7. Relawan Baru

-

-

Pukul sembilan baru berlalu beberapa menit, matahari pun mulai terik ketika Shia keluar dari dalam rumah dengan ransel lusuh kesayangannya. Sarinah sudah pergi untuk bekerja menjadi pegawai kios sembako di pasar depan gang rumahnya, sementara sang ayah tiri tidak terlihat batang hidungnya sejak semalam dia tiba di rumah.

Terik matahari di atas langit membuat mata Shia menyipit. Lagi, satu hari membosankan harus dia jalani. Meskipun diam-diam perjalanannya dengan Atma hampir satu minggu yang lalu masih membekas di ingatannya. Cara pria itu mengoceh, meminta pendapatnya walau tidak pernah dia gubris, juga bagaimana ucapan pria itu yang selalu bisa membuatnya tertegun.

"Harapan?" decak Shia lalu terkekeh miris selagi keluar dari rumah. Bahkan beberapa hari berlalu, kehidupannya tidak berubah sedikitpun. Sekali pecundang tetap pecundang.

Shia lalu merogoh kantung celananya dan mengeluarkan earphone dari sana. Sebuah lagu menghentak ketika dia pasangkan benda itu ke telinga sebelum melangkah melewati rumah-rumah di dalam gang.

Namun, langkah kakinya yang semula cepat perlahan-lahan melambat. Tatapannya yang semula acuh langsung tertuju kepada satu sosok di depan Rumah Beta yang mengobrol bersama Laras. Tubuh tinggi milik pria yang sedang membantu Laras memindahkan kardus dari halaman rumah Pak RT ke dalam ruang kelas Rumah Beta, menyita fokus Shia. Bahkan tanpa sadar, Shia sudah berdiri mematung di depan Rumah Beta.

"Terus buku-buku bekas dari Yayasan ini taruh di mana?" tanya pria itu kembali mengangkut kardus tersisa.

"Taruh dipojokan rak buku aja, Mas, biar nanti gampang ditata. Eh, Pagi Shia," sapa Laras yang baru keluar dari ruangan kelas Rumah Beta ketika menyadari ada Shia berdiri di depan mereka. "Mau berangkat ke kampus?"

Shia terkesiap. Dia mengangguk sementara matanya masih terus menatap pria yang tersenyum ke arahnya di sebelah Laras. Pria sok tahu yang sudah membuat isi kepalanya tak lagi normal sejak malam itu. Atma.

Laras tercenung kala dia sadar tatapan Shia masih tertuju ke arah lain. "Oh iya, kenalin ini Mas Atma. Dia mulai sekarang bakal bantu aku buat urus rumah Beta."

"Hai, Shia," sapa pria itu seakan tidak peduli dengan kedua alis Shia yang sudah menyatu rapat. Kaus polos dan celana training yang pria itu gunakan hari ini membuat pria itu terlihat normal. Bahkan dia jauh terlihat semakin enak dipandang seperti ini ketimbang biasanya yang terlihat terlalu misterius.

"Hai," sapa Shia singkat. Dari air mukanya, kaget bercampur aneh jelas menghantui kepala Shia.

"Kalian saling kenal?" sela Laras seakan dapat membaca ekspresi keduanya yang tampak tidak canggung untuk saling tatap.

"Enggak sengaja kenal," jawab Shia lagi sebelum Atma menjawab. "Kak, bisa kita ngobrol sebentar?"

Laras mengernyit. "Ngobrol apa?"

"Berdua," tekan Shia sambil menatap datar ke arah Atma.

"Oke, kayaknya saya diusir. Mendingan saya bantu beres-beres di dalam," ujar Atma seperti berbicara sendiri, walaupun jelas-jelas dia mengatakan itu untuk seseorang. "Dah semuanya."

"Kenapa?" tanya Laras setelah Atma meninggalkan mereka berdua.

"Dia siapa?"

"Mas Atma?" tebak Laras yang langsung dijawab anggukan oleh Shia. "Lho bukannya kalian saling kenal?"

Shia menggeleng cepat. "Enggak dekat. Cuma kenal."

"Sebenarnya aku juga baru dikenalin sama Bapak minggu kemarin. Kata Bapak, mulai sekarang dia relawan baru di Rumah Beta," terang Laras mengintip Atma dari balik jendela. "Nantinya dia juga bakal bantu ngajar di sini."

"Relawan baru?" ulang Shia makin tidak paham.

"Kata Bapak, Mas Atma baru kena PHK di tempat kerjanya sebulan yang lalu dan buat ngisi waktu luang sambil cari kerjaan baru, dia mau bantu kami di sini," jawab Laras lagi. "Berhubung kami juga lagi kekurangan relawan, jadi Bapak setuju. Lagian Mas Atma kayaknya orang baik kok."

