CHAP. 9

Kasus kecelakaan tambang itu berakhir abu-abu.

Antheia beberapa kali menemukan titik buntu saat mencoba menyelidiki kasus itu dari hal-hal terkait. Salah satunya adalah mencari para saksi untuk dimintai keterangan, tentu akan ada imbalan dan perlindungan menjanjikan.

Namun, yang berhasil ditemui hanya regu penambang biasa, bukan yang berada di lokasi saat kejadian. Ada pula yang naik ke media, mengaku sebagai saksi, tetapi penjelasannya terlalu meragukan.

Carolos melanjutkan perjalanan, Antheia tentu mengikuti sambil diam-diam menyusun rencana. Dia harus melakukan sesuatu, tetapi tidak boleh gegabah.

Kebetulan, tujuan mereka selanjutnya adalah ruang kontrol penjara. Carolos masuk dan mengambil alih kursi untuk mengotak-atik panel kontrol.

"Pria itu masih ngotot tak ingin menuruti perintahku, maka aku dengan senang hati akan mengirimkan hadiah padanya," kata Carolos sebelum meninggalkan kursi dengan wajah puas.

Kemudian, pria itu kembali melangkah untuk meninggalkan ruangan. Antheia mengikuti, tetapi hanya sampai pintu masuk. Matanya menyipit, pupil matanya bergerak pelan mengamati keadaan.

Pria tadi kembali duduk di kursi kontrol, bersiap melanjutkan pekerjaan.

"Mmmph!" Dia meronta, tangannya berupaya menggapai orang yang mengunci lehernya. Namun, usaha itu sia-sia. Antheia berhasil mematahkan lehernya dan membuat pria itu hilang kesadaran.

Kemudian, dia mengambil tempat duduk di kursi kontrol dan mulai memainkan beberapa tombol. Lima menit berikutnya, wanita itu meninggalkan ruangan, melangkah cepat menuju ruangan penjara.

Osei tampak kebingungan saat jeruji besi di depannya berhenti memercikan listrik. Dia tambah terkejut saat melihat seorang—yang diduga—penjaga mendekat. "Mau apa lagi kau?" tanyanya galak.

Antheia tak menjawab. Dia mengamati jeruji. Pintu besi itu ternyata memiliki keamanan ganda. Perlu sidik jari seseorang untuk membukanya. Apa pria tua bangka itu? Dia menduga kuat pada Carolos, mengingat pria itu yang terlihat berkuasa di sini.

"Dengar, Pak, aku akan membebaskanmu, tetapi aku perlu waku."

"Suaramu ...." Osei mengenali suara Antheia.

Tanpa mereka sadari, seekor lalat terbang melakukan scanning pada panel. Beberapa saat sebelumnya, ia telah melakukan tugas penting dengan terbang cepat menuju Carolos dan berhasil merekam bekas sidik jari yang tertinggal pada gelas. Sekarang pria itu tengah menikmati pesta kecil bersama beberapa orang khsusus di ruang jamuan.

Jeruji besi itu tiba-tiba terbuka.

Kedua pupil mata Antheia saling mendekat saat sebuah lalat terbang mendekati penutup wajahnya. Tunggu, sepertinya dia memiliki dugaan kuat terkait siapa dalang di balik robot kecil yang terbang ini.

"Sebaiknya kita cepat!"

Osei bergegas keluar meski tangannya masih terborgol. Apes, saat kakinya melangkai garis jeruji besi, alarm darurat berdering, membuat lampu merah ruangan berkedap-kedip.

"Ada tahanan yang kabur!"

Antheia dan Osei segera berlari, mencari arah yang sekiranya aman. Namun, borgol itu sudah dilengkapi GPS sehingga akan terus memberi tahu lokasi tahanan yang memakainya.

"Apa kita harus memutuskan tanganmu, Pak Osei?"

Pertanyaan horor itu sontak membuat mata Osei membulat. Dia menelan ludah. "Anda benar-benar wartawan gila, sesuai julukan Anda selama ini," sanjungnya, sarkas.

Antheia hanya menanggapi dengan tawa singkat. "Aku akan ke ruang kontrol. Aku melihat beberapa kunci di sana. Kau ikut?"

Osei mengangguk mantap.

"Baik, tapi jaga diri Anda baik-baik. Saya tidak bertanggung jawab kalau ada beberapa peluru memelesat ke kepala Anda," pungkas Antheia sebelum mengambil senjata laras panjang yang tersimpan baik di punggungnya.

Sesuai dugaan, ada sekelompok orang yang tengah sibuk di ruang kontrol. Pasti mereka telah mengendus perbuatan Antheia.

Tanpa ragu sedikit pun, Antheia memosisikan senapannya dan mulai menghujani mereka dengan tembakan. Osei bersembunyi ngeri di balik punggungnya, meski tubuh pria itu jelas lebih besar.

Dalam sekejap, ruangan dipenuhi kabut dan kekacauan. Namun, ada serangan balik. Antheia dan Osei segera bersembunyi di balik tembok.

"Anda masuk dan cari sendiri kunci itu, sementara saya mengalihkan perhatian mereka," kata Antheia.

"Lalu, selanjutnya?" Suara Osei bergetar.

"Anda tak bisa kabur sendiri?" Antheia menatap lurus-lurus pada wajah pria di depannya yang sama sekali tak bisa menyembunyikan ketakutan. Apalagi mulut pria itu terkatup rapat.

Antheia kembali melakukan serangan balik, tetapi dia harus menghemat peluru karena perjuangan mereka untuk keluar dari tempat ini masih panjang.

