12. Pria Sebaik Atma
-
-
Jam sudah hampir menunjukkan pukul enam sore ketika Shia menyelesaikan tugas terakhirnya di studio tato milik Leon. Sudah hampir dua minggu sejak dia mulai bekerja di sini, dan Shia merasa kerasan. Apalagi Leon ternyata tidak seburuk penampilan dan ucapannya, lelaki itu tidak sungkan mengajarkan Shia cara membersihkan studio beserta seluruh tetek bengeknya. Selain itu, Leon selalu memberikan uang transport harian kepada Shia di luar perjanjian gaji per jam.
Semenjak Shia bekerja di sini, dia sudah sering menyaksikan proses pembuatan tato yang dilakukan oleh Leon. Shia tidak menyangka bila Leon rupanya seorang seniman tato yang handal dan memiliki reputasi yang baik.
Pelanggan-pelanggan yang datang ke studio tato ini juga sangat beragam dan kebenyakan bukan orang sembarangan, mulai dari anak nongkrong hits, selebgram, artis, hingga anak seorang pejabat, yang Shia tidak tahu namanya tetapi pernah melihatnya di televisi. Saking banyaknya, Shia terpaksa merangkap sebagai admin studio untuk membantu Leon mengatur janji temu dengan klien. Namun, di antara semua pelanggan yang datang dan pergi, ada satu orang perempuan yang menarik minat Shia.
Anita. Seorang perempuan bertubuh seksi, berambut panjang hampir menyentuh pantat, feminin, dan manis yang selalu menggunakan lipstik merah marun tiap kali berkunjung. Perempuan manis itu juga hampir setiap hari datang ke studio dan bertemu dengan Leon.
Awalnya, Shia pikir Anita itu kekasih Leon. Lebih-lebih Shia hanya melihat Leon merajah tubuh Anita satu kali di bahu kanan. Sisanya, perempuan itu lebih sering duduk menemani Leon saat merajah tubuh klien lain atau mengobrol di dalam ruangan Leon. Akan tetapi, setelah diperhatikan dengan seksama, gerak-gerik Leon saat bersama perempuan itu justru lebih terlihat seperti cinta bertepuk sebelah tangan. Sebab Anita selalu memberi jarak tiap kali interaksi mereka terlalu jauh.
Seperti hari ini, Leon sebenarnya sudah memiliki janji dengan klien lain dalam lima belas menit. Namun, Anita tiba-tiba datang. Kemudian sama seperti hari-hari biasanya dia akan menemui Leon dan terlibat dalam percakapan yang seru, seolah-olah tidak memperdulikan keberadaan Shia.
"Mau ada klien?"
Leon mengangguk sembari merapikan peralatan rajahnya ke atas meja. "Tumben datang jam segini. Enggak siap-siap kerja?"
Anita menggeleng. Dia kemudian duduk di sofa sambil menyilangkan kakinya. Shia yang berdiri pada salah satu sudut ruangan sampai menelan ludah kasar ketika paha mulus Anita tersingkap dari rok mini di tubuh perempuan itu. Dia pun berbalik dan sibuk menyapu sudut.
"Gue lagi ambil libur hari ini. Tadinya mau ngajakin lo jalan. Tapi kayaknya lo lagi sibuk," gumam Anita sambil mencebik.
"Mau jalan ke mana? Kalau lo mau nunggu sebentar enggak apa-apa sih. Paling jam delapan juga udah beres," jawab Leon kemudian duduk di sebelah Anita.
"Oke. Kalau gitu gue tunggu lo aja," ujar Anita menggenggam tangan Leon erat. Gerakan itu disambut hangat oleh Leon dengan menyandarkan kepalanya ke bahu Anita. Namun, sambil terkekeh Anita mendorong pipi Leon menjauh.
Tak lama, suara ponsel Leon terdengar. Dia segera mengambil ponsel di atas rak dan menerima panggilan itu di dalam ruangannya.
Ditinggal berdua, Shia makin merasa kikuk. Dia tidak mungkin masuk ke ruangan Leon. Begitupun keluar dari studio, karena masih ada peralatan Leon yang harus dia siapkan sebelum klien tiba. Akhirnya, Shia menunduk dalam sambil terus merapikan barang-barang Leon.
"Lo... pasti pegawai baru Leon, kan?"
Pertanyaan Anita membuat Shia gusar. Ini pertama kalinya Anita mengajak dia bicara.
"Kok diam?"
Shia mendongak dan mengangguk.
"Pantas tempat ini kelihatan lebih rapi," ujar Anita mengeluarkan sebatang rokok dari dalam tas tangannya. "Lo mau?"
Segera, Shia menggeleng. "Saya enggak merokok."
Anita mengedik. Dia membuat bara api kecil di gulungan tembakau itu. Asap tipis pun merangkak naik. "Oh iya, kenalin gue Anita. Lo?"
"Saya Shia."
Sambil membuang asap dari mulutnya, Anita tertawa pelan. "Pakai gue-lo aja. Santai aja kali."
Shia menggeleng. "Saya enggak biasa ngobrol pakai gue-lo sama orang asing. Apalagi Mbak kayaknya jauh lebih tua dari saya."
Gelak tawa milik Anita terdengar kencang. Tatapannya mengamati Shia dari ujung kaki hingga ujung kepala. "Gue enggak nyangka Leon bisa hire asisten sepolos lo. It's okay, gue enggak peduli lo mau panggil gue apa. Tapi gue penasaran kok lo bisa kenal Leon dan kerja di sini? Setahu gue Leon enggak ada pasang loker dimana-mana."
"Saya direkomendasikan Atma buat kerja di sini."
Anita mengangguk-anggukan kepalanya. "Oh... Atma. Pantas. Hm... tapi udah lama juga gue enggak lihat dia datang ke club. Biasanya dia selalu nempel sama Leon tiap kali nengokin gue kerja."
Tanpa sadar, Shia menatap Anita ketika kata "kerja" dan "club" sampai ke telinganya.
"Kenapa? Kaget gue kerja di club? Lo enggak percaya?" tanya Anita membuat Shia panik. Shia mengangguk sungkan. "Masa sih? Mungkin keseringan gaul sama Leon gue jadi kelihatan kayak wanita baik-baik. Bagus deh."
Shia mengeratkan pegangan di sapunya. Senyum terpaksa muncul di bibir, seolah-olah bingung harus merespons ucapan Anita dengan ekspresi seperti apa.
Anita kembali terkekeh kala membaca gerak-gerik Shia yang ganjil. "Tenang aja. Sebejat-bejatnya gue. Gue enggak akan ganggu orang lain selama orang lain itu enggak jahat sama gue. Termasuk elo."
"Maaf. Saya cuma enggak terbiasa."
Sambil menggoyang-goyangkan tangannya, Anita menggeleng. "Santai. Gue udah biasa kok dapat tatapan aneh dari orang. Tapi... hidup tetap butuh uang kan? Sama kayak lo yang juga harus kerja di sini. Padahal gue lihat... kayaknya lo enggak satu dunia sama Leon."
Shia mengangguk. "Awalnya saya juga ngerasa gitu. Tapi karena Atma dan Leon yang juga sering bantu saya. Saya rasa buat sekarang... seenggaknya sampai lulus kuliah dan selama pekerjaan itu enggak melanggar hukum, saya coba jalanin."
Anita mengulum senyum tipis ketika mendengar penuturan Shia.
"Eh... sori. Saya enggak ada maksud buat ngehina pekerjaan Mbak."
Anita menggelang cepat. "No. Gue tahu kok maksud lo bukan jelekin gue. Dan sebenernya... gue juga setuju sama kata-kata lo. Seandainya dulu gue punya pilihan lain, gue juga pasti bakal milih pilihan itu."
Tawa di wajah Anita berubah sendu. Sambil menghisap sisa rokoknya, Anita menerawang jauh ke depan dan membawa ingatannya kembali ke masa lalu.
Shia hanya dapat merenung dan menaruh iba ketika tanpa sungkan Anita mulai berbicara tentang pekerjaannya di klub malam dan pertemuannya dengan Leon. Dari cerita yang dikeluarkan oleh Anita, Shia menyadari bahwa tidak semua orang yang bekerja di dunia malam seburuk itu. Banyak dari mereka bekerja karena terpaksa. Bahkan awalnya tidak terbersit sedikitpun mereka terjerumus ke dunia itu.
