab pertanyaannya kemudian mengedipkan sebelah mata sambil tersenyum. Melihat kode dariku, mata Hana membesar kemudian dia langsung berjalan mendekat.

"Lo blind date lagi?" Matanya menelusuri penampilanku, mencoba melihat apa yang bisa dia benahi sebelum aku pergi kencan buta.

"Kali ini, mungkin jodoh gue, Han. Dia penyiar radio. Inget kan, kriteria laki idaman gue? Suaranya mesti yang gurih-gurih gitu." Aku tersenyum sendiri membayangkan ... ah, siapa ya, namanya, oiya! Rake. Namanya unik. Kalau dari foto profile-nya, dia cukup manis. Tipikal pria baik-baik.

Hana memutar bola matanya. "Ya kali, suaranya gurih, kelakuannya asem. Mau lo ama laki begitu?"

Aku terkekeh. "Ya enggaklah. Kayaknya sih, dia baik."

"Dengerin gue ya, pejuang cinta. Gue salut ama lo. Standing ovation untuk kegigihan lo mencari cinta meskipun lo udah pernah gagal. Tapi lo mesti inget, nggak semua orang punya hati seluas lo. Yang ikut web cari jodoh demi mendapat cinta sejati. Kebanyakan hanya iseng, selebihnya you know-lah mereka nyari apa? Ujung-ujungnya lo ditidurin terus ditinggal," ujar Hana berapi-api.

"Ih, amit-amit jabang bayi. Ngomong yang baik-baik aja kenapa," tukasku kesal.

"Ya kan, gue cuma mengingatkan." Hana melepas antingnya kemudian memberikannya padaku. "Pakai itu, warnanya cocok ama baju lo. Dan gue seharian ada di gedung ini kalau ternyata kencan buta lo gagal total," ujarnya sambil menaruh kertas bertuliskan alamat sebuah gedung yang akan dipakai untuk pemotretan iklan.

"Han, ini pemotretan iklan ponsel ONOOPO itu?" Kali ini aku yang muncul di kubikelnya.

"Yup. Yang meeting idenya sampai tengah malam buta. Dan lo tahu? Fotografer yang biasa kita pakai, lagi sibuk menangani produk pesaingnya. Untung di detik-detik terakhir, gue dapet fotografer yang bagus," ujar Hana.

Perusahaan tempatku bekerja bergerak di bidang Advertising atau periklanan. Aku berada di divisi kreatif, yaitu tempat ide-ide dari sebuah iklan diluncurkan. Kami merancang konsep dan menyesuaikan dengan tema produk. Sementara Hana di divisi produksi. Di tangan Hana dan timnya, iklan-iklan tersebut digarap. Mereka menyiapkan talent, setting sampai segala properti yang dibutuhkan.

"Jadi mestinya gue juga ikut ya, untuk memastikan ide gue tereksekusi dengan sempurna?" Aku mulai menimbang-nimbang untuk ikut, karena ini adalah salah satu project yang cukup besar.

"Gimana kalau lo nyusul? Blind date paling lama kan, sejam atau dua jam. Kita mulai pemotretan jam delapan, jadi lo pasti sempet dateng," tawarnya.

Sambil tersenyum aku mengangguk. "Oke, sip! Nanti gue susul."

***

Suara Bryan Adams dengan lagu Heaven yang fenomenal mengalun lembut di kafe yang tidak terlalu ramai ini. Mungkin karena ini bukan weekend, dan terhitung tanggal tua jadilah hanya tampak beberapa orang. The Truth Café namanya. Posisinya hanya beberapa blok dari gedung kantorku. Setiap blind date, aku menjadi orang yang selalu menentukan tempat bertemu. Dan The Truth Café ini selalu jadi pilihan karena letaknya yang strategis dan aku mengenal pemiliknya.

Sungguh, aku menikmati suasana ini. Tapi tidak dengan seseorang di depanku. Sejak tadi matanya tidak lepas dari ponsel. Berkali-kali pula ia tersenyum sendiri.

Hello Mas, saya bukan asbak.

"Udah berapa lama kerja di Rembes FM?" Kalau sampai pertanyaan sebasi itu bisa keluar dari mulutku, berarti aku sudah benar-benar tidak tahu lagi harus bicara apa.

Dia melirik sekilas. "Kan, udah pernah kamu tanya di Whatsapp." Kemudian matanya kembali menatap ponsel.

Asem!

Aku berusaha sekuat tenaga untuk tersenyum. "Kalau lagi nggak kerja, biasa nongkrong di mana?"

Kali ini tanpa melihat ke arahku, dia menjawab, "Itu juga udah pernah kamu tanya."

Babi!

Sudah sampai di sini saja aku mampu menahan emosi. Dengan kasar aku memundurkan kursi dan berdiri.

"Lho, mau ke mana?" Wajahnya terlihat bingung.

Ke hutan! Kejar-kejaran sama serigala daripada kencan buta sama laki kayak kamu!

"Aku permisi. Ada urusan mendadak yang harus diselesaikan."

"Kalau begitu, kapan kita ketemu lagi?" tanyanya tanpa rasa bersalah.

"Sebaiknya nggak usah ... emm siapa? Oh iya, Rake. Kita nggak usah ketemu lagi, karena sepertinya kamu juga lebih tertarik sama handphone kamu daripada ngobrol sama aku," jawabku sambil mengumpulkan sisa-sisa senyuman.

Aku berbalik dan berjalan keluar, bahkan tidak menjawab ketika Gadi, pemilik kafe itu memanggilku. Belum pernah aku merasa sedongkol ini sebelumnya. Kencan buta yang sudah-sudah biasanya hanya berakhir karena kami merasa tidak saling cocok, bukan karena perlakuan menyebalkan seperti ini.

Sambil berjalan ke halte TransJakarta, aku mengambil ponsel dan mencari kontak seseorang.

"Han, gue on the way ke sana.Tunggu ya...."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top