8. Rumah Beta

-

-

Cahaya matahari senja semakin tua di luar menyisakan bayangan Atma dan Shia di dalam ruangan Rumah Beta yang tidak sebegitu luas. Debu tipis-tipis melayang perlahan dari arah jendela, yang kusennya penuh rayap, ke dalam ruang kelas.

"Rencana kamu sebenarnya ada di sini apa?" tanya Shia tanpa basa-basi dengan tatapan terus menghindari Atma, selagi tubuhnya bergerak menyusuri rak peralatan menulis yang berjejer dari sudut kelas yang satu ke sudut yang lain.

Bayangan Atma yang sedang mengepak beberapa kotak pensil warna bekas pakai dari atas meja-meja di tengah ruangan, seketika membeku. Kepala Atma menoleh kepada Shia. Dari mimiknya jelas sekali pria itu menyimpan tanda tanya.

"Maksud kamu?" tanya Atma mengamati Shia dari jauh.

Shia mendesis jengkel. Baginya jawaban Atma seperti sebuah kalimat omong kosong yang sengaja pria itu sampaikan di depannya untuk menutupi sesuatu. Sesuatu yang sebenarnya bukan urusan Shia, tetapi hati kecilnya diam-diam khawatir bila sesuatu itu bakal melukai Laras. Lebih-lebih Rumah Beta.

DUK! DUK! SREETT!

Suara benda tumpul saling beradu beberapa kali membuat Shia spontan menoleh. Alisnya menyatu rapat ketika dia menemukan Atma memaksakan tumpukan pensil warna itu untuk masuk ke dalam laci nomor tiga paling bawah yang jelas-jelas sudah kehabisan tempat, sambil berjongkok di lantai.

"Pensil warna tempatnya bukan di situ. Tapi di sebelah lemari," kata Shia tanpa permisi mengambil kotak plastik di tangan Atma dan memasukan benda itu ke dalam rak paling sudut ruangan. "Mbak Laras bisa ngomel-ngomel kalau kamu salah masukin."

Atma bangkit. Sambil bersidekap, dia mengamati Shia dari jauh. Perempuan itu bahkan kini dengan telaten sudah menumpuk buku-buku bacaan yang berserakan di meja-meja lipat di tengah ruangan dan menjejalkan semuanya ke dalam rak. Kemudian tanpa diminta, Shia  merapikan kertas gambar hasil prakarya anak-anak ke dalam lemari penyimpanan. Meskipun, mulutnya berdecak terus-menerus.

Atma diam-diam mengulum senyum ketika mengamati Shia terasa lebih hidup di depannya. Walaupun dia tahu maksud dari decakan Shia pasti mengenai pekerjaannya yang bagi perempuan itu mungkin tidak becus.

"Jeki ikut belajar lagi di sini?" cetus Shia tiba-tiba sambil menarik selembar kertas gambar yang berada di paling atas tumpukan dan menunjukannya ke arah Atma. Air mukanya terlihat kaget.

Senyap terasa di antara mereka. Atma mendekat agar dapat menangkap maksud Shia lebih jelas. "Jeki?"

"Nurzaki," jawab Shia kemudian memandangi kertas gambar di tangannya. Sebuah gedung bertingkat dengan warna-warna mencolok terlihat pada kertas itu. Namun, dibandingkan gambar lainnya, warna dan gedung itu terlihat lebih rapi.

"Maksud kamu anak yang kurus dan rambutnya keriting itu, kan?" tanya Atma berdiri di sebelah Shia ikut mengamati kertas gambar itu. Tangan besarnya bergerak hendak mengambil kertas gambar itu dari tangan Shia. Akan tetapi, tanpa sengaja dia malah menyentuh kulit tangan Shia.

Shia berjengit. Wajahnya terlihat pias. Dia buru-buru menepis tangan Atma. Perempuan itu bahkan sudah berjalan menjauhi Atma.

"Sori," ucap Atma masih kaget dengan reaksi Shia. Senyap menyergap, lebih-lebih Shia memilih tetap mengunci mulutnya dengan rapat dan mengabaikan Atma. "Shia?"

