11. Kamu Aneh
-
-
Shia mendongakan kepalanya ke arah papan nama sebuah ruko di salah satu sudut kota. Motor Atma terparkir tidak jauh dari tempat itu. Tempat terpencil yang mungkin tidak banyak orang tahu, bahkan lewati terkecuali memang mereka berencana pergi ke tempat ini.
Simha Tattoo Studio.
"Ayo, Shia!" ajak Atma meminta Shia mengikutinya.
Sebelum tubuh Atma memasuki pintu depan, Shia seketika menarik lengan pria itu. "Kamu yakin saya harus kerja di tempat ini?"
Atma menatap studio tato itu dan Shia bergantian. Dia kemudian mengedik. "Kenapa enggak?"
"Gambar di kertas aja enggak bisa gimana mau gambar di badan orang?" gerutu Shia ragu.
"Siapa bilang kamu bakal kerja jadi seniman tato. Saya juga tahu kemampuan kamu. Kalau saya paksa kamu, nanti saya yang kena omel Leon," jawab Atma jujur dan tanpa dosa. Dia kemudian membuka lebar pintu tinggi itu.
Alis Shia menyatu rapat kala nama itu mengingatkan dia akan sosok teman Atma yang berambut panjang dengan tubuh penuh tatto. "Leon?"
"Iya. Kamu udah kenal, kan? Ayo masuk. Jam segini biasanya dia masih di dalam," ajak Atma sambil mendorong kedua bahu Shia untuk masuk ke dalam.
Setengah hati, Shia membuka pintu depan studio yang tidak dikunci itu. Pandangannya menyapu tiap jengkal ruang berukuran 4 meter x 5 meter itu dengan wajah kaget. Pasalnya ruangan itu tampak berantakan dengan dekorasi serba gelap dan kursi tato untuk pelanggan di tengah ruangan. Peralatan untuk merajah tubuh juga berbaris sepanjang dinding di sebelah kanan, sementara cermin besar menempel di sisi yang lain.
Wangi lavender bercampur musk dan sedikit apak mendobrak masuk hidung Shia. Entah sudah berapa lama ruangan ini tidak mendapatkan sinar matahari dan udara segar dari luar. Meskipun sebuah air conditioner kurang dingin terpasang di salah satu dinding.
"Dia pasti di belakang, ikut saya," ajak Atma meminta Shia mengikuti dirinya melewati pintu di dekat cermin. "Le! Leon!"
Sebuah ruangan lebih rapi dan lebih luas dengan beragam dokumen menumpuk di dekat meja menyambut Shia. Seperangkat sound system berjejer rapi di sebelah kanan. Termasuk seorang pria yang tengah menangkupkan tubuhnya di atas meja dengan midi controler di sisinya. Pria itu seakan tidak peduli dengan kedatangan Atma dan Shia. Dia sibuk mengusap dan menepuk lembut alat kesayangannya sambil menggumamkan sebuah lagu lawas.
"Le! Woy! Tidur lo?"
Leon tetap diam seribu bahasa dan sibuk dengan dunianya sendiri.
"Gimana tempat lo mau laku kalau yang punya malas-malasan kayak gini. Leon!" panggil Atma sambil mengetuk-ngetuk dengan kasar permukaan meja di dekat wajah Leon.
Akhirnya Leon menggeram. Dia mendadak duduk tegak sambil mengamati Atma tidak suka. "Ganggu aja. Kenapa?!"
"Gue udah nemu part timer buat jadi calon asisten lo."
Mulut Leon terkunci rapat dengan mata mengerjap ke arah Atma. "Siapa?"
Bibir Atma mengulas senyum lebar sembari membawa Shia maju ke depan dan saling berhadapan dengan Leon. Perempuan itu kemudian tersenyum lebar cenderung kikuk.
"Dia?!" seru Leon menunjuk Shia. "Udah gila lo!"
