Part 4 (Kenangan)

Layaknya berdiri di ujung tebing. Menatap laut tanpa batas yang maha luas. Aku dapat melihat kesedihanmu lewat pantulan permukaannya. Kubiarkan ragaku terhempas kuatnya angin, agar aku bisa merasakan hangatnya dekapanmu yang erat. Membuatku jatuh ke dasar tanpa ujung.

***

Happy Reading!!!

***

"Cha, anterin ini ke Tante Amel, gih!" Di minggu pagi yang tenang dan damai, Bunda sudah melayangkan surat perintah. Aku yang sedang asyik bersantai di atas kasur sambil menonton drama, buru-buru meluncur menuju kamar mandi. Bukan untuk mandi, hanya cuci muka. Tidak afdol rasanya kalau hari minggu aku harus mandi pagi-pagi. Sekali pun untuk bertemu dengan calon bunda mertua, tidak apa-apa. Aku masih tetap wangi meski tidak mandi berminggu-minggu. Itu hanya spekulasiku saja. Tidak percaya? Terserah.

Aku pandangi wajahku di depan cermin. Diam sebentar lalu menyeka kotoran di pinggiran mata. Beberapa detik kemudian, aku kembali diam. Mematut wajahku antusias. Cantik seperti biasa. Namun tiba-tiba aku merasakan kegelisahan di dalam perasaanku. Sudah sekitar dua atau tiga minggu ini aku tidak singgah sebentar ke rumah Tante Amel. Sekadar informasi saja. Tante Amel itu istrinya Oom Soleh. Dan Oom Soleh itu adalah ayahnya Wahyu. Otomatis kalau aku ke sana, aku jadi kangen Wahyu. Galau lagi dong jadinya.

Napas panjang aku keluarkan.

"Buruan Chacha. Nanti sop-nya dingin ini!" Ibu tirinya Cinderella mulai mengeluarkan tanduknya. Setelah mengganti baju dengan yang lebih bagus dan harum, aku segera meluncur keluar dari gua persembunyian sebelum ibu tiri Cinderella itu mengamuk.

"Udah cuci muka? Kok anak bunda buluk gitu?" cetus bunda sambil berjalan melewati kursi makan untuk mengambil tutup box di dalam lemari.

Aku pandangi bunda dengan tatapan sinis. "Yang penting Wahyu sayang sama Chacha," timpalku gemas. Bunda hanya tergelak. Tidak ingin membuat minggu pagiku makin kacau seperti isi lemari pakaianku.

"Iya, iya. Terserah kamu aja. Nih box-nya. Buruan anterin!"

Setelah menerima titah dari ibu tirinya Cinderella, aku langsung meluncur menuju rumah Tante Amel. Tidak jauh. Hanya terpisahkan dua buah rumah saja. Aku jadi ingat lagu dangdut. Pacar lima langkah. Batinku tergelak geli. Tiba-tiba aku ingin goyang. Tapi aku hentikan pikiran gila itu saat sudah berada di depan rumah Tante Amel.

"Assalamualaikum, Tante Amel!" Pintu pagar besi yang cat birunya mulai terkelupas aku gedor cukup kencang. Tenang saja. Ini bukan sebuah aksi tidak sopan. Rumah Wahyu tidak pernah dipasangi bel. Oleh karena itu, pagar tinggi ini harus aku gedor agar sang empunya rumah muncul.

Suara pintu terbuka, menandakan ada seseorang yang menyadari kedatanganku. "Eh, Chacha!" Suara lembut nan syahdu itu berasal dari Tante Amel. Suara yang menurutku paling lembut sedunia, karena bunda tidak pernah berbicara lembut seperti itu. Sekalipun aku sedang galau, bunda lebih senang menyindirku. Luar biasa sekali memang bundaku itu.

Pintu pagar besi itu dibuka. Tante Amel menyambutku dengan senyum suka cita. Aku hanya nyengir sekenanya, lalu memberikan box maha penting itu pada Tante Amel. "Tante, ini ada titipan dari bunda."

"Wah, repot-repot segala," ujarnya pelan, lalu mengambil box tersebut. "Ayo masuk dulu. Tante lagi masak pancake tuh."

Kalau itu soal makanan gratis, aku langsung mengekor di belakang. Mengikuti Tante Amel menuju dapur.

Semerbak harumnya aroma telur, susu dan tepung yang dipanggang membuat cuping hidungku kembang-kempis. Surga dunia.

"Oom Soleh ke mana, Tante?" tanyaku basa-basi.

Tante Amel menoleh sedikit ke belakang sambil tersenyum, lalu kembali tenggelam pada aktifitasnya membuat pancake. "Udah lima hari Oom nyusul Wahyu ke Amerika. Katanya dia dirawat di rumah sakit gara-gara kurang vitamin."

Aku terdiam sesaat. Tak tahu harus merespon apa. Rasanya sesak di bagian dada sebelah kiri. Makhluk itu tak pernah mengirimiku pesan. Telpon saja tidak. Tahu-tahu dia sakit. Ingin sekali rasanya aku mematahkan kakinya agar tidak pergi jauh dariku.

"Itu udah ada yang matang. Cobain gih."

Tante Amel mencoba mengalihkan pikiranku dengan memberikanku pancake. Karena merasa tidak enak hati, segera saja aku tandaskan tiga lapis pancake yang disirami susu kental manis rasa vanilla. Ini makanan kesukaan Wahyu. Jadi kangen, kan.