"Iya, itu Jeki," jawab Shia dengan cepat mengalihkan pembicaraan. Dia kemudian berjalan ke tengah ruangan lalu melipat meja-meja di sana untuk diletakan di pinggir ruangan agar lebih teratur. Atma pun mengikuti Shia untuk merapikan meja di ruangan. Keduanya lalu bahu-membahu meletakan meja lipat bersama masih tanpa suara.

"Kenapa memang sama Jeki?" tanya Atma.

"Setahu saya ibunya enggak setuju Jeki buat belajar di sini, buang-buang waktu katanya," jelas Shia yang tatapannya kemudian menyapu ke seluruh ruangan Rumah Beta seperti tengah mengingat tingkah bocah berumur delapan tahun itu. Bocah yang mendadak menjadi pendiam bila sedang dalam pelajaran menggambar. "Jeki juga pernah ribut dengan ibunya di sini. Ibunya sampai bentak Laras dan Pak Hilman di depan anak-anak. Mulai saat itu Jeki enggak pernah balik lagi. Kata anak-anak Jeki malu buat balik lagi ke sini. Dia juga takut ibunya bakal ngamuk lagi di sini."

"Soal itu, Laras sempat cerita juga tadi," terang Atma merespons ucapan Shia sambil mengamati gambar milik Jeki di tangannya. "Sayang ya padahal anak itu tadi bilang mau jadi arsitek kalau gede nanti dan menurut saya gambarnya juga enggak jelek-jelek banget."

Shia mengedik dengan ekspresi miris. Dia kemudian meninggalkan Atma untuk melanjutkan kegiatannya merapikan meja.

Setelah semua meja rapi, Shia mendudukan bokongnya ke lantai ruangan Rumah Beta yang sudah kosong dengan pandangan lurus ke arah papan tulis. Helaan napas terdengar ketika ingatan saat dirinya masih berada di sini muncul. Rasanya seperti baru kemarin dia berada di sini bersama Laras dan anak-anak itu.

Masih teringat jelas dalam ingatan Shia, ketika Pak Hilman dengan bangga membuka Rumah Beta dari uang pribadinya. Meskipun sindiran sampai cemoohoan tetangga selalu dia terima. Buang-buang uang dan tenaga kata mereka.

Namun, Pak Hilman tidak pernah ambil pusing, bahkan dia kemudian mengajak Shia sebagai pengurus untuk membantu Laras. Sebab menurut Hilman, hanya Shia yang ulet dan pintar di sini. Shia tersenyum. Hanya dengan mengingat Hilman dadanya terasa menghangat. Dia rindu saat-saat sebelum orang itu hadir dan membuat dunia Shia serasa di neraka.

"Anak-anak di sini unik-unik ya?" celetuk Atma ikut duduk di sebelah Shia.

Shia menoleh. "Maksudnya?"

"Waktu itu Pak Hilman sempat ngingetin saya kalau ngajar anak-anak di sini kudu ekstra sabar. Saya kira bercanda," cerita Atma sembari menggaruk rambutnya yang tak gatal. "Ternyata di luar dugaan, ngajar mereka lebih dari sekedar punya stok ekstra sabar. Apalagi waktu ada satu dari mereka yang dengan cueknya ngeloyor pergi gitu aja waktu pelajaran. Kamu mau tahu enggak alasannya apa?"

"Apa?" tanya Shia penasaran.

"Cara ngajar saya bikin ngantuk, jadi kata dia lebih baik ngamen ketimbang di sini," lanjut Atma dengan wajah masam.

Ucapan Atma menciptakan senyum di bibir Shia. "Pasti itu Apri yang ngomong."

"Kok tahu?"

"Mau ngingetin aja, saya udah beberapa tahun lebih dulu di sini dibanding kamu. Saya cukup paham sama tabiat anak-anak di sini," sindir Shia pongah. "Apri sebenarnya lebih suka ngamatin makhluk hidup dan pelajaran Biologi ketimbang pelajaran lainnya. Dan sebagai informasi, mayoritas dari mereka memang susah buat fokus, apalagi kalau cara ngajar kamu cuma di depan kelas doang dan ngejelasin panjang lebar. Percuma. Sampai mulut kamu berbusa juga mereka enggak akan betah."