Shia membisu. Rasa penasaran yang semula berdiam diri di kepalanya perlahan berganti pikiran negatif. Pasalnya, di zaman sekarang terlalu jarang bahkan mungkin sudah tidak ada orang yang ketiban sial, tetapi malah membantu orang lain. Ditambah kelakuan aneh Atma sejak pertama kali mereka bertemu, Shia khawatir ada maksud tersembunyi Atma berada di sini.

"Hei, lihatinnya gitu banget," tegur Laras sembari mencolek bahu Shia. "Kamu kenapa tanya-tanya begitu?"

Buru-buru Shia menggeleng. "Aku permisi dulu, Kak. Ada kelas satu jam lagi. Dah."

"Oke, hati-hati di jalan, Shia. Kalau kuliah kamu lagi senggang, jangan lupa main ke sini ya. Siapa tahu kamu tertarik buat balik bantu ngajar di sini," kata Laras lagi-lagi tanpa pantang menyerah, dia mengajak Shia dengan bibir menyunggingkan senyum.

"Iya," bohong Shia kepada Laras sambil kembali memasang earphone ke telinganya.

Sebelum benar-benar pergi, Shia sekali lagi melirik Atma di dalam ruangan Rumah Beta. Namun, sial. Tatapannya malah bertubrukan dengan Atma tanpa sengaja, ketika pria itu mendadak menoleh keluar jendela.

"Kenapa?" goda Atma menggerakan bibirnya tanpa suara dari dalam ruangan.

Panik. Shia cepat-cepat memasang wajah tak acuh lalu berbalik, sementara langkahnya dia bawa untuk pergi dari sana sesegera mungkin. Yang sayangnya melewatkan kekehan geli milik Atma di belakangnya.

***

Sudah hampir sepuluh menit Shia berdiri di depan papan pengumuman jurusan yang berhadapan dengan ruang administrasi. Selama itu pula tulisan dalam sebuah kertas A4 yang berisi informasi mengenai tugas mata kuliah Produksi Media Kreatif tidak berubah.

Mata Kuliah : Produksi Media Kreatif
Tema : Edukasi

Tugas harus dikumpulkan tanggal 23 Juni.
Kemudian akan dipresentasikan saat Ujian Akhir Semester berlangsung.
Kelompok harus terdiri minimal 3 orang dan maksimal 4 orang

Tanpa sadar, Shia menggenggam tali tasnya kuat-kuat. Bukan karena tugas mata kuliah Produksi Media Kreatif yang dia rasa sulit, hanya saja persyaratan untuk membuat kelompok yang membuatnya kesal. Sebab di mata kuliah ini, Shia tidak memiliki teman dekat. Itu tandanya, sangat kecil kemungkinan ada yang mau berkelompok dengannya. Apalagi di kelas ini, kebanyakan mahasiswa sudah memiliki circle nya masing-masing. Dan Shia, sebagai mahasiswa beasiswa dari kalangan bawah merasa ragu untuk bisa masuk circle manapun. Setelah merenung cukup lama, Shia kemudian mengeluarkan ponsel dari tasnya dan mengetikan sesuatu dalam grup mata kuliah Produksi Media Kreatif.

Kaneyshia :

Buat tugas Pak Bekti ada yang belum punya kelompok?

Gaga :

Sori. Aku udah Shia. Coba tanya yang lain.

Jawab Gaga si mahasiswa dengan nilai paling tinggi di UTS tempo hari. Mahasiswa yang terkenal ambisius untuk lulus 3.5 tahun. Yang mengingatkan Shia akan dirinya di awal perkuliahan dulu.

Meta :

Aku juga udah penuh.

Shia menarik napas panjang dengan tatapan terus memandangi layar ponsel penuh harap. Akan tetapi, tampilan aplikasi chatting itu tidak pernah berubah. Tetap sama. Tidak ada lagi yang merespons pesannya.

Shia mendudukan bokongnya ke kursi panjang di samping kiri papan pengumuman. Amarah dan putus asa menggerayangi dadanya. Padahal jumlah mahasiswa yang mengikuti perkuliahan Pak Subekti hampir 40 orang, tetapi tidak ada seorang pun yang bersedia untuk menjadi teman satu kelompoknya. Sepertinya, Shia harus menemui sang dosen mata kuliah, sebab siapa tahu dosennya itu bersedia untuk memberikan pengecualian baginya. Toh, dia bisa mengerjakan tugas ini seorang diri.

"Gue juga masih sendiri kok."

Shia mendongak ketika suara seorang lelaki terdengar di depannya. Mimiknya langsung malas menemukan Patra sudah tersenyum lebar di sana. "Terus?"

"Lo masih belum ada kelompok, kan?" tanya Patra lagi. Lelaki berambut setengah gondrong itu dengan nyamannya malah ikut duduk di sebelah Shia.