Drrt drrt

Sesuatu di dalam saku celanaku bergetar. Aku merogoh ke dalam dan menemukan sebuah ponsel dengan retakan di bagian ujung atasnya. Itu ponselku. Entah sejak kapan benda ini ada di dalam kantong.

Tertera nama 'Mas Taufik' di layar. "Tante, Chacha angkat telpon bentar, ya," izinku. Tante Amel hanya mengangguk, lalu kembali larut memanggang pancake lainnya.

"Assalamualaikum, Mas."

"..."

"Oh, iya. Nanti saya ke sana."

"..."

"Jam 7, kan? Oke."

Ikon merah segera aku sentuh. Pembicaraan berakhir singkat, karena aku memang sedang tidak ingin berbicara dengannya terlalu lama.

Aku kembali duduk di depan meja makan.

"Siapa, Cha? Kok muka kamu jadi makin sedih abis terima telpon?" tanya Tante Amel. Ia berjalan menuju meja makan sambil membawa sepiring pancake yang baru matang, lalu duduk tepat di seberangku.

"Temen kampus ngajak ketemuan buat ngerjain tugas. Chacha sebenernya males. Tapi gak bisa nolak. Soalnya kemarin Chacha dapet nilai D," jelasku jujur.

"Fokusin belajar, Cha. Biar nilai kamu bagus."

"Iya, Tante."

***

Pukul 19.42 WIB

Aku melangkah cepat menyusuri halaman depan kafe setelah turun dari atas motor ojek online.

Semua ini gara-gara aku ketiduran di atas sajadah sehabis solat maghrib. Terlalu lama menangis seusai solat membuat kepalaku mendadak sakit. Aku terlalu khawatir dengan keadaan Wahyu di sana. Tante Amel sama sekali tidak mau menjawab perihal keadaan Wahyu saat ini. Entah apa tujuannya.

Langsung saja aku mendorong pintu ganda itu. Memanjangkan leher untuk melihat keberadaan Mas Taufik yang pastinya sudah lama mengungguku. Ah, masa bodoh saja.

"Cha!" Suara ringan itu masuk ke dalam gendang telingaku. Kepalaku refleks menoleh. Ada Mas Taufik di sana sambil melambaikan tangannya.

Aku hanya tersenyum, lalu segera melangkah menghampirinya. "Maaf lama, Mas." Langsung saja aku duduk tanpa perlu melihat ke arahnya. Aku yakin seratus persen, dia pasti sedang memerhatikanku.

"Gak apa-apa, kok," katanya lembut. Arghhhhh, aku membenci dia yang baik seperti itu. Namun aku lebih membenci diriku sendiri karena tidak bisa mengontrol perasaanku sendiri. "Eh, mata kamu kenapa bengkak?"

Aku meremas cemas buku-buku jariku. Padahal aku sudah memakai kaca mata. Namun anehnya dia tahu kalau ada yang aneh dengan mataku.

"Gak apa-apa, Mas. Cuma lagi perih aja."

"Cepat ke dokter. Nanti malah makin parah kalau dibiarin," ujarnya, sambil menyeruput secangkir latte. "Apa perlu saya antar?"

"Ahh, gak usah, Mas. Nanti malah ngerepotin." Padahal dalam hati aku sudah mengiyakan ajakan itu. Ke dokter untuk menyembuhkan hati. Bukan mata. Karena yang sakit memang hatiku. Rindu pada Wahyu. "Ini makalahnya. Baru saya print. Belum sempat dijilid."

Puluhan lembar kertas aku keluarkan dari dalam map. Jari-jariku rasanya ingin putus saat mengetik semua tugas itu. Kalau bukan karena dosen gila itu, aku tak mungkin terjebak di sini bersama makhluk tampan ini.

"Pasti capek, ya. Makasih, ya, buat kerja kerasnya."

Mas Taufik tiba-tiba mengelus kepalaku dibagian belakang. Aku lantas diam membeku. Tak memiliki nyali untuk menepis. Namun tak memiliki nyali pula untuk terjun lebih jauh ke dalam pesonanya. Bagaimana pun juga, aku masih ingat Wahyu.

"Sisanya, nanti Mas yang kelarin, ya. Saya harus cepet pulang. Bunda soalnya lagi repot di rumah."

Tidak ada pilihan lain selain kabur secepatnya dari tempat terkutuk itu. Jantungku masih terus berdebar cepat. Entah karena takut atau karena tersentuh perhatiannya. Aku tak lagi bisa berpikir panjang dan memilih melarikan diri sebagai bentuk pertahanan.

"Oh, yaudah. Gak mau saya antar?" tawarnya. Aku langsung menggeleng cepat. "Gak usah, mas. Ada abang ojek online, kok. Kalo gitu, saya permisi."

Langkah panjang segera aku ambil. Aku tak bisa membayangkan akan menjadi seperti apa aku jika berlama-lama di sana. Aku pun tak bisa memastikan apakah perasaanku ini masih akan tetap setia pada Wahyu yang nota bene sudah menghilang seperti ditelan bumi.

Aku hanya, perlu waktu untuk menenangkan hati dan pikiranku yang makin berantakan tiap detiknya karena merindu.

***

TBC

Next chap will be the last chap.

Salam,
Aurelia
26 April 2019

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top