9. Hari Pertama

-

-

Shia menopang dagunya sambil mengamati mahasiswa yang tengah bergerombol di ruang kelas. Mata Kuliah Produksi Media Kreatif akan dimulai beberapa menit lagi, tetapi masih banyak kursi yang kosong di ruangan ini. Pak Subekti sebagai pengajar mata kuliah hari ini pun belum juga tampak batang hidungnya.

Sampai seruan dan kasak-kusuk berisik dari luar kelas menganggu lamunan Shia. Sosok Patra muncul dari pintu ruangan, sapaan demi sapaan menyambut lelaki itu. Kemudian bak artis papan atas, Patra seakan menikmati kehebohan sesaat itu.

Di sisi lain, Shia memandangi wajah Patra dengan ekspresi malas. Lelaki yang beberapa tahun lebih tua darinya ini mungkin memiliki wajah setampan model dengan pakaian yang selalu stylist. Namun, bagi Shia kemalasan dan susahnya lelaki ini untuk fokus jelas menjadi lubang hitam paling besar yang menyedot semua kelebihan Patra. Apalagi dengan fakta bila seniornya ini mengulang banyak mata kuliah.

"Ngelamun aja."

Shia melirik dengan wajah bingung ketika Patra menyapa dan mengetok mejanya.

"Kita jadi satu kelompok, kan? Gue udah dapat satu anggota. Tria. Sama lo dan temen lo, pas jadi empat orang. Gimana?"

"Kenapa enggak sama yang lain? Bukannya lo lebih akrab sama mereka?" sindir Shia melirik para fans Patra.

Patra menggaruk rambutnya yang diikat rapi hari ini, sembari mengamati mahasiswa lain di ruangan. Mereka kembali sibuk dengan geng mereka masing-masing seakan kehadiran Patra tidak lagi bermakna bagi mereka.

"Kayaknya pemikiran mereka lebih realistis dari yang gue kira. Mana ada yang mau satu kelompok sama mahasiswa abadi kayak gue. Semua mahasiswa udah kasih nama kelompoknya masing-masing ke Pak Bekti kemarin, kecuali kita berempat. Jadi, gimana?" curhat Patra tanpa beban kala menceritakan keburukannya sendiri kepada Shia. Dia mendecak sebal kala tidak ada respons berarti dari Shia. Bahkan sampai Pak Subekti masuk ke dalam ruangan Shia hanya membisu. Jelas membuat Patra makin gondok.

"Selamat siang semuanya. Siang ini saya ingin menjelaskan tentang tugas Exhibition kalian yang akan digelar seminggu setelah UAS sebagai tugas akhir kalian. Jadi, saya minta kalian untuk berkumpul dengan kelompok masing-masing sekarang. Karena saya mau, mulai minggu depan kalian membuat laporan mengenai perkembangan proyek kelompok kalian. Mengerti?"

"Siap, Pak," koor semua mahasiswa di ruangan hampir bersamaan.

Geretan kursi di lantai, bisik-bisik serupa dengungan lebah, dan suara gesekan pulpen di atas kertas terdengar riuh. Sementara Pak Subekti duduk di mejanya sambil menyiapkan slide presentasi dan menghubungkan laptopnya dengan proyektor.

"Di sini kosong, kan?"

Air muka Patra yang semula sebal berubah semringah menemukan Shia mendorong kursi di sebelah Patra untuk membentuk lingkaran dengan Tiar. Ekspresi lelaki itu juga tidak kalah lega ketika Shia ikut bergabung dengan kelompoknya.

"Jadi, berubah pikiran?"

"Emang dari awal siapa bilang gue nolak. Gue juga tahu diri dan realistis. Gue masih pengen lanjutin beasiswa gue," sahut Shia tak acuh lantas mendengarkan dan mencatat setiap keterangan dari Pak Subekti. Namun, konsentrasinya sedikit terganggu karena Patra terus memandangi dirinya. "Kenapa?"

Buru-buru Patra menggeleng. Dia lantas ikut mengamati penjelasan Pak Subekti di depan kelas dengan seksama, meskipun diam-diam ada pertanyaan yang mengganggu kepalanya sedari tadi. Tentang Shia.

***

Hampir pukul lima sore Shia turun dari kendaraan umum dan berjalan melewati minimarket lantas memasuki gang rumahnya. Langkah Shia melambat ketika dari kejauhan dia melihat Atma, Laras, dan enam orang anak tengah bermain-main di halaman gedung apartemen terbengkalai di dekat area rumahnya.

