Part 1 (Hilang)
Ketika malam tiba dan jalan kita untuk bersama mulai menghilang, aku tak akan pernah membiarkan kegelapan itu menelanmu. Lihatlah ke atas langit. Aku akan menjadi bintang untuk menerangimu. Tak peduli meski hujan deras dan dingin datang menghadang, atau badai yang menghempas kuat sekali pun. Aku akan selalu bersamamu.
***
Happy Reading
❤❤❤
Hari Kelulusan SMA
September 2017
Dua tahun yang lalu
Aula utama sekolah sudah ramai diisi oleh para murid kelas tiga yang hari ini akan merayakan kelulusan. Setelah berjuang hingga sekarat rasanya--karena ujian akhir serta ujian nasional--aku akhirnya bisa berada di sini. Duduk dengan bangga di samping ayah dan bunda untuk menunggu pengumuman dari kepala sekolah.
Iringan lagu Indonesia Raya yang dibawakan oleh anak paduan suara kelas satu dan dua, menjadikan pagi ini semakin terasa merinding. Menelusup masuk ke dalam hati yang sedikit demi sedikit mulai dilikupi rasa cemas.
Seusai anak-anak paduan suara bernyanyi, kami menaiki satu per satu panggung mengikuti panggilan pengisi acara hari ini untuk menerima ijazah yang diberikan oleh kepala sekolah dengan tertib.
Tangis haru semakin mendekap kami erat, kala lagu Hymne Guru diperdendangkan. Keringat mulai bergulir seiring dengan air mata yang tak henti mengalir. Aku bisa melihat dengan jelas, Pak El menangis haru saat memeluk tubuh Wahyu. Sepertinya ia belum bisa mengikhlaskan murid kesayangannya itu lulus dari sekolah ini.
Si casanova sekolah, kini sudah pensiun. Membuat para adik kelasnya menangis terisak karena merasa kehilangan.
"Chacha anak kesayangan ibu, semoga sukses, ya, diluar sana. Jangan segan-segan main ke sekolah. Ibu bakal kangen, nih," ujar Bu Tata, lalu memeluk tubuhku erat. Rasanya memang sangat menyedihkan harus meninggalkan tempat yang selama ini sudah melukiskan beragam kejadian indah pun pahit dalam hidupku.
Masa abu-abu, adalah masa peralihan di mana aku mulai beranjak dewasa untuk menantang hidup yang lebih sulit lagi di masa depan. Masa yang menurutku sangat berkesan selama aku mengenyam bangku pendidikan. Masa di mana akhirnya cinta tumbuh subur di dalamnya, setelah bertahun-tahun terpendam tanpa ada kejelasan dan kepastian kapan akan mekar.
Masa di mana keindahan atas nama cinta mulai mengisi tiap-tiap sudut diari hatiku. Dipenuhi oleh beragam kejadian istimewa antara aku dan Wahyu. Si Pensiunan Idola Sekolah.
***
Seusai acara, aku dan teman-teman sekelas sudah menyewa sebuah kafe kecil yang berada di ujung jalan dekat sekolah. Demi merayakan pesta kelulusan kami, tidak masalah rasanya untuk menghamburkan uang sedikit. Toh ini hanya akan menjadi acara sekali seumur hidup.
Nana si ketua kelas galak masih saja misuh-misuh karena Rasyid belum bayar patungan sewa kafe.
Makhluk betina itu memang tidak pernah sekali pun berhati hangat. Terlalu sering menjabat sebagai ketua kelas, membuatnya menjadi sosok yang penuh ketegasan. Jika dia berkata A, kami tidak ada yang berani melawan. Sekali melawan, penggaris besi yang biasa dijadikan alat untuk menggarisi buku kas akan mendarat mulus di kepala. Seperti yang sering Rasyid rasakan setiap minggunya karena menunggak uang kas kelas.
"Kalo gak punya duit, ngapain lo ke sini?!" tanya Nana tegas. Pertanyaan dan pernyataan yang Nana buat, sama sekali tidak ketara perbedaannya.