"Carilah jalan keluar sendiri. Gunakan kemampuan Anda untuk berpikir dalam situasi kritis seperti ini. Setidaknya berusahalah keluar dari tempat ini hidup-hidup karena saya akan membutuhkan Anda di kesempatan ke depannya," cerocos Antheia sambil terus menembaki musuh.

Setiap musuh terlihat akan bergerak, dia dengan gesit meluncurkan tembakan. Namun, jelas posisi mereka akan makin terdesak jika terus membuang waktu.

"Tak ada waktu!"

Antheia segera berlari setelah melakukan tembakan peringatan terakhir. Osei segera mengikuti, tetapi hanya sampai berhasil menemukan ruangan persembunyian.

Pasukan itu dengan cepat berlari mengejar Antheia, sementara Osei bisa bernapas lega—meski untuk sesaat. Pria itu kemudian mengamati sekitar sebelum mulai bergerak. Dia berterima kasih di dalam hati kepada Antheia yang rela dikejar-kejar hanya demi menolongnya.

Sepertinya pelarian Antheia memasuki gudang robot. Di sana cahaya sedikit minim. Terdapat ratusan badan robot yang berbaris rapi, dalam keadaan mati. Antheia bersembunyi di salah satu barisannya, menunggu musuh datang.

Terdengar langkah cepat yang pelan, pertanda pasukan musuh sudah memasuki ruangan. Antheia berjalan mengendap-endap dengan tubuh membungkuk—meski tinggi robot itu setinggi pria dewasa, berpindah cepat dari satu tempat ke tempat lain.

Dia berhenti dengan cepat, hampir terkena tembakan musuh. Jaraknya hanya beberapa senti di depannya. Sepertinya dia sudah ketahuan! Di saat bersamaan, tubuhnya juga sudah kelelahan, tak bisa lagi memakai bakat spesialnya. Bisa dilihat, wajahnya yang tertutup topeng itu dipenuhi keringat. Hawa panas juga cukup menyiksanya.

Gawat!

Antheia lengah. Musuh mengetahui keberadaannya dan langsung menembakkan peluru. Namun, dia berhasil berguling ke kanan dan menabrak barisan robot, membuatnya jatuh berurutan, seperti domino.

Lalu, tak berselang lama, puluhan peluru langsung menghujaninya. Antheia dapat merasakan, satu peluru menyerempet tipis betisnya, berhasil merobek baju khususnya. Dia hendak membalas, tetapi nahas, peluru senapannya habis!

"Sial!" umpat Antheia.

Dia hampir putus harapan ketika tiba-tiba terdengar tembakan yang lebih brutal dari arah pintu masuk.

Seseorang bersembunyi di lantai dua, memegang satu senapan M1919 dengan moncong mengarah pada gudang robot. Matanya menyipit, gesit memperhitungkan musuh.

Hujan peluru kembali terjadi, sejumlah 200 peluru menyerbu hanya dalam beberapa detik. Membuat ruangan itu porak poranda. Namun, musuh yang tersisa segera menyadari keberadannya, dan segera memanggil bala bantuan.

Di dalam ruangan, Antheia berupaya melarikan diri di tengah kekacauan. Dia memungut senjata dari pasukan yang telah tewas bersimbah darah. Sebagian darah malah mengenai sepatunya, membuat jejak yang ditinggalkan terlihat jelas.

Aksi tembak-tembakan terus berlanjut. Namun, sepertinya musuh misterius itu memiliki persenjataan lengkap.

Antheia tak membuang waktu, segera melancarkan serangan sehingga musuh dalam keadaan terdesak. Percikan-percikan api mulai terbentuk dari kabel-kabel yang terkena tembakan, kemudian mengeluarkan asap yang menguarkan bau hangus.

Dari arah utara, dua pasukan musuh terlihat mendekat. Arah tembakan pun beralih kepada mereka.

Antheia tak tinggal diam, segera menghabisi musuh dengan senapan yang dipegangnya. Peluru demi peluru yang ditembakkan dalam waktu berdekatan, akhirnya membobol baju pelindung musuh, membuat tubuh mereka akhirnya terkena. Mereka satu per satu tumbang dengan luka tembak yang mengeluarkan darah segar.

Sesaat setelah Antheia keluar, ledakan besar terdengar. Orang misterius tadi telah melemparkan sebuah granat genggam berdaya ledak 200 desibel dengan mengeluarkan cahaya membutakan delapan juta Candela. Itu cukup untuk membuat ruangan di sekitar mereka makin berantakan.

"Kau memang wanita gila!"

Antheia tersenyum. Ternyata dugaannya benar. Shouei-lah dalang di balik kerusuhan beberapa detik lalu. "Bagaimana kau menemukanku?" tanyanya sekadar basa-basi.

"Hah, kau melupakan lalat kecil penolongmu," jawab Shouei. Sekarang dia sibuk mengisi ulang peluru pistol G18 miliknya.

"Hoo, kau sekarang sudah lebih berguna." Ucapan Antheia bermakna ganda.

Namun, Shouei tak terlalu peduli. "Kita harus menjemput pria itu, kan? Tadi kutinggalkan di ruangan mayat dalam keadaan babak belur."

"Dia memang pria yang payah," cibir Antheia.

Mereka berbelok ke kiri. Ruangan masih sama, dengan alarm darurat yang terus berdering. Ada beberapa CCTV yang mengawasi gerak-gerik mereka.

Shouei mengangkat tangan, menembak dua CCTV sekaligus dan membuatnya rusak. "Kau juga sepertinya ingin segera mendengar kabar labirin itu," ujarnya.

"Sekarang fokus urus mereka dulu!"

Di hadapan mereka, sepasukan orang berseragam hitam sudah menunggu. Antheