2. Pria Aneh

-

-

"Punya korek?" tanya pria itu lagi.

Shia mengusap air matanya dan menggeleng kebingungan. Sementara pria aneh itu berdecak, menyilangkan kedua tangannya, dan mengawasi Shia lekat. Entah apa yang ada di pikiran pria itu, sebab tatapannya yang lebih dingin dan pekat dari udara malam ini membuat Shia kurang nyaman. Segera, Shia mengemasi barang-barangnya dan pergi dari sana.

"Mau ke mana?"

Shia berhenti sejenak sambil membuang muka. "Bukan urusan kamu?!"

"Obat kamu ketinggalan."

Pelan-pelanm Shia melirik pria itu melalui ekor matanya. "Bukan punya saya."

Pria itu mengedik. Kemudian dia mengeluarkan pemantik api dari kantung celana denimnya. Kemudian dia membakar benda kecil di tangannya dengan wajah setenang danau. Asap tipis naik ke udara tidak lama setelahnya. Shia behkan melihat pria itu beberapa kali mengembuskan asapnya seperti sangat menikmati.

Sontak saja, Shia berdecak sebal. Pasalnya baru sedetik yang lalu, pria itu meminta korek api kepadanya. Sekarang dia malah asyik menikmati rokok dengan pemantik api dari dalam celana denimnya.

"Maksud kamu apa?!" semprot Shia kembali mendekat.

Pria berambut hitam dengan potongan berantakan itu mendongak. "Maksudnya?"

"Buat apa kamu samperin saya buat tanya korek, kalau sedari awal kamu punya korek sendiri?"

"Emang ada aturannya orang enggak boleh pinjam korek ke orang lain kalau dia udah punya korek sendiri?" balas pria itu tersenyum lebar seraya menepuk kursi di sebelahnya, meminta Shia untuk duduk. "Saya Adyatma. Panggil aja Atma. Kamu?"

Shia diam di tempat. Jangankan berniat untuk menyambut uluran tangan Atma, senyum tengil ditambah roman wajah yang lebih mirip sindiran baginya itu membuat Shia tidak nyaman. Belum lagi, tekstur wajah pria itu terlihat sangat dewasa. Shia yakin umur pria itu jauh lebih tua darinya. Jelas, Shia semakin curiga.

Atma menghisap dan menghembuskan rokoknya lagi ke udara saat tidak ada respons berarti dari Shia. Tak lama, dia terkekeh. Entah hal lucu apa yang membuat pria itu tertawa seperti sekarang.

"Saya ada dua penawaran ke kamu. Terserah kamu mau ambil yang mana, karena setelah itu saya enggak bakal ikut campur urusan kamu," jelas Atma memunguti pil-pil di bawah meja dan meletakkannya kasar ke atas meja. "Pertama, kamu bisa duduk di sini dan temani saya malam ini. Mungkin kita bisa ngobrol macam-macam sampai pagi."

Atma kemudian bangkit. "Kedua, kamu bisa pergi dari sini sama pil-pil ini dan dengan senang hati saya enggak akan ganggu rencana kamu buat bunuh diri," katanya mengembalikan pil-pil tadi ke tangan Shia.

Shia terpaku. Matanya perlahan berubah nanar, air mata pun mulai berjatuhan dari pelupuknya. Masih di tempatnya, Shia menoleh ke kiri mengamati Atma yang kembali duduk menikmati rokoknya dan segelas kopi hitam dari minimarket yang entah sejak kapan sudah menyanding di atas meja.

"Tenang aja saya bukan pedofil yang suka dengan gadis lebih muda," kekeh Atma seperti dapat membaca isi pikiran Shia. "Jadi, apa yang kamu pilih?"

Sejenak Shia terpaku. Tangan kanannya yang menggenggam pil-pil itu tampak bergetar. Apalagi ketika dia memandangi sosok Atma yang tampak tidak acuh di sebelahnya. Sambil menahan air di pelupuk matanya yang mulai penuh, Shia menarik napas panjang dan kembali duduk di kursi semula.

"Kaneishia. Nama saya," jawab Shia menunduk dalam.

"Nama kamu cantik. Jadi, saya harus panggil kamu apa?"

"Shia."

"Oke. Jadi, kamu mau temani saya malam ini?"

***

Suara hiruk-pikuk dari tetangga sebelah bercampur dengan teriakan penjual bubur ayam pada gang sempit di depan rumah Shia pagi ini.

Shia yang masih berbaring di atas kasur, menggeliat pelan. Matanya kemudian membuka dan mengerjap perlahan. Setelah terbiasa, bola mata itu memandangi langit-langit kamar. Bukan tengah mengamati bercak kehitaman khas jamur yang berbekas di sana, melainkan ini tentang Atma.