Rasyid yang ketakutan sudah berdiri mematung di pojok kafe. Mengelus kepalanya pelan karena terkena senjata andalan Nana. Kami yang menyaksikan hanya bisa menahan tawa sambil memegangi perut yang mulai kram. Kami tidak berani melerai. Bisa melayang penggaris itu ke kepala kami.
"Ini, Na. Pake duit gue aja dulu," ujar Wahyu yang kini tengah asyik menyedot es cappuccino cingcau favoritnya, sambil menyodorkan beberapa lembar uang lima puluh ribu.
Nana menyengir senang. Lengkap sudah daftar murid yang akhirnya patungan untuk pesta hari ini.
Dimulai dari bermain games sampai saling curhat, acara berlangsung dengan baik. Tiyas si ratu kecantikan yang memimpin acara, oleh karena itu anak laki-laki yang biasanya sulit di atur oleh Nana, semua takluk seketika.
"Yu, giliran lo maju tuh!" Senggol Rasyid dengan wajah songongnya. Aku hanya bisa tersenyum memerhatikan Wahyu yang berdiri di depan sana. Dengan seragam putih abu-abunya yang banyak dihiasi coretan spidol dan pilox warna-warni.
Awalnya kaku, dia tidak terbiasa curhat dadakan seperti itu. Namun ledekan berisik dari Rasyid membuat laki-laki itu akhirnya bisa bersatu dengan suasana.
"Gue mau minta maaf sama cewek gue, Chacha."
Deg
Tiba-tiba semua diam. Hening. Hanya suara bising dari pendingin ruangan serta suara khasnya Duta SO7 yang diputar pelan mengisi keheningan tersebut.
Rasa khawatir di dalam hatiku perlahan mulai naik ke permukaan.
Maaf? Untuk apa?
"Gue sekalian mau pamitan sama lo semua. Besok lusa gue harus ke Amerika. Kuliah dan tinggal di sana. Maafin gue kalo selama ini gue banyak salah sama kalian. Terutama sama lo, Cha."
Suasana makin hening. Semua atensi tertuju padaku yang hanya bisa diam mematung karena terkejut. Wahyu tidak pernah membahas hal itu sebelumnya denganku. Ini, terlalu mendadak untuk aku pahami.
Wahyu melangkah mendekatiku. Tangannya terulur sambil mengelus puncak kepalaku, membuat buliran air mata yang mati-matian kutahan, akhirnya menetes. "Maafin gue, Cha. Gue harus pergi."
Aku mengangkat pandanganku. Menatap lekat sepasang manik hitam yang dipenuhi guratan kesedihan itu. "Becanda lo gak lucu, Wahyu!"
"Gue gak lagi becanda, Cha. Gue serius. Gue harus pergi besok lusa. Dan selama gue pergi, gue nitipin hati gue sama lo, ya?"
Bibirku makin keriting, karena tidak bisa menahan tangis. Alhasil, aku hanya bisa bangkit dari atas kursi lalu mendekapnya erat. Erat seerat-eratnya. Berharap ini hanya mimpi, karena aku tak ingin kehilangannya.
"Gue janji pasti bakal balik lagi ke elo, Cha. Gue gak bakal ninggalin lo selamanya. Cuma empat tahun. Gue harap lo bisa ngerti."
Egois, aku pikir Wahyu memang egois. Dia lebih mementingkan ambisinya dari pada aku. Tapi setelah dipikirkan kembali, aku hanya bisa membuang napas panjang nan berat. Aku tidak ingin menjadi penghalang bagi jalan pendidikannya. Mungkin ini memang yang terbaik.
"Kalo lo kangen gue, liatin aja bintang di langit. Anggap aja itu gue. Yang selalu hadir buat nerangin malam lo yang gelap."
Dekapan itu semakin erat kurasakan. Mampu menenangkan hatiku yang kian kalut karena takut menghadapi sebuah perpisahan.
"Gue sayang sama lo, Cha. Gue harap lo mau sabar dan nunggu sampe gue balik."
"Iya. Gue janji bakal nungguin lo."
***
TBC
Salam,
Aurelia
21 Pebruari 2019
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top