"Kan lo bilang, lo cuma butuh orang buat beres-beres. Kebetulan kuliah Shia udah enggak begitu padat dan dia juga butuh duit. Ya kan, Shia?"
Susah payah, Shia tersenyum sambil mengangguk pelan.
"Lo mau bikin pelanggan gue kabur?" cibir Leon melirik sinis ke arah Shia.
Atma bersidekap. Air mukanya berubah serius saat menatap Leon. Dia kemudian menggeser tubuh Shia agar ke arah pintu ruangan Leon.
"Shia, kamu tunggu di luar. Saya mau ngomong berdua sama dia."
Tidak mau ambil pusing, Shia mengangguk lantas keluar dari ruangan Leon. Meskipun sepintas Shia melihat Leon terlihat cuek kepada Atma dan kembali meletakan kepalanya ke atas meja, sebelum dia keluar dari ruangan.
Di luar, Shia merenung sambil mengamati ruangan studio milik Leon. Tanpa sadar, jari-jarinya bergerak mengusap satu per satu peralatan milik Leon di sana yang sama sekali tidak dia pahami kegunaannya. Sampai gerakannya berhenti ke depan cermin.
Senyum miris muncul di bibir kala pantulan dirinya tampak di sana. Pantulan seorang gadis yang sangat menyedihkan. Kurus, kusam, dan terlihat tidak terawat. Pantas saja, mahasiswa-mahasiswa di kampusnya tidak ada yang berniat mendekat. Bahkan gaya berpakaiannya jelas menunjukan dia berada di level yang berbeda dengan mereka.
Setelah puas memandangi bayangannya di cermin, Shia berbalik dan duduk di atas sofa dekat cermin. Semenit, dua menit, dan hampir setengah jam berlalu. Shia mulai bosan apalagi baterai ponselnya sudah habis semenit lalu. Matanya pun mulai berat dan mengantuk hebat.
Suara pintu ruangan dibuka kasar terdengar. Shia yang hampir tertidur di sofa Leon seketika membuka lebar matanya. Spontan, Shia berdiri ketika bayangan Leon dan Atma keluar dari pintu.
Atma menepuk bahu Leon. "Thanks ya."
"Enggak usah terima kasih ke gue. Pokoknya kalau kerja dia enggak rapi, gue bakal langsung pecat. Ngerti, kan?" ancam Leon terdengar kesal.
Atma mengerling iseng kepada Shia. "Gue rasa enggak akan. Ya kan, Shia?"
Shia terpaku. Segera, dia mengedik.
"Kalau bukan karena si Kunyuk ini gue enggak bakal terima lo kerja di sini. Jadi, kerja yang bener. Awas lo," ancam Leon sembari menguap lebar. "Besok lo udah mulai kerja. Kata Atma, kampus lo dekat sini, kan?"
Lagi-lagi Shia hanya dapat mengangguk.
"Buat gajinya, tenang aja. Buat mahasiswa kayak lo pasti cukup," lanjut Leon mulai menyalakan rokok miliknya. "Gue balik tidur. Kalau udah beres jangan lupa tutup pintu."
"Siap," ucap Atma tersenyum lebar. Dia kemudian melingkarkan tangannya ke leher Shia dna membawanya keluar studio. "Ayo Shia! Jangan lupa kamu masih punya tugas di tempat Laras."
Shia setengah hati mengangguk. Dengan segera dia melepaskan diri dari kungkungan tangan Atma begitu mereka berada di luar. "Gitu doang? Kamu yakin Leon beneran nerima saya di sini? Leon enggak mau interview dulu gitu atau tanya-tanya saya."
Atma yang hampir mengendarai motornya, menggeleng. "Enggak perlu. Kerjaan kamu kan cuma beres-beres tempat dia aja dan kerjain semua perintah dia. Tenang dia enggak akan macam-macam. Terkecuali..."
Mata Shia memicing. Mimiknya tampak curiga mendengar ucapan Atma yang menggantung di udara. "Terkecuali?"
"Pastiin jangan ada balon di depan Leon."