Diam-diam Shia mengamati dari jauh. Di sana, Shia melihat Laras sedang membacakan sebuah buku kepada dua orang anak perempuan. Kondisi kedua bocah itu tampak lusuh dengan pakaian yang sudah kumal. Sementara dua keranjang berisi permen dan camilan-camilan berukuran kecil berjejer tidak jauh dari sana.

Pada sisi lain bangunan, Shia melihat Atma dikerumuni Jeki, Apri, dan Tigor. Para pengamen cilik yang lebih mirip seperti tiga serangkai karena selalu pergi bersama. Walaupun dari tiga anak itu hanya Tigor yang memiliki suara bagus dan bermimpi menjadi seorang artis. Alasannya simpel, hanya karena sedari kecil dia sudah dicekoki oleh suara merdu Rhoma Irama dari CD-CD lawas milik sang ibu.

Shia berjengit hampir menjerit kaget kala celananya ditarik seseorang. Kedua matanya mengerjap ketika tanpa sengaja saling tatap dengan bocah, yang sepertinya belum genap berusia lima tahun, di depan Shia. Mata bulatnya menatap Shia penuh tanya, sedangkan pipinya terlihat kotor dengan rambut berantakan seperti sudah lama tidak disisir. Sepanjang Shia berada di Rumah Beta, baru kali ini dia bertemu dengan bocah itu.

"Namanya Ehan."

Shia mendongak kala suara Atma terdengar. Pria itu mendekat lantas berhenti di depan Shia.

"Dia anak tukang parkir di minimarket depan," jawab Atma sambil mengacak rambut bocah itu. Bocah yang langsung memeluk erat kaki Atma dengan wajah ketakutan ke arah Shia. "Ibunya baru meninggal. Ayahnya harus kerja jaga parkiran, makanya saya ajak ke sini daripada kepanasan di depan minimarket. Mbak Laras bilang enggak apa-apa."

"Hai, Shia. Baru pulang kuliah?" sapa Laras melambaikan tangannya dari jauh.

Shia mengangguk. Dia kemudian kembali melirik Atma. "Lagi ada acara apaan tumben pada kumpul di sini?"

"Ikutin saran kamu. Jeki saya ajak keliling bangunan buat ngegambar area gedung, Apri saya minta teliti bentuk-bentuk daun di sini, dan Tigor... saya baru tahu public speaking nya bagus. Sayang masih mentah. Ada ide buat kasih dia kegiatan apa?" terang Atma terlihat sangat bersemangat sembari memandang takjub area apartemen setengah jadi yang penuh lumut di hadapannya.

"Kamu—ngelakuin semua itu?" tanya Shia spontan, diam-diam takjub.

Atma memasang wajah bingung. "Kenapa? Saya cuma mikir, kayaknya mereka enggak cuma perlu buat belajar baca dan juga berhitung. Senggaknya kalau mereka juga punya keahlian-keahlian lagi, mungkin bisa ngebantu masa depan mereka nantinya."

Shia termenung sambil memandangi sosok Atma tak percaya.

"Optimis aja dulu, ya kan? Habis ngajarin storytelling rencananya Laras mau ngajarin anak-anak di sini buat belajar bikin kerajinan, kamu mau bantu, kan?" tanya Atma sembari menggendong Ehan. Agak ragu, Shia mengamati anak-anak jalanan yang tengah sibuk dengan kegiatannya masing-masing itu. Sampai tangan besar Atma menarik pergelangan kiri Shia, membuat dia terpaksa mengikuti pria itu. "Kelamaan mikir. Ayo!"

Setelah meminta Laras dan anak-anak lain berkumpul, Atma berdiri di tengah. "Nah, hari ini kita juga kedatangan Kak Shia yang bakal nemenin kita belajar lagi mulai hari ini. Kalian pasti udah pada kenal, kan? Sapa dulu Kak Shianya yuk! Selamat sore Kak Shia."

"Selamat sore, Kak Shia. Semoga bahagia dan jangan lupa tersenyum," sapa lima bocah itu penuh semangat, sedangkan Laras berdiri di sebelah Shia.

"Sejak kapan mereka ada cara salam sendiri?" bisik Shia kepada Laras.

"Mas Atma yang ngajarin. Awalnya mereka enggak setuju, apalagi Apri. Tapi setelah disogok pakai makan siang sama es teh manis, akhirnya mereka mau," jawab Laras sembari tersenyum dan memandangi Atma penuh arti.

"Jadi, Kak Shia bakal ngajarin apa sore ini?"

