3. Pertemuan Kedua
-
-
Rintik gerimis terdengar riuh dari balik jendela ruang kelas 301. Shia yang duduk pada bangku di bagian tengah terlihat asyik menonton gerimis ketimbang dosen Media dan Kajian Budaya. Dia bahkan tidak memedulikan penjelasan mengenai studi resepsi dari mulut dosen berumur 50-an itu.
Shia menoleh ke kanan. Pandangannya memutari tiap jengkal ruang kelas dan mahasiswa yang sibuk mencatat, kemudian berhenti pada bangku kosong di barisan paling depan. Masih sama. Mata kuliah ini masih kehilangan satu mahsiswanya. Namun, seperti halnya kepada Shia, hampir semua mahasiswa di kelas ini pasti tidak ada yang peduli.
Shia mengembuskan napasnya dalam-dalam dan kembali menekuri sekumpulan air yang turun dari balik jendela. Akan tetapi, diam-diam gerimis membawa pikirannya berlari ke belakang, pada kejadian semalam.
Kalau kamu, apa yang kamu sukai dalam hidup?
Buku-buku jari tangan Shia memutih saat dia menggenggam pulpen di atas mejanya dengan kencang. Rasa gelisah menjebak Shia ketika ucapan pria aneh itu kembali terngiang-ngiang di telinganya.
Bahkan, dada Shia kini dipenuhi ribuan tanda tanya mengenai sosok Atma. Pria yang Shia taksir berumur hampir empat puluh tahun itu terasa amat janggal di kepalanya. Dia merasa aneh sebab ada orang yang tidak dia kenal mau berbaik hati mentraktirnya makan semalam, walaupun hanya sekadar nasi goreng gerobak dari penjual di samping minimarket.
Lebih-lebih, Atma terus bercerita panjang lebar seolah tanpa sekat dengannya. Mulai dari pembicaraan receh semacam gosip artis sampai berceloteh garing yang membuat alis Shia mengernyit dalam.
Namun, lagi-lagi pertanyaan terakhir Atma -- yang semalam sulit Shia jawab -- kini mengganggunya.
"Jadi, ini assesment minggu ini. Harap dicatat dan jangan lupa kalian kumpulkan via email sebelum hari Minggu tengah malam."
Gesekan antara buku dan kertas serta deritan kursi di ruang kelas terdengar seiring dosen itu pergi dari dalam kelas. Shia masih mematung di bangkunya. Sampai obrolan dua orang mahasiswi mengenai tugas exhibition membuat dia tersenyum miris.
Tanpa menunggu lebih lama lagi, Shia mengeratkan jaket ke tubuhnya dan melewati dua orang mahasiswa tadi tanpa kata. Kontan saja, menimbulkan tatapan tidak suka dari keduanya. Namun, hanya sesaat, sebab keberadaan Shia memang tidak sepenting itu.
***
Jam baru menunjukkan pukul delapan malam ketika Shia tiba di dalam minimarket. Di luar gerimis masih turun, bahkan semakin deras. Usai mengambil satu botol air mineral dingin, Shia berjalan menuju kasir.
"Lima ribu rupiah, Kak," ujar seorang penjaga minimarket usai memindai botol minuman Shia.
"Di luar kan hujan, kenapa minum yang dingin-dingin?"
Shia menarik napas dalam-dalam, kemudian menoleh ke kiri ketika suara pria itu muncul. Dia melihat Atma tanpa canggung ikut mengantre di belakangnya dengan kopi panas di tangan kanan.
Bila Shia lihat sekali lagi, wajah pria ini bisa dibilang cukup lumayan untuk seseorang yang sudah berumur. Terlihat dari rahangnya yang tegas, alis tebal, dan kulit cerah yang terlihat kontras dengan jaket berwarna cokelat gelap miliknya. Selain itu, kedua mata gelap milik Atma juga terlihat misterius.
"Kenapa? Ada yang aneh dengan muka saya?" kekeh Atma membuat Shia buru-buru mengalihkan tatapannya kepada penjaga kasir yang masih menunggu pembayaran darinya.
"Maaf," ucap Shia memberikan uang lima ribu rupiah kepada kasir minimarket.