"Maksudnya?" sahut Shia penasaran.
Cengiran Atma terlihat. Dia menyerahkan helm ke tangan Shia. "Pokoknya kamu segera hubungi saya kalau Leon mulai aneh-aneh, oke?"
"Oke," jawab Shia dengan terpaksa.
***
Jam sudah menunjukan pukul lima sore ketika Shia tengah menekuri tugas kelompoknya di salah satu sudut ruangan Rumah Beta. Anak-anak jalanan sudah pulang ke rumah masing-masing atau kembali ke jalanan usai kelas selesai sejak satu jam yang lalu. Bahkan Jeki yang menempeli Atma sedari tadi dan bertanya segala macam hal mengenai desain, sudah menghilang dari beberapa menit lalu. Hanya Shia, Atma, dan Laras yang tersisa.
Sesekali Shia melirik Atma dan Laras yang tengah berdiskusi di area depan kelas. Gerak-gerik Laras yang aneh memunculkan tanya di benak Shia. Beberapa tahun mengenal Laras, baru kali ini Shia melihat perempuan itu tersenyum malu-malu dan salah tingkah di depan Atma. Shia bukan anak kemarin sore. Shia jelas paham bila Laras mungkin diam-diam menyimpan rasa kepada Atma.
Shia menopang dagu di meja. Tugas miliknya tak lagi menarik. Fokusnya sekarang sudah seratus persen kepada Atma. Pantas saja Laras dibuat salah tingkah seperti itu, tatapan lembut Atma, perhatian pria itu, dan juga cara dia berbicara yang penuh kharisma jelas jarang ditemui di daerah ini.
"Kalau gitu, nanti saya coba bilang langsung ke Pak Hilman," kata Atma tiba-tiba berjalan keluar ruang kelas.
Laras menggeleng dan menahan tangan Atma. "Enggak perlu. Biar saya aja yang bilang ke Bapak. Bapak pasti senang kalau dengar rencana kamu. Sebentar ya."
Akhirnya, Atma mengangguk. Dia pun berdiri membisu di depan kelas, setelah Laras menghilang ke dalam rumah. Sadar tengah diperhatikan oleh seseorang, Atma menoleh dan memandangi Shia keheranan. Dia pun mendekat.
"Serius banget lihatin saya? Kenapa? Ada yang aneh?" tanya Atma sudah duduk sambil bertopang dagu di hadapan Shia.
Shia tersentak kala menemukan wajah Atma sudah berada tepat di depannya. "Kamu ngapain?! Eng--enggak. Kata siapa saya lihatin kamu."
Atma mendecih lantas mengamati tugas Shia di permukaan meja. "Exhibiton? Kamu lagi ngerjain tugas kampus? Tentang apa?"
Buru-buru Shia menutupi buku catatan dan menjauhkannya dari meja. "Enggak usah kepo. Bukan apa-apa."
"Hey... biar gini-gini saya juga tahu kok soal exhibition. Mau buat apa?"
Shia mencibir Atma. "Emang iya? Saya enggak percaya."
Atma menggeleng-gelengkan kepalanya. "Oke tes aja kalau enggak percaya."
Tangan Shia terlipat rapi di dada, selagi kedua matanya mengamati sosok Atma lekat-lekat seakan tengah mengevaluasi. "Oke, kamu tahu apa itu exhibition?"
"Pameran. Acara yang dibuat untuk mempromosikan produk, menyampaikan pesan, dan ide," jawab Atma entang.
"Tujuannya?"
"Tadi. Menyampaikan pesan dan ide, mempromosikan produk, atau bisa juga menampilkan karya seni," lanjut Atma dengan mimik pongah kepada Shia. "Contohnya, Environmental Awareness. Exhibition yang tujuannya buat meningkatkan kesadaran tentang isu lingkungan bisa lewat seni, media virtual, atau--"
Tanpa sadar, mulut Shia menganga takjub. Dia seperti tersihir mendengar penjelasan Atma. Semua tingkah tengil, urakan, menyebalkan, dan sombongnya pria itu berganti dengan segan.
