10. Menjadi Orang Baik

-

-

Malam makin tua ketika Atma menemukan sosok Shia berjalan tergesa-gesa memasuki minimarket. Gadis itu seakan sibuk dengan isi kepalanya sendiri sampai melupakan sosok Atma yang duduk menyendiri pada bangku di sudut depan minimarket.

Bola mata Atma bergerak mengikuti Shia. Perempuan itu bergerak ke kanan, menarik napas sebentar, merutuk, dan mengumpat lantas berjongkok di depan barisan galon. Beruntung tidak ada pengunjung ataupun orang di area minimarket malam ini. Hanya ada tiga orang karyawan minimarket yang sepertinya masih sibuk dengan pekerjaan masing-masing.

Penasaran, Atma mematikan sebatang rokok di tangannya kemudian ikut berjongkok di sebelah Shia. "Kamu enggak apa-apa?"

Kepala Shia menoleh ke kanan. "Kamu belum balik? Kok masih di sini?"

Atma menyunggingkan bibirnya. "Jawab dulu. Namanya pertanyaan harusnya dijawab bukan ditanya balik."

Shia mendudukan bokongnya ke lantai teras minimarket dan menarik napas dalam. Bibirnya masih dikunci rapat-rapat.

"Pipi kamu enggak apa-apa?" tanya Atma ketika menemukan bekas kemerahan dan lecet di pipi kanan Shia. "Bekas tadi sore?"

"Tambahan," jawab Shia enteng.

"Ayah kamu sering lakuin itu?"

Sesaat Shia melirik Atma seakan ragu untuk menjawab pertanyaan itu. "Sejak nikah sama Ibu."

"Ibu kamu tahu?"

Shia mengiyakan. "Tapi saya enggak bisa apa-apa. Bapak terlalu keras, Ibu juga masih cinta sama Bapak. Susah."

"Gara-gara itu kamu coba bunuh diri?"

"Salah satunya," jawab Shia kemudian bangkit dan hendak pergi dari sana. "Udah malam, saya permisi."

Atma tertegun. Ada luka yang sangat dalam dari sorot mata Shia kala tanpa sengaja bertemu pandang dengannya.

"Sebentar," tahan Atma berdiri menghadap Shia dan menarik tangan perempuan itu ke arah bangku tempat dia duduk tadi. "Kamu tunggu di sini sebentar."

"Kamu mau ke mana?"

"Jangan tanya. Jangan kabur. Tunggu di sini," perintah Atma.

Tatapan Shia lantas mengikuti tubuh Atma yang masuk ke dalam minimarket. Dari kaca tembus pandang minimarket Shia melihat Atma membawa beberapa barang-barang dan menyerahkannya kepada kasir. Selang beberapa menit, Shia melihat Atma menggelar barang bawaannya pada meja kecil di depan mereka. Ada sebuah kaleng soda dingin, dan plester.

"Buat kamu. Biar luka kamu cepat sembuh besok."

Shia menggeleng dan mendorong benda-benda itu kepada Atma. "Enggak usah. Besok juga udah sembuh."

"Jangan sampai saya yang nempelin plester ini ke muka kamu," tegas Atma.

Shia terpaksa patuh. Masih tanpa kata, Shia menempelkan plester pada lecet di pipinya. "Udah."

"Good. Kalau begini, saya percaya kalau besok bisa sembuh," ujar Atma mengamati pipi Shia. "Laras bilang, kamu butuh uang?"

"Saya emang kekurangan tapi saya enggak butuh bantuan kamu," potong Shia.

"Bukan itu. Maksud saya kalau kamu mau, saya bisa kasih pekerjaan ke kamu. Part time. Gimana?"

Shia melirik Atma ragu-ragu. "Di tempat terakhir kamu ajak saya pergi?"

Atma menggeleng sambil terkekeh pelan. "Bukan. Saya enggak mungkin jerumusin kamu ke hal-hal yang aneh. Apalagi saya butuh kamu di Rumah Beta. Gimana?"

Diam-diam Shia memandangi Atma lekat. Menelisik tiap jengkal wajah pria itu seakan penasaran akan isi kepala Atma.

"Kamu pasti lagi coba buat nerka-nerka tujuan saya lakuin ini, kan?"

"Sepanjang saya hidup enggak ada orang yang benar-bener tulus baik ke orang lain. Wajar kan kalau saya curiga?" aku Shia jujur,

Senyum tipis mampir di bibir Atma. Dia kemudian mengambil kaleng minuman dingin yang dia beli tadi dan menempelkan permukaan kaleng itu ke pipi bengkak Shia. Shia sontak berjengit. Namun, melihat air muka Atma yang berubah kesal, Shia kembali patuh dan diam.