Atma bertopang dagu sambil mengamati Shia. "Lantas menurut kamu saya harus gimana?"

"Entah. Mungkin sesekali bisa kamu ajak mereka belajar di luar. Kalau saya biasanya ajak mereka ke bangunan yang enggak jadi itu, dan belajar di sana. Atau buat ngajarin mereka wirausaha biasanya saya ajak mereka buat prakarya, terus kita jual bareng-bareng di depan gang," jawab Shia penuh semangat sembari mengamati tembok usang ruangan Rumah Beta yang terkelupas di sana-sini, beberapa rak buku cokelat berdebu, papan tulis dengan noda di beberapa bagian, dan kipas angin dinding rusak yang keberadaannya mungkin hanya dijadikan sebagai hiasan. "Dan mereka biasanya langsung semangat kalau udah dapet duit. Enggak banyak sih, tapi siapa yang enggak senang lihat duit."

Kepala Atma mengangguk perlahan. "Kalau gitu kenapa kamu enggak balik jagain mereka di sini? Kayaknya kamu lebih tahu mereka daripada saya. Seingat saya.... si Jeki, juga tadi tanya soal kamu. Kayaknya dia kangen diajari sama kamu."

Shia menggeleng dan mengulum senyum tipis. "Sayangnya saya enggak mau jadi tukang PHP lagi ke mereka."

"Masalah itu lagi?" decak Atma seolah paham arah pembicaraan Shia.

"Kenapa? Emang bener kan? Kita di sini ngajar mereka dan kasih mereka ilmu. Setelah itu? Setelah dari sini apa mereka bisa dapat pekerjaan? Apa hidup mereka bisa berubah? Ngasong tetap aja ngasong, yang ngamen tetap ngamen," cerocos Shia mulai tersulut emosi. "Dan sekali sampah--"

"Shia," potong Atma terkesan tidak suka dengan ucapan Shia.

Shia terkekeh pelan dengan mata melirik sinis kepada Atma. "Terus kamu? Sekali lagi saya tanya, sebenarnya tujuan kamu di sini apa? Keliaran sekitar sini, terus tiba-tiba nongol bantu Rumah Beta. Jangan bilang kamu mau sok kasih harapan juga ke mereka."

Atma merenung sejenak dan memosisikan tubuhnya menghadap Shia dengan mimik wajah menantang. "Kalau tujuan saya memang itu gimana?"

"Memang kamu siapa sok peduli sama saya dan semua orang di sini?"

"Memang harus jadi siapa dulu ya buat peduli?"

Shia menggeram. Kesal jelas-jelas nampak di wajah Shia mendengar pertanyaannya yang selalu dijawab kembali dengan pertanyaan. Kulit wajah Shia makin merah padam ketika senyum mengejek milik Atma tampak jelas di depannya.

"Lho, ada Shia."

Suara Laras membuat Shia dan Atma terkesiap. Pandangan keduanya yang semula beradu sengit secara spontan beralih kepada Laras.

"Kalian ngapain duduk berdua di situ?" tanya Laras dengan ekspresi curiga bercampur tidak suka yang kentara jelas.

"Tadi kebetulan ketemu Shia lagi ngelamun di depan, jadi saya tarik aja ke dalam buat bantu saya," jelas Atma sambil bangkit dari duduk, begitupun dengan Shia.

"Oh gitu. Ini teh manis buat Mas Atma. Bapak yang suruh aku kasih ini, lagian Mas Atma pasti haus kan habis bantu-bantu di sini," kata Laras sambil mengangsurkan teh manis kepada Atma.

"Terima kasih. Tapi kebetulan saya enggak haus," jawab Atma kemudian berjalan ke arah jaketnya di atas meja dekat papan tulis. "Gimana kalau buat Shia aja. Kayaknya dia yang lebih butuh minum daripada saya."

