6. Harapan Itu Kamu
-
-
Tatapan Shia tidak pernah lepas kepada Atma sejak setengah jam yang lalu. Apalagi pria itu dengan cueknya menyesap susu jahe hangat di sebelah Shia tanpa kata. Susu jahe yang pria itu pesan di depan minimarket, tempat mereka pertama kali bertemu.
Shia mendengkus sambil menggenggam gelas miliknya kuat-kuat. Panasnya pun menjalar, tetapi tidak lebih panas dari hatinya yang merasa dikerjai oleh Om-om tua di sebelahnya ini.
"Kenapa kita malah berhenti dan minum susu jahe di sini?" tanya Shia tanpa basa-basi.
"Angin malem enggak bagus buat kesehatan, Shia. Makanya lebih baik duduk di sini sambil minum susu jahe," jawab Atma enteng.
"Terus kenapa kamu ajak saya muter-muter satu jam dan ketemu temen kamu yang aneh di tempat tadi kalau ujung-ujungnya kita balik lagi dan duduk di sini?" cerocos Shia dengan nada datar nan tajam.
Atma mengamati Shia lekat-lekat, kemudian dia mengedik dan kembali menenggak susu jahenya. "Terus? Memang apa ekspektasi kamu?"
Wajah Shia perlahan memerah. Rasa kesal pun memuncak. "Kamu kan yang bilang mau tunjukin saya soal harapan? Sekarang mana? Saya tagih janji kamu."
"Koreksi," kata Atma dengan senyum terpatri di bibirnya. "Pertama, saya enggak pernah janji apapun ke kamu malam ini karena kita baru ketemu tadi di depan minimarket. Kedua, kamu yang tiba-tiba samperin saya ke sini. Ketiga, saya emang mau pergi dan kamu yang mau ikut saya. Keempat."
Kalimat Atma barusan seperti bermunculan keluar menampar wajah Shia dan menimbulkan rasa malu di benaknya diam-diam. Apalagi Atma dengan sengaja menggantungkan kalimatnya.
"Keempat?" gumam Shia spontan.
"Setahu saya keliling sebentar biasanya bisa ngeredain emosi orang sih," kata Atma sambil mengamati Shia. "Tapi kayaknya enggak berlaku buat kamu."
Shia membeku. Ucapan pamungkas Atma seratus persen tepat. Bahkan amarah, kesal, dan sendu yang sedari tadi bersemayam di benaknya berangsur hilang. Hanya ada keinginan untuk kabur dari sana sekarang juga.
Namun, agaknya sulit sebab belum ada pesan dari Sarinah yang memerintahkan dia pulang ke rumah. Maka, untuk mengalihkan segan, Shia pun terpaksa meminum susu jahe di tangannya dan membiarkan sensasi hangat, manis, dan aroma kuat jahe mengalir sampai ke seluruh tubuhnya.
Tubuh Shia yang semula tegang perlahan berubah rileks. Sampai sunyi dibiarkan mengapung di antara dirinya dan pria yang juga sangat menikmati suasana dari jalanan lengang malam itu.
"Kenapa kamu penasaran sama harapan? Bukannya kamu bilang harapan cuma buat orang yang punya previledge?" tanya Atma tiba-tiba ketika gelas di tangannya sudah kosong.
"Saya enggak penasaran," jawab Shia singkat dengan tatapan sengit kepada Atma. "Saya cuma... entah... Lihat sombongnya kamu waktu jelasin itu ke saya pagi tadi. Jujur, buat saya jengkel."
"Jengkel atau penasaran?" sindir Atma tepat sasaran.
Shia berdecak. Gelas susu jahe yang tinggal setengah dia letakan ke atas gerobak si penjual susu jahe.
"Tapi boleh saya tahu kenapa kamu enggak percaya harapan?" tanya Atma bersidekap sambil menghadapkan tubuhnya ke arah Shia yang sudah kembali ke kursinya.
"Kayak yang udah saya bilang tadi pagi, realitanya memang enggak ada yang namanya harapan di dunia. Terlalu naif kalau kita percaya masih ada harapan dalam hidup," terang Shia tersenyum sinis. "Apalagi waktu dengar cerita Leon tadi, soal Molly. Saya justru ngelihat itu sebagai pelarian, bukan harapan. Pelarian dari luka yang satu ke luka yang lain."
Mulut Atma terkatup. Mata pekatnya mengamati Shia dalam diam, seakan-akan ingin mengatakan sesuatu tetapi hanya dapat dia tahan. Di sisi lain, alis Shia menyatu rapat. Sebab ditatap sedemikian lekat dan tanpa kata oleh seorang lelaki seperti sekarang membuat dia tidak nyaman.
Sampai, Atma menarik napas panjang dan mengalihkan pandangannya ke arah minimarket. "Kamu terlalu muda buat selalu pesimis Shia."
Kedua bola mata Shia sontak memancarkan kesan tidak suka yang kental kepada Atma. "Kenapa semua orang sok tahu soal saya. Enggak Leon, enggak kamu. Asal kamu tahu, kamu enggak punya hak buat nilai saya."
"Saya enggak nilai kamu, saya cuma ngerasa kasihan," balas Atma getir.
"Saya enggak butuh dikasihani."
"Bukan kamu. Tapi waktu kamu," balas Atma menoleh kepada Shia.