"Bagi saya bunuh diri terbaik adalah dengan menjadi orang baik," jawab Atma mengambil tangan kiri Shia dan meletakannya ke kaleng minuman miliknya. "Ini buat kamu. Sekarang kamu bisa pikirin tawaran saya. Saya enggak akan maksa kamu lagi kali ini. Sampai ketemu besok, Shia."

"Sebentar, maksud kamu?"

"Nanti juga kamu tahu jawabannya," jawab Atma melangkah pergi.

Shia termangu sambil mengamati punggung Atma yang menghilang dengan motor matic miliknya. Kalimat pria itu kembali memenuhi pikiran Shia. Tanpa disadari, perhatian Atma malam ini membuat beku di benak Shia pelan-pelan mencair. Shia mengamati kaleng minuman dingin di tangannya dan tersenyum diam-diam.

***

Esok paginya, Shia bangun terlambat akibat mengerjakan tugas kuliah. Dia terburu-buru merapikan isi tas kala mata kuliah pertama akan dimulai satu jam lagi. Kondisi jalanan yang macet bisa membuat dia terjebak berjam-jam menaiki bus kota bila Shia tidak segera berangkat sekarang juga. Setelah semua barang-barangnya aman di dalam tas, Shia bergegas keluar dari kamar.

Namun, langkah Shia terhenti di ruang tengah ketika beberapa teman Gino sudah duduk bercengkrama sambil bermain kartu di sana. Sementara suara Gino terdengar dari arah dapur. Sarinah pasti sudah berangkat kerja lebih dahulu sehingga para cecunguk ini dengan leluasa menginvasi rumahnya.

"Baru mau berangkat, Neng?"

"Siang amat. Itu mau kuliah atau nongkrong?" sahut teman Gino yang lain.

"Daripada nongkrong di luar, mending di sini bareng kita."

Segera, Shia menghindar ke kiri ketika suara serak dengan bau nikotin yang pekat muncul dari arah kanannya. Shia bergidik ngeri menemukan seringaian nakal dari teman Gino yang bergigi berantakan dan kuning itu.

"Kenapa? Kok takut gitu sih? Udah... daripada kuliah mending di sini aja," balas pria pertama yang memilik badan paling besar sambil menyentuh lengan Shia.

"Jangan macam-macam ya! Minggir! Saya mau keluar!"

"Hei... pagi-pagi udah pada ribut. Pergi lo sana. Ganggu aja orang tua lagi seneng-seneng. Berisik banget sih," bentak Gino sambil membawa beberapa gelas kopi di nampan. "Malah melotot. Emak lo udah pergi kerja. Kalau emang mau berangkat enggak usah bikin ribut, minggat lo sana!"

Shia mengepalkan tangannya kuat-kuat. Apalagi gelak tawa keempat pria paruh baya itu seketika menggema.

"Dapat anak gadis bukannya bantu orang tua kerja, malah berlagak kayak orang berduit. Sok-sokan sekolah. Palingan ujung-ujungnya cuma bakal jadi kayak anaknya Pak RT, pengangguran," gerutu Gino lagi disambut sahut-sahutan pria-pria brengsek lain di dalam rumah.

Sebelum emosinya naik lagi, tanpa pamit Shia segera keluar dari rumah sambil membanting pintu depan. Dia bahkan tidak peduli dengan teriakan dan makian ayahnya dari dalam rumah. Setidaknya kampus bisa sedikit menjadi tempat pelarian bagi Shia.

Baru beberapa langkah keluar dari rumah, Shia menemukan sosok Atma di teras Rumah Beta. Pria itu sepertinya memang benar-benar mengabdi kepada Rumah Beta, terbukti pagi-pagi seperti ini dia sudah sibuk menambal lubang di langit-langit teras Rumah Beta.

Sepiring pisang goreng dan teh manis tersaji di atas rak kayu lapuk di dinding depan, sementara pria itu asyik bersenandung sambil membelakangi Shia di atas tangga.

"Hai. Pagi Shia," sapa Atma spontan ketika dia turun dari tangga dan tanpa sengaja saling berhadapan dengan Shia.

"Pagi," sahut Shia salah tingkah kemudian membawa langkahnya cepat-cepat menghindari Atma.

"Udah ambil keputusan?"

"Soal?" tanya Shia menghentikan langkahnya, pura-pura tidak paham dengan ucapan Atma.

Pria berhidung mancung itu mencibir sambil duduk pada bangku ksyu di teras Rumah Beta. "Soal tawaran pekerjaan yang saya bilang semalam. Tenang aja, jamnya fleksibel, gajinya dihitung per jam, dan pemiliknya saya jamin amat sangat ramah. Apalagi kamu juga pasti udah kenal."