Usai bertransaksi, Shia buru-buru menghindar sebelum pria aneh itu kembali berisik dan memberikan pertanyaan yang tidak kalah aneh kepadanya.
Namun, cuaca sepertinya punya rencana berbeda. Gerimis di luar minimarket malah semakin deras membasahi jalanan. Akhirnya, Shia memilih duduk pada meja di depan jendela besar minimarket dan diam mengamati hujan. Sampai suara deritan kursi di sampingnya terdengar nyaring. Shia mendesis ketika tahu sosok yang ikut duduk di sebelahnya.
"Enggak ada larangan kan buat nunggu hujan reda di sini?"
Shia mengangguk, tanpa kata. Begitupun Atma yang tatapannya terpaku pada kendaraan-kendaraan bermotor yang sudah basah kuyup menerjang hujan.
Shia mengembuskan napasnya berat. "Malam dan hujan."
Kedua alis Atma menyatu. "Maksudnya?"
"Kemarin kamu tanya kan apa yang paling saya sukai?"
Sesaat Atma termenung, lantas mengangguk-anggukan kepalanya.
"Dua hal itu yang paling saya sukai," terang Shia dengan kedua matanya menikmati hujan di luar sana.
"Sebentar saya tebak. Biar kamu bisa tidur nyenyak? Betul, kan?" kekeh Atma menyeruput kopi hitamnya.
Shia menggeleng tanpa sedikitpun melirik Atma. "Karena hujan yang riang bisa redam suara tangisan dan pekatnya malam bisa sembunyiin air mata."
Di tempatnya, Atma tersenyum tipis. "Pemikiran kamu terlalu berat buat orang-orang seumuran kamu Shia."
"Berat enggaknya pemikiran saya enggak ada hubungannya dengan orang-orang yang kamu bilang seumuran saya itu. Karena sedari awal saya memang enggak sama dengan mereka," gumam Shia menarik napas dalam saat dadanya terasa sesak.
"Pernah coba berdiri dalam hujan?" tanya Atma menunjuk hujan yang semakin deras di depan mereka. "Hujan jauh lebih seru lho kalau kamu ikut masuk ke sana."
"Saya takut petir," jawab Shia pelan.
Kedua sudut bibir Atma terangkat naik. "Seseorang yang enggak takut mati tapi takut petir. Lucu."
"Udah saya bilang obat kemarin bukan punya saya," gerutu Shia keki.
"Oke, saya percaya," ujar Atma pasrah.
"Pernah dengar penelitian kalau kemungkinan dari 0.002% semua petir di dunia bisa nyambar kita?"
Atma menganga takjub. "Tapi kan cuma 0.002%. Sisa 99% nya?"
"Gimana kalau justru kita jadi yang 0.002% nya?" sahut Shia melirik Atma.
"Kenapa kamu malah musingin angka yang bahkan enggak sampai 1%, ketimbang yang 99%?"
"Enggak sampai satu persen pun tetap angka, kan?" jawab Shia cepat.
Atma mengangguk-anggukan kepalanya sambil menahan senyum. "Terlalu pesimis kalau kamu melihat kurang dari 1% dari 100% kesempatan."
Shia memilih diam. Wajahnya yang datar kembali menghadap keluar. Sementara bibirnya semakin membiru akibat hawa sejuk dari pendingin ruangan minimarket yang menggigit. Beruntung, kurang dari lima menit hujan mulai reda di depan sana.
"Saya duluan. Permisi," pamit Shia meninggalkan Atma tercenung sendiri di sudut minimarket.
Di luar, kesan becek dan basah menyambut Shia saat dia menyusuri gang-gang panjang menuju rumahnya. Sampai tiba-tiba dia merasakan ada seseorang yang mengikuti dia dari belakang. Shia yang bingung pun berbalik.
"Kamu ngapain ikutin saya?" protes Shia menemukan Atma berjalan di belakangnya.
Atma mengedik. "Saya enggak mau ngikutin kamu. Saya cuma mau jalan-jalan lihat daerah sini."
Shia melirik Atma dari ujung kepala ke ujung kaki, kemudian kembali melangkah.