Namun, satu hal yang Shia sadari, sosok Atma seperti memiliki dua mata uang berbeda. Pertama, Atma seperti berasal dari orang-orang yang terbiasa di jalanan apalagi dengan interaksi lelaki itu bersama Leon. Figur yang kental dengan dunia malam dan kesan negatif lainnya. Terakhir, berbicara dengan Atma seperti berdiskusi dengan salah satu profesor atau dosennya di kampus. Shia merasa Atma bukan dari dunianya. Dia seperti para pria berkemeja licin dengan sepatu pantofel dan berdasi yang sering keluar-masuk gedung bertingkat.
"Kamu ngelamun? Lihatin saya segitunya amat?" kelakar Atma mengibaskan tangannya di depan Shia.
"Kamu kenapa milih kerja di sini? Saya pikir bukan karena kamu butuh duit, kan?"
Shia menangkap gelagat aneh dari wajah Atma. Jelas, makin menimbulkan tanya di benak Shia.
"Kamu kenapa nanya begitu?"
"Terlalu naif buat percaya kalau masih ada orang yang mau jadi relawan tanpa dibayar sepeserpun. Apalagi kata Kak Laras kamu baru dipecat. Ya kan?"
Atma mengedik. Dia berjalan untuk mengambil botol air minum di dalam tas dan menenggak isinya dengan rakus.
"Kamu bukan intel, kan?" cetus Shia.
Bola mata Atma membelalak. Tak lama, tawa Atma terdengar menggelegar. Dia menunjuk dadanya sendiri.
"Saya intel? Kamu dapet ide itu dari mana? Hahahahhaah... ugh! Uhuk! Uhuk!"
Atma terbatuk. Shia mendecih seolah-olah puas karena Atma mendapatkan karma instan akibat mengejeknya.
"Rasain. Emang enak," decak Shia.
Atma terus terbatuk. Bahkan air minum dari dalam botol sudah raib saat dia menetralkan tenggorokannya. Namun, nihil. Wajah Atma sudah merah padam.
Shia yang semula tersenyum lebar, berubah khawatir. Dia segera bangkit mendekati Atma dan menepuk lembut punggungnya spontan. "Kamu enggak apa-apa?"
Atma menggeleng sambil mengelap sisa air di ujung mata akibat tergelak tadi. "Eng... ugh. Enggak apa... ugh. Kamu... ugh. Uhuk! Lucu."
Pipi Shia seketika memanas. Ini pertama kalinya seorang pria berhasil membuat pipi Shia merona. Dia sampai tak dapat berkata-kata, hanya merenung di sebelah Atma.
"Kamu kenapa?" tanya Atma saat batuknya sudah mereda sambil meletakan tangan ke atas puncak kepala Shia. "Muka kamu merah. Sakit?"
"Enggak apa-apa," seru Shia menepis tangan Atma dan membawa kakinya kembali ke tumpukan tugas di atas bangku.
"Aneh," gumam Atma mengedik. Dia lantas mengambil tasnya dan melangkah keluar ruangan ke arah toilet Rumah Beta. Selagi Shia sibuk membenahi isi kepalanya yang mulai aneh.
***
TBC
Acuy's Note:
Hayooo siapa yang kangen cerita ini?? Coba komentarnya di sini. Ada yang bisa tebak enggak siapa Atma sebenarnya???
Hehehheheehe
Sampai ketemu di part selanjutnya...
Btw aku buat cerita baru di Karyakarsa. Enggak baru sih karena ini sebenarnya dulu proyek Wattpad Star yang aku panjangin dari cerpen ke novel. Berhubung kontraknya sudah habis dengan Wattpad, aku pindahin ke Karyakarsa.
Judulnya, "Ketika Langit Biru Berubah Senja". Jangan lupa dibaca ya... ditunggu kehadiran dan dukungannya. 💜💜💜
Luv u all~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top