"Kenapa gue? Kenapa enggak gabung ke kelompok yang lain?" balas Shia selagi bola matanya tertuju tajam kepada Patra.

"Kayak di tugas kelompok kemarin. Lo lebih suka ngerjain semuanya sendiri, kan? Dan gue emang malas buat ngerjain tugas. Impas, kan? Lagian karena ini kedua kalinya gue di kelas Pak Bekti, gue enggak mau ngulang lagi," terang Patra, masih coba merayu Shia. "Lagian dari semua mahasiswa, cuma lo kan yang belum dapat kelompok. Dan setahu gue, Pak Bekti  cukup strict soal peraturan. Jadi, sekalinya itu tugas kelompok, ya tugas kelompok. Enggak bisa jadi tugas individu."

Wajah Shia yang semula garang di depan Patra berubah masam. Pasalnya, bila sampai ada mata kuliahnya yang harus mengulang seperti lelaki malas satu ini, maka sudah pasti beasiswa nya bakal dicabut. Bagi Patra mungkin tidak jadi masalah, tetapi bagi Shia ini sebuah musibah. Dia tidak dapat membayangkan ekspresi kecewa milik ibunya bila tahu akan hal ini. Belum lagi, masih ada dua semester lagi yang harus Shia lalui dan bayar. Jelas, Shia tidak memiliki cukup uang untuk itu.

Patra mengulum senyum ketika merasakan aura gamang pada lawan bicaranya. "Gimana? Kok malah ngelamun?"

"Nanti gue pikirin," jawab Shia akhirnya. "Terus satu orang lagi?"

"Biar gue yang cari," kata Patra penuh percaya diri.

"Oke," jawab Shia kemudian bangkit untuk meninggalkan Patra ke lantai dua, lantaran sebentar lagi kuliah hari itu akan dimulai.

"Oke," sahut Patra kegirangan mengulang ucapan Shia. "Tapi kalau bisa, gue tunggu jawabannya besok. Lo kan baca di sana kalau proposal akhir harus udah dikumpulin minggu depan. Yah, gue enggak mau aja dapat harapan palsu dari cewek. Jadi, daripada gue kena PHP mendingan kan gue gabung kelompok lain, kan?"

Shia berdecak. Dia menoleh dan mengangguk ke arah Patra. Sebelum lelaki itu kembali berkomentar, dia pun menaiki tangga di sebelah ruangan administrasi.

Sementara itu, Patra yang masih bergeming di depannya, memandangi layar ponsel dan tangga gedung yang dinaiki Shia tadi bergantian.

"Masa sih dia cewek kayak gitu," gumam Patra dengan air muka terlihat tegang ketika memandangi sebuah foto klab malam di ponselnya masih tidak percaya.

***

Menjelang malam, Shia baru kembali dari kampus. Air mukanya masih serupa dengan pagi tadi. Layu dan minim gairah. Lebih parahnya, rambut sebahu perempuan itu juga ikut lepek seolah-olah hari ini merupakan hari yang paling berat baginya. Padahal hanya ada dua mata kuliah hari ini. Agaknya beban hidup Shia yang membuat dia layu.

Shia tercenung ketika menemukan pintu ruangan Rumah Beta terbuka dari tempatnya berdiri. Lampu teras depan pun sudah menyala. Namun, dia tidak melihat seorang pun berada di sana. Jangankan anak-anak, bahkan batang hidung Laras juga tidak Shia temukan di sana.

Seakan ruangan itu memiliki magnet, Shia lalu melangkah mendekat. Tatapannya langsung menyapu ke tiap sudut teras Rumah Beta. Dia tersenyum masam menemukan rak sepatu kosong dan tanaman hias favorit Laras berjejer di pinggiran dinding Rumah Beta. Rasanya seperti baru kemarin dia ikut merasakan semangat itu di sini. Shia rindu masa-masa itu.

"Seandainya aku enggak ketemu Om-om aneh itu, aku mungkin udah tenang dan enggak ngerasain rasa ini lagi," gumam Shia pelan. Ekspresinya tampak sendu saat menyentuh permukaan rak sepatu kayu di Rumah Beta.

Tok! Tok! Tok!

Shia terperanjat ketika jendela ruangan di depan hidungnya diketuk seseorang dari dalam.

"Daripada otak kamu diisi dengan yang negatif melulu, mendingan bantu saya di dalam."

Mata Shia menyipit. Mukanya langsung kesal menemukan wajah Atma mendadak muncul dari balik jendela.

"Masuk!" perintah Atma menggerakan tangannya.

***

TBC

Acuy's Note :

Halo, gimana kabar? Semoga masih ada yang nunggu cerita ini ya. Aniway, minal aidin wal faidzin mohon maaf lahir dan bathin. Maaf kalau update nya lamaaaaaa bangeettt. 😅

Semoga suka part ini ya. See ya~♡

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top