"Kamu tinggal di sini?" tanya Atma masih setia di belakang Shia.
Shia mengangguk sambil terus melangkah.
"Udah lama tinggal di daerah sini?" tanya Atma lagi.
"Sejak lahir saya di sini," jawab Shia cepat.
Mereka lalu membisu dengan kedua kaki terus melangkah.
"Itu apa?" tanya Atma tiba-tiba.
Shia menghentikan langkahnya. Kepala perempuan itu menoleh ke belakang lalu bergerak ke kanan mengikuti arah pandang Atma. Sebuah area yang terisolasi dengan pondasi yang sepertinya gedung bertingkat tampak beberapa meter dari mereka berdiri.
"Apartemen," jawab Shia lagi. "Setahun yang lalu ada perusahaan property yang mau bangun apartemen di sini."
"Terus?"
Shia mengedik. "Karena harganya di bawah NJOP, orang-orang di sini pada nolak buat jual tanah mereka. Lagipula terakhir kali saya dengar perusahaan kontraktornya malah kena kasus penyuapan. Makanya proyek di sana jadi terbengkalai."
Atma termenung mengamati bangunan di depannya.
"Baguslah kalau mereka kena tangkap. Biar makin dikit orang sombong kayak mereka," ujar Shia dengan tak acuh, lalu kembali melanjutkan langkahnya.
"Tapi bukannya lebih baik daerah ini ditata? Daripada berantakan kayak gini. Enggak cuma warganya lho yang bisa kejangkit penyakit, tapi juga penampilan kota jadi kelihatan kumuh."
"Jadi, maksud kamu kita sebagai warga di sini ganggu pemandangan dan lebih baik digusur?" ketus Shia berbelok ke kiri menuju sebuah gang kecil yang lebih padat. Bahkan, saking padatnya beberapa warga membuka toko kelontong di pinggiran gang.
"Bukan begitu maksud saya. Cuma bukannya lebih baik kalau uang ganti ruginya kalian pakai buat pindah ke tempat yang lebih layak?"
Shia melipat kedua tangannya. "Jadi, hidup kita di sini bagi kamu enggak layak?"
Atma yang merasa salah bicara mengatupkan bibirnya. Dia kemudian menggeleng. "Maksud saya, bicara kenyataannya aja daerah ini jauh dari kata layak buat ditempati, kan? Lihat aja sekeliling kamu, apa kata-kata saya salah kalau bilang tempat ini kurang layak dihuni?"
Shia mengepalkan kedua tangannya menahan kesal. Namun, tatapan tajam seorang pria paruh baya di depan warung kopi tiga meter dari tempat Shia berdiri, mengunci mulutnya.
"Terserah kamu mau bilang tempat ini apa, saya enggak peduli," potong Shia. "Tapi mau sampai kapan kamu mau ikutin saya? Bukannya kamu bilang mau lihat-lihat daerah sini?"
"Oke," ucap Atma tersenyum tipis. "Sampai ketemu besok Shia."
"Dasar aneh," gerutu Shia sambil mengeratkan tali ranselnya.
Sambil menundukkan kepalanya dalam-dalam Shia berjalan melewati sang ayah, yang telah mengamati dia sedari tadi dengan tatapan tidak suka. Kemudian tanpa sapa, Shia masuk ke dalam salah satu rumah petak.
***
TBC
Acuy's Note :
Mohon maaf karena aku lama banget gak update. Jujur, beberapa minggu ini semangat nulis tetiba drop. Entah kenapa... :(( doakan aja semoga semangat nulis balik ya, dear.
Dan, buat yang kangen sama aku bisa cek instagram aku di @ mooseboo_ karena aku lumayan aktif di sana. Thank you.
Satu lagi, per tanggal 15 Februari 2020 "Katanya, Dongeng Soal Cinta" bakal aku hapus. Dan, si Ipi bakal pindah ke instagram hihihihi. Kalo pada kepo dan kangen ipi jangan lupa follow akunnya ya. Nanti aku share di sini. Sampai ketemu lagi dengan Ipi dan mari belajar soal cinta. 😊😊😊😊
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top