Rahang Shia hampir terjun bebas mendengar pertanyaan Atma. Anak-anak itu terdiam menunggu jawaban Shia. Alih-alih membantu Shia, Atma malah terkekeh dengan Ehan masih setia di gendongannya. Seakan sengaja ingin membuat Shia panik.

"Bercanda. Kak Shia buat sore ini bakal bantu Kak Laras buat ngajarin bikin parakarya. Udah siap dengan idenya masing-masing, kan? Buat tugas yang Abang kasih tadi bisa kalian kerjain di luar ini ya. Silakan Kak Laras," lanjut Atma akhirnya menyelamatkan Shia.

Anak-anak itu pun langsung duduk rapi berpencar di halaman gedung. Sedangkan Atma mendekati Shia dengan mimik iseng.

"Kaget ya?" goda Atma.

Shia mendecak. "Enggak lucu."

Atma mengedik tak acuh sambil tersenyum lebar bersama Ehan. Bocah itu terlihat asyik memainkan tali jaket di leher Atma. Sementara itu, Shia sudah menghindar dan berdiri di sebelah Laras.

***

"Ibu kamu enggak apa-apa kamu di sini?" tanya Shia ketika sedang menemani Jeki menyusun stik bekas es krim membentuk bangunan.

"Dipaksa Kak Laras gue. Katanya nanti dikasih makan siang. Padahal gue sebenrnya ogah dateng," cerita bocah itu dengan fokus ke arah penggaris dan sisa stik es krim di tangannya. "Palingan bentar lagi gue cabut. Takut kena omel Emak, duit ngamen masih dikit. Bang Atma juga udah ngebolehin tadi."

Shia tercenung. Ada iba yang diam-diam mampir di benak Shia.

"Lo kenapa, Kak? Lo takut Emak gue ngamuk lagi? Tenang aja, gue enggak bilang-bilang Emak kok. Emak gue tahunya gue lagi sama Tigor ngamen di pasar sebelah," lanjut Jeki lagi sambil memamerkan gigi-giginya.

"Malah ngobrol. Udah beres belum?"

Jeki berdecak ketika pertanyaan Atma muncul di belakangnya. "Baru mulai Bang, enggak sabar bener dah."

"Masa cuma bikin ginian aja lama banget," decak Atma pura-pura menyindir Jeki.

"Ini bukan cuma ginian, Bang. Gue lagi ngebuat misterpis nih," gerutu Jeki sambil memamerkan karyanya.

Atma terkekeh. "Masterpiece kali."

"Iya itulah. Enggak beda jauh, kan?" sahut Jeki cuek.

"Emang kamu bikin apaan?"

"Gedung itu," tunjuk Jeki ke arah apartemen di belakang tubuh mereka. "Bayangin aja gitu kalau itu gedung udah jadi dan gue bikin miniaturnya pasti keren. Gue juga sampai bikin water-water yang tadi Abang bilang di sini."

"Rain water harvesting," koreksi Atma mulai lelah dengan kelakuan Jeki. Namun, pria kecil itu malah cuek sambil terkekeh kegirangan, sementara Shia melirik Atma penuh tanya.

"Iya itulah pokoknya, tapi kalau dipikir-pikir kok malah mirip kayak pompa air emak gue, Bang."

Atma menggaruk tengkuknya kebingungan. "Yah... emang cara kerjanya enggak jauh beda sih sama itu, secara sederhananya. Mau gue tunjukin yang lain? Di atas ada yang lebih seru loh. Cuma berhubung udah sore kapan-kapan gimana? Saya takut tangganya licin dan jadi bahaya kalo mulai sore malah enggak kelihatan."

"Besok gue kudu ke sini lagi? Malas ah, Bang. Enggak asyik. Kalau ada makan siangnya lagi sih enggak apa-apa," kelakar Jeki yang langsung dihadiahi sentilan di jidatnya oleh Atma.

"Dasar. Kalau ada maunya aja. Siap deh. Nanti saya sama Mbak Laras siapin buat kalian."

"Serius, Bang?" seru Jeki dengan mata berninar. Mendengar ada makan siang gratis lagi, anak-anak yang lain langsung melirik Atma.

"Iya. Makanya kalian kalau laper atau mau istirahat kelar ngamen. Main aja ke Rumah Beta, nanti kami siapin. Ya kan, Mbak?"

Laras tersentak. Namun, dia terpaksa mengangguk dan membenarkan ucapan Atma. Shia yang sedari tadi mengamati dalam diam, curiga dengan gelagat Laras. Sebab Shia tahu pasti dana Rumah Beta, selama ini hanya dari para tetangga dan uang pribadi Pak Hilman.