"Saya juga enggak haus," jawab Shia cepat merasa tersindir dengan ucapan Atma. Apalagi pria itu malah terkekeh pelan selagi mengenakan jaketnya. Sontak makin memunculkan tanya di benak Laras.

"Saya balik dulu, udah sore. Besok saya ke sini lagi, bilangin ke Pak Hilman," pamit Atma sembari berdiri di depan Shia dan Laras. "Buat metode belajar anak-anak besok, Shia katanya mau kasih tips ke kita."

"Oh iya?" pekik Laras terlihat semringah. "Jadi, kamu mau balik bantu kita di sini lagi?"

"Iya," sahut Atma cepat sebelum Shia menjawab pertanyaan Laras. Panik, Shia menggeleng sementara matanya melotot sebal kepada Atma. Alih-alih menganulir ucapannya, Atma malah melangkahkan kakinya dan meninggalkan Shia berdua bersama Laras, tanpa rasa bersalah. Benar-benar tidak bertanggung jawab.

"Thanks ya Shia. Bapak pasti seneng kalau tahu kamu mau ikut bantu-bantu di sini lagi. Tapi jangan dipaksain, aku enggak enak sama Ayah kamu," kata Laras dengan senyum tipisnya menggantung di bibir.

Shia membalas senyum Laras dengan terpaksa. Wajahnya makin nelangsa menemukan air muka Laras sudah penuh harap saat ini.

"I-iya... aku tahu," jawab Shia cepat sembari menyabet tasnya dari lantai. "Mbak aku pulang dulu ya. Permisi."

"Oke. Lho, tapi Shia rumah kamu kan sebelah--"

Shia buru-buru kabur dari Rumah Beta sebelum Laras menyelesaikan ucapannya. Bukan untuk pulang ke rumah memang rencana Shia sore itu, tetapi dia hendak mengejar pria asal jeplak tadi.

Baru beberapa meter menjauh dari Rumah Beta, Shia menemukan Atma berdiri sambil menatap lekat gedung usang di sisi gang. Wajahnya terlihat serius dengan asap rokok merangkak tipis keluar dari bibirnya.

"Bisa enggak mulut kamu enggak asal jeplak kayak tadi?"

Kedua alis Atma naik seketika, kepalanya pun bergerak mengikuti arah suara Shia. Kedua matanya mengedip kaget ketika Shia sudah berdiri tegak di sebelahnya. "Kamu ngapain ngejar saya sampai sini?"

"Rumah Beta. Kenapa sih kamu selalu asal ngomong dan sok tahu? Sejak kapan saya bilang ke kamu mau balik ke sana?"

Alih-alih marah, Atma malah tergelak sembari mematikan bara pada benda di tangannya dengan menggunakan kaki. "Kamu samperin saya cuma gara-gara itu?"

Shia mengangguk. "Mbak Laras terlanjur percaya sama bercandaan kamu. Saya jadi enggak enak sama dia."

"Kata siapa saya bercanda? Saya serius kok," ujar Atma kembali memandangi gelap yang sudah turun menutupi sebagian gedung usang di depannya. "Lagian kalau kamu memang enggak mau balik bantu Laras, ya udah kamu tinggal kasih aja alasan yang kamu kasih selama ini di depan dia buat kabur. Simpel kan?"

"Iya, tapi. Lihat muka Mbak Laras seneng kayak tadi, kayaknya sulit," gumam Shia sembari memilin ujung kemejanya.

"Sulit atau kamu emang sebenarnya masih mau balik ke sana cuma kamu takut?" tebak Atma yang sontak membuat kepala Shia mendongak. Wajahnya tampak kaget bercampur bingung ketika menghadap Atma. "Saya balik. Sampai ketemu besok Shia."

Shia terpaku di tempat. Lagi-lagi sepertinya ucapan Atma kembali tepat. Shia bahkan hanya dapat mematung dengan tatapan terus kepada bayangan punggung Atma yang berjalan ke depan gang sementara gelap sudah benar-benar sempurna di atas kepalanya. Bahkan pendar lampu dari rumah-rumah di dalam gang mulai tampak.

***

TBC

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top