Alis Shia menyatu. Namun, kelakuan ayah tirinya tadi memunculkan keberanian lain di dalam kepala Shia. Setidaknya bila uang yang dia dapat sudah banyak, dia bisa keluar dari rumah dan belajar mandiri.

"Oke, saya mau."

Atma tersenyum lebar sembari menyantap nikmat pisang goreng hangat dari Laras. "Udah saya duga kamu pasti mau."

Shia menelan ludahnya tanpa sadar. Sejak semalam belum ada makanan yang masuk ke dalam perutnya. Semua makanan Sarinah habis oleh teman-teman brengsek sang ayah di pos kamling semalam. Lantas melihat Atma menyantap nikmat sepotong pisang goreng yang aromanya menggelitik hidung itu, jelas memunculkan demo di perut Shia.

"Kamu mau?"

Shia tersentak. Dia segera menggeleng segan.

"Enggak usah malu-malu. Ambil aja. Saya enggak mungkin habisin ini sendirian," kata Atma mengangsurkan piring pisang goreng ke hadapan Shia.

Malu-malu Shia mengambil sepotong pisang goreng itu dan menyantapnya lahap. Atma terdiam. Melihat Shia terlihat sangat kelaparan seperti sekarang memunculkan iba di benaknya. Untuk gadis berumur 20-an seperti Shia, bebannya pasti sangat berat selama ini.

"Habisin aja," kata Atma ketika dua potong pisang goreng sudah habis Shia santap tanpa sadar. "Kamu baru mau berangkat ke kampus? Mau saya antar?"

"Enggwak uswah," jawab Shia dengan mulut penuh.

Akan tetapi, Atma malah bangkit. Dia kemudian membersihkan tangannya dari debu dan mengambil jaket miliknya. "Saya maksa. Saya juga mau tahu letak kampus kamu dimana. Biar nanti sore saya bisa langsung jemput kamu buat ke tempat teman saya."

"Tapi--"

"Kalau gitu saya kasih orang lain aja penawarannya," jawab Atma enteng.

"Oke."

"Ayo! Motor saya di parkiran minimarket. Kita jalan sampai depan enggak apa-apa, kan?"

Shia mengangguk sembari menyejajari langkahnya dengan Atma. "Terima kasih."

"Kayaknya baru kali ini saya dengar terima kasih dari kamu ke saya. Kedengaran lebih baik, daripada kata-kata pesimis kamu. Pertahanin," ujar Atma dengan bibir mengembang.

Shia menunduk malu-malu. Kali ini, senyum tipis perlahan muncul di bibir Shia tanpa takut lagi. Dia pun mengangguk.

***

"Shia! Hai Shia! Sebentar."

Shia yang baru keluar dari gedung jurusan, menoleh kala suara Patra muncul dari arah tempat parkir. Air mukanya tampak datar kala menemukan Patra berlari dari gerombolan mahasiswa populer ke arahnya. Jelas, memunculkan tanda tanya besar di antara wajah-wajah mahasiswa di sana.

"Besok lo kosong, kan? Kita mulai ngerjain tugas gimana?"

"Gue udah kerjain konsepnya. Tinggal bikin presentasi dan proposal. Enggak perlu diskusi. Tahap planning biar gue aja yang ngerjain, lo sama yang lain tinggal tahu beres."

"Bentar. Lo ngeraguin kemampuan gue?"

Shia membisu sambil menatap Patra datar.

"Shia. Lo kan tahu Pak Subekti detail banget orangnya. Dia pasti tahu mana ide kelompok mana yang kerjaan pribadi. Ingat gue udah pernah ngulang mata kuliah dia. Pokoknya gue enggak mau kalau tahun depan harus ketemu lagi sama dia."

"Gue bakal kasih papernya buat lo pelajarin."

"Tapi Shia."

"Sori. Gue harus balik. Dah."

Tanpa menunggu respons Patra, Shia membawa langkahnya keluar dari gerbang kampus. Mimiknya seketika kaget menemukan sosok Atma sudah menunggunya di dekat pagar. Pria itu bahkan tanpa sungkan melambaikan tangan ke arah Shia.

"Kenapa? Kaget? Kamu pikir saya bercanda mau jemput kamu sore ini?" tanya Atma begitu Shia sudah berdiri di hadapannya.

"Sedikit."

"Sebagai informasi, saya bukan orang yang cuma bisa ngomong doang tapi enggak ada aksi. Jadi, kalau saya bilang mau bantu kamu, saya pasti bakal bantu kamu," ujar Atma sembari memasangkan helm ke atas kepala Shia tanpa permisi. Shia berjengit kaget. "Biar aman. Ayo naik!"

Tanpa membuang waktu, Shia duduk di belakang Atma. Dia sampai-sampai tidak sadar ada Patra yang terus mengamati Shia dari balik gerbang.

***

TBC

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top