"Kamu enggak asal ngomong, kan?" bisik Shia mendekati Atma. "Anak-anak enggak bisa dijanjiin kayak gitu. Kalau mereka kecewa gimana?"

"Tenang aja. Saya enggak akan ngecewain mereka," sahut Atma sambil menggusak rambut Shia dan menghampiri Laras.

Shia membisu. Sosok Atma semakin hari semakin mencurigakan di mata Shia. Apalagi cara dia menjelaskan tentang konsep water harvesting tadi, jelas menunjukan bila dia bukan seorang pengangguran biasa.

"Seru bener kayaknya di sini."

Tubuh Shia menegak kala suara ayahnya dan decakan beberapa teman bermain catur sang ayah muncul dari depan pagar gedung.

"Bukannya nyari duit, malah asyik-asyikan di sini lo," gertak Gino kepada Shia. "Balik. Emak lo banting tulang nyari duit buat lo kuliah bukannya bantuin malah main di sini. Ini juga anak-anak kampret pada ngapain ngumpul di sini. Bubar!"

"Enggak perlu teriak aku pasti pulang," jawab Shia datar sambil menatap tajam ke arah Gino. "Lagian harusnya Bapak juga ngaca. Selama ini apa pernah Bapak kasih duit ke Ibu?"

PLAK!

Bola mata Atma membola. Sontak, dia melangkah ke arah Shia, tetapi buru-buru ditahan Laras. Perempuan itu menggeleng seakan ingin menahan niat Atma untuk ikut campur.

"Enggak usah panggil gue Bapak. Gue enggak sudi dipanggil Bapak sama anak enggak tahu diuntung kayak lo!" teriak Gino sambil menunjuk-nunjuk wajah Shia. "Sekarang balik, atau gue berantakin ini acara sekarang."

Sambil mengusap pipi kiri, Shia menyabet tasnya dan menghampiri Laras. "Aku pulang duluan."

Laras mengangguk. "Hati-hati ya. Bilang aku kalau kamu butuh apa-apa."

Shia mengiyakan. Sesaat mata Shia menemukan kesan khawatir di wajah Atma ke arahnya, sebelum dia berbalik dan pergi lebih dulu dari sana. Langkah kakinya bahkan dia bawa cepat-cepat, seakan tidak ingin berbarengan bersama ayah dan kawanannya.

"Lo juga. Lo itu di sini cuma tamu. Enggak usah sok peduli dengan bikin-bikin kegiatan enggak penting kayak gini. Bikin berisik!" bentak Gino sambil melotot kepada Atma. Dia pun terkekeh menemukan Atma, Laras, dan anak-anak lain terdiam. Dia pikir orang-orang di sana takut dengan gertakannya.

"Udahlah, No, kita ngopi aja. Enggak penting ngurusin mereka."

"Mau nongkrong di mana kita?"

"Warkop Bang Ajo aja, gimana?"

"Mantap!"

"Setuju!"

Atma mengepalkan kedua tangannya emosi ketika tawa orang-orang itu terdengar sebelum beranjak dari sana. Bila saja tangan Laras tidak melingkar di pergelangannya sedari tadi, mungkin dia sudah tersulut emosi dengan menerjang pria-pria itu.

"Maaf," ucap Laras segera melepaskan tangannya di pergelangan Atma. "Tadi saya refleks. Soalnya orang-orang yang dibawa Bapak Shia tadi preman daerah sini. Mas nanti malah dapat masalah kalau ladenin mereka."

Atma terdiam. Air mukanya terlihat khawatir kala memandangi punggung Shia yang sudah mengecil dan berbelok ke kiri. Apalagi tawa pria-pria tadi terus terdengar sepanjang gang sambil memaki Shia.

"Memang ayahnya kerja apa?"

"Pengangguran. Ibunya jadi tukang cuci di sekitar gang, awalnya Shia emang enggak berniat kuliah. Tapi dia dapat beasiswa setelah lulus, makanya dia milih lanjut kuliah. Dulu seingat saya, dia sempat part time di kafe seberang jalan, itu juga yang buat dia enggak ada waktu buat bantu-bantu di Rumah Beta lagi. Tapi belakangan enggak tahu kenapa dia malah keluar dari sana," cerita Laras penuh iba. "Setahu saya, dia emang lagi butuh duit buat tugas akhir. Sebenarnya saya pengen bantu, cuma saya enggak punya kenalan yang bisa nerima part timer. Jadi enggak bisa bantu apa-apa. "

Atma mengangguk paham. "Pantas aja."

"Pantas kenapa?"

Atma menggeleng. "Bukan apa-apa."

***

TBC

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top