Shia terdiam lagi. Mukanya sudah ditekuk kesal. Mendengarkan Atma mengoceh asal sedari tadi, jujur membuat dia terusik tetapi penasaran bersamaan.
"Oke daripada kamu ngomong enggak jelas lebih baik saya balik sekarang," pamit Shia bangkit dari duduknya.
"Shia," panggil Atma dari duduknya.
"Apa lagi?" tanya Shia menoleh dengan memasang wajah muak.
"Kamu tahu? Dengan kamu enggak lanjutin bunuh diri kemarin, itu tandanya kamu masih punya harapan sama hidup kamu. Jadi kalau kamu mau tahu apa itu harapan," jelas Atma tiba-tiba tanpa diminta. "Kamu yang berdiri malam ini, itu harapan."
Tubuh Shia terpaku di tempat. Tiap sendinya seperti lemas mendengar ucapan Atma. Air mata diam-diam menumpuk di pelupuknya. Shia bahkan hanya bisa menatap wajah Atma dengan gejolak emosi aneh bertabrakan di dada, tanpa bisa dia kendalikan.
"Jadi, yakin kamu masih enggak tahu apa itu harapan?" tanya Atma sembari mendekati Shia yang buru-buru memalingkan wajahnya dan menggeleng. "Kita mungkin selamanya cuma bakal lari dari luka yang satu ke luka yang lain. Tapi itu hidup. Cuma itu yang kita punya."
Di depan Atma, Shia masih membisu. Setetes air mata turun tiba-tiba. Lintasannya membekukan pipi Shia yang tertiup angin malam.
"Mending kamu balik, udah hampir tengah malam," kata Atma akhirnya. Namun, perempuan itu tetap bergeming dan enggan melirik Atma, sementara tangannya terkepal menahan emosi. "Saya pulang. Malam Shia."
Suara Atma dan penjual susu jahe saat membayar minuman mereka terdengar kemudian. Meninggalkan Shia yang masih betah berdiri di posisinya sambil sekuat tenaga menahan tangis. Tangis yang pada akhirnya tidak lagi dapat dia tahan, ketika bisingnya knalpot motor Atma terdengar menjauh. Sambil mengusap kasar air mata di pipinya, Shia memberanikan diri memandangi motor Atma yang tinggal bayangan di kegelapan.
***
Hampir pukul dua belas Shia sampai di rumahnya. Sepi menyapa Shia ketika dia membuka kunci pintu dan memasuki ruang depan. Ayah yang biasanya duduk di depan televisi tidak ada, begitupun ibunya. Hanya ada suara kipas angin sayup-sayup terdengar dari kamar berukuran kecil milik kedua orang tuanya di sebelah kiri pintu utama.
"Kamu udah balik, Nduk?"
Shia tersentak kala ibunya muncul dari kamar mandi dan menghampiri dirinya.
"Kamu udah makan? Maaf ya Ibu lupa telepon kamu kalau ibu udah di rumah," kata Sarinah lagi berdiri di depan Shia. "Oh iya, Ibu masak nasi goreng loh. Makan dulu ya. Ibu sama Bapak udah makan tadi, tapi Ibu sisain buat kamu. Ayo!"
Shia termangu dengan pandangan menelisik ke wajah Ibunya. Dia baru tersadar jika sudah banyak keriput di wajah Sarinah, selain luka sobek di bibir wanita tua itu yang sudah mengering dan bekas kemerahan di pipinya. Jelas, Shia tahu siapa orang yang menciptakan luka-luka itu di sana.
Namun, apa haknya mengomentari semua itu. Nyatanya, itu semua keinginan Sarinah, meskipun Shia sangat kecewa dengan keputusan ibunya itu.
"Nduk, duduk dulu. Ibu siapin kamu makan ya."
Shia terkesiap. Spontan perempuan itu menggeleng pelan. "Aku udah kenyang."
Tak acuh, Shia berjalan menuju kamarnya dan meninggalkan Sarinah yang mematung di meja makan. Meskipun sekilas, Shia dapat menangkap kesan kecewa terpasang di wajah Sarinah sebelum dia masuk ke dalam kamar. Namun, Shia terlalu lelah malam ini.
Sampai di dalam kamar, Shia menjatuhkan badannya ke atas kasur. Pandangannya pun dia biarkan mengelana ke langit-langit kamar. Ingatan kejadian malam ini rupanya menghantui pikiran Shia. Tentang Leon, Atma dan kejadian malam itu. Perlahan senyuman miris muncul di bibirnya.
"Harapan," gumam Shia sinis sebelum matanya menutup malam itu.
***
TBC
Acuy's Note :
Gimana part ini? Tenang... blom mulai aduk aduk emosi. Masih seperempat jalan. Anggap pemanasan ya.
Sedikit spoiler, bakal ada cameo dari cerita cuy sebelum-sebelumnya. Siapa dia? Ada yang bisa tebak? Coba komen di sini ya. Hihihi
Anyway, ada yang udah baca cerpen aku di akun WattpadIndonesia ?Buat yang belum, jangan lupa baca juga cerpen cuy di sana yang judulnya "Ketika Langit Biru Berubah Senja" ya. Dan, jangan lupa kasih komentar gimana sih kesannya setelah baca cerpen Cuy di sana.
Sampai ketemu di part selanjutnya. Luv ya~♡
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top