Salah satunya Anita. Di balik penampilannya, Anita hanya satu dari sekian banyak perempuan yang berubah menjadi tulang punggung keluarga. Pendidikan dan keuangan yang pas-pasan membuat dia terpaksa melakukan pekerjaan itu.
Shia semakin mengeratkan pegangan ketika sadar latar belakang Anita rupanya tidak jauh berbeda dengan dirinya. Terlebih ketika dia mengingat kelakuan ayah tirinya. Shia beruntung masih memiliki ibu yang selalu mendukungnya.
"Jadi saran gue, seberat apapun hidup lo, jangan pernah patah semangat. Semua orang punya jalannya masing-masing buat bahagia," lanjut Anita meletakan puntung rokok ke dalam asbak. "Tapi jangan pernah berpikir buat jadi kayak gue. Apalagi lo bilang, lo mahasiswa, kan? Gue percaya hidup lo pasti lebih baik dari gue."
Mata Shia berkaca-kaca mendengar ucapan Anita. Dia merasa tertampar ketika teringat kejadian beberapa bulan lalu saat dia pertama kali bertemu Atma. Seberat apapun kehidupan Shia, dia sadar masih ada yang bisa dia harapkan dari itu.
"Lo nangis? Astaga... gue jadi terharu karena omongan gue bikin orang tersentuh. Sebentar." Anita bangkit sembari mengambil sekotak tisu dan menyerahkannya ke tangan Shia. "Ngelihat lo, gue jadi inget adik gue di kampung. Semoga dia bisa sepinter dan sekuat lo ya."
Shia menggeleng. Anita tidak tahu seberapa kalutnya Shia sebelum bertemu Atma. Shia mungkin tidak akan sekuat sekarang tanpa Atma.
"Kalian kenapa? Ada yang habis nonton sinetron sampai nangis-nangis gitu?"
"Kepo deh lo," decak Anita ketika Leon kembali ke ruangan usai mengangkat telepon.
"Mas Wildan enggak jadi dateng. Masukin lagi aja barang-barang gue ke dalam rak, Shia. Gue kayaknya mau tutup lebih awal," perintah Leon dibarengi anggukan Shia.
"Mau ke mana lo?" tanya Anita penasaran.
Kening Leon mengerut. "Lah, kan tadi lo yang mau ajak gue jalan?"
Anita menggeleng. "Tawaran gue udah basi. Gue mau balik ke kontrakan aja. Tidur. Lagian kapan lagi kan gue dapet cuti."
"Lah, serius enggak jadi?" tanya Leon masih tidak percaya.
Anita mengambil tas tangannya dan melambaikan tangan. "Gue balik ya. Bye Le, Bye Shia. Nanti kita ngobrol lagi."
Setelah Anita pergi, Shia melanjutkan pekerjaannya. Sementara Leon berkacak pinggang sambil menatap kecewa pintu depan studionya.
"Tadi lo sama Anita ngobrol apa aja? Serius banget sampai nangis-nangis," tanya Leon meletakan bokongnya ke sofa.
"Siapa yang nangis?" seru Shia menahan malu.
"Kan gue cuma nanya. Kenapa lo pakai sewot," decak Leon kemudian memandangi puntung rokok dengan noda merah di dalam asbak.
"Lo... ada rasa ya sama Mbak Anita?" tebak Shia penasaran.
Mata Leon mengerjap beberapa kali. Tawa sumbang terdengar, tanda bila lelaki itu tengah menutupi jawaban yang sebenarnya.
"Gue? Enggaklah, gue cuma temanan sama dia," ujar Leon meskipun ekspresinya mendadak berubah aneh. "Meskipun gue akui gue kasihan dan simpati sama dia. Sayangnya semua perhatian gue, kayaknya enggak dianggap sama dia."
"Apa mungkin karena dia enggak pede sama latar belakangnya? Atau... dia enggak mau ngerepotin lo," tebak Shia.
Leon mengedik dan mengulas senyum hambar. Tarikan napas panjang terdengar kala Leon bangkit lantas membantu Shia merapikan peralatannya kembali ke dalam rak penyimpanan.