Shia merasa kejadian semalam seperti mimpi aneh baginya. Walaupun tidak mungkin sebuah mimpi dapat membuat jaket parkanya basah kuyup dan teronggok begitu saja dalam kotak baju kotor di sudut kamar. Namun, pertemuannya dengan Atma semalam yang membuat nalarnya sulit mencerna dengan baik.

Shia menggeleng dan menepis bayangan Atma serta obrolan mereka semalam. Lelah mengamati langit-langit, Shia bangkit dan duduk di atas kasur. Sementara tatapan kosongnya berputan mengitari kamar.

Kamar yang tidak lebih baik dengan kondisi Shia semalam. Sobekan foto, pakaian yang berserakan, tisu kusut, dan beberapa benda bergeletakan asal di lantai.

Setengah hati, Shia kemudian mengambil sapu dan membuang semua hal yang baginya sampah itu ke tempat yang semestinya. Sejenak dia merenung sambil memandangi satu per satu benda tadi yang sudah bercampur di dalam tempat sampah. Mungkin seharusnya dia juga ikut masuk ke sana. Shia tersenyum miris.

"Nduk, udah bangun? Sarapan dulu, yuk!"

Suara ketukan Sarinah, Ibu Shia, menyadarkan gadis itu dari lamunannya. "Iya," jawabnya singkat.

Bau telur goreng menyambut Shia begitu tubuhnya sudah berada di luar kamar. Aromanya terendus nikmat dari dalam dapur. Shia pun melangkah ke arah jemuran untuk mengambil handuk dan masuk ke dalam kamar mandi.

"Kalau udah mandi langsung sarapan biar di kampus enggak pingsan kamu."

Kepala Sarinah dari dalam dapur menyumbul ke arahnya. Shia yang baru akan masuk ke kamar mandi, mengangguk. Shia mengangguk. Diam-diam tatapannya bergerak mengamati tiap lekuk wajah Sarinah. Bahkan dengan bekas luka lebam di bibir, Ibunya itu masih bisa tersenyum dan melempar candaan kepadanya.

Shia menahan sekuat tenaga rasa yang bercampur aduk di benaknya. Entah apa jadinya senyuman sang ibu tadi bila tahu apa yang hampir terjadi dengannya semalam. Kemungkinan besar, pasti akan hilang bersama dirinya.

Kurang dari setengah jam, Shia sudah rapi di meja makan. Suara dengkuran lamat-lamat terdengar. Shia tahu pria itu pasti baru kembali subuh tadi. Pria yang mengaku sebagai ayahnya, tetapi selalu berlaku seenak hati.

"Kamu semalam habis dari mana?" tanya Sarinah berbisik seperti tidak ingin pria di sofa itu terbangun.

"Jalan sama teman," jawab Shia asal.

"Mbok ya jangan malam-malam. Ibu khawatir. Apalagi semalam hujan gede banget," nasehat Sarinah masih dengan suara pelan. "Terus kamu sampai di rumah jam berapa semalam? Kok enggak bangunin Ibu?"

Shia yang baru menyuap beberapa nasi ke dalam mulut, menjatuhkan sendok kembali ke piringnya, dan bangkit. "Aku berangkat ya, Bu. Ada praktikum jam sembilan."

"Makanannya enggak dihabisin, Nduk?"

"Takut telat."

"Mau Ibu bungkusin buat bekal?"

Shia menggeleng dan mencangklongkan tasnya ke bahu.

Sarinah menyerah. Dia pun mengangguk maklum. Meski, dari ekspresinya jelas masih ada yang mengganjal saat menatap anak semata wayangnya itu untuk pergi.

"Ya udah. Kamu hati-hati ya, Nduk."

Shia mengangguk pelan dan mencium punggung tangan sang Ibu. Sebelum benar-benar keluar rumah, Shia sempat melirik pria di atas sofa dengan wajah jijik.

Panasnya matahari Jakarta menyambut wajah Shia beberapa detik kemudian. Suara berisik dari arah kanan dan kirinya menciptakan suara musik tersendiri bagi Shia. Seolah Jakarta belum menjadi Jakarta bila tidak berisik seperti sekarang ini.

Setelah sampai di depan gang, Shia berbelok ke kanan hingga ke depan jalan utama. Sebab hanya di jalanan utama ada kendaraan umum yang lewat. Sambil berlindung di bawah halte tua, Shia mengamati jalanan di depannya tanpa minat. Tidak hanya soal jalanan, tetapi Shia memang sudah kehilangan semua minatnya kepada dunia ini.

Terkecuali satu, Atma. Pria aneh semalam, yang tanpa disadari memunculkan ribuan tanya di benak Shia.

***

TBC


Acuy's Note :

Buat yang cari rom-com kayak cerita aku sebelum-sebelumnya, bukan di sini ya. Hihihihi. Tapi tenang aku bakal bikin rom-com lagi Insya Allah di bulan Februari, bareng penulis yang lain. #code

Anyway, semoga suka! :D

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top