"Ngomong-ngomong soal latar belakang...," kata Shia teringat Atma tetapi ragu untuk mengutarakan kepada Leon. "Lo udah berapa lama kenal sama Atma?"
"Kenapa jadi ke Atma?" tanya Leon menaikan satu alisnya.
"Gue penasaran aja. Soalnya selama ini Atma selalu baik sama semua orang, Anita juga bilang gitu soal Atma," cerita Shia akhirnya tidak dapat lagi membendung rasa penasarannya. "Tapi kehadirannya yang tiba-tiba, kebaikan dia ke gue, dan orang-orang sekitar gue. Gue jadi ngerasa ada sesuatu yang disembunyiin Atma sama gue."
TAK!
Kotak tisu seketika menyentuh kepala Shia. Shia spontan mengaduh dan menatap Leon kesal.
"Enggak perlu sok jadi detektif. Bertahun-tahun gue kenal Atma, dia emang sebaik itu. Bahkan dia orang paling baik yang pernah gue kenal," terang Leon.
"Bukan karena lo temen dia?" sahut Shia.
Leon berdecak. Kali ini dia mengambil sapu di sebelah kaki Shia. "Sekali lagi lo ngomong aneh-aneh soal Atma gue sentil pakai sapu. Lo lupa siapa yang rekomendasiin lo di sini?"
"Maaf. Gue cuma penasaran aja sama latar belakang dia. Apalagi zaman sekarang kan enggak mungkin orang bisa sebaik itu ke orang asing."
Sapu di tangan Leon kembali berpindah ke tempatnya, Leon sekarang bersidekap sambil memandangi sosoknya di dalam cermin. "Kalaupun cuma ada satu orang yang bener-bener baik di dunia ini, gue enggak akan pusing nyari siapa orangnya. Karena itu udah pasti Atma. Paham kan lo sekarang?"
Bibir Shia mengatup rapat. Meskipun masih banyak rahasia dan pertanyaan yang belum terjawab di benaknya, Shia merasa untuk saat ini dia harus menerima jawaban Leon. Setidaknya, Leon benar. Dia sekarang berada di posisi ini juga atas bantuan Atma. Jadi, alasan apapun yang Atma miliki memang bukan urusan Shia.
Untuk saat ini.
***
Langkah kaki Shia terdengar sepanjang jalan menuju gang tempat tinggalnya. Setelah merapikan studio, Shia langsung pulang menggunakan kendaraan umum. Begitupun, Leon yang sepertinya masih kesal karena gagal pergi dengan Anita.
Ponsel Shia bergetar begitu tubuhnya tiba di depan minimarket. Dia tersenyum melihat ada nama ibunya di layar.
"Halo, Bu. Iya aku udah di depan gang. Sebentar lagi sampai. Tadi? Aku habis ngerjain tugas sama teman," jawab Shia berbohong. Sebab dia tidak ingin membuat ibunya khawatir.
"Kecap? Oke. Kebetulan aku juga udah sampai minimarket," kata Shia lantas mengalihkan tatapannya ke arah minimarket.
Ucapan Shia menggantung di tenggorokan. Bibirnya tidak tahan untuk melengkung tinggi. Pasalnya seorang pria sudah menyambutnya di depan minimarket dengan seplastik makanan di tangan.
"Kalau gitu Shia tutup ya. Dah."
Tanpa ragu, Shia melangkah ringan mendekati lelaki itu, Atma.
"Baru pulang? Leon enggak aneh-aneh kan hari ini?" sapa Atma mengangsurkan plastik miliknya ke hadapan Shia. "Mau? Saya baru beli roti. Dari siang Rumah Beta banyak banget kegiatan jadi enggak sempat makan. Kamu kenapa lihatin saya kayak gitu?"
Shia menggeleng. Dadanya terasa menghangat. Baru kali ini Shia merasakan perhatian seorang pria yang tulus kepadanya, setelah ayah meninggal dan ibunya malah menikah lagi dengan pria gila seperti ayah tirinya. Mulai malam ini, rasanya Shia hanya ingin mengenal Atma lebih dekat.
***
TBC
Acuy's Note:
Update terbaru!! Siapa yang udah enggak sanar nunggu lanjutannya? Coba komen yang banyak di sini!
Jangan lupa share juga ke teman-teman kalian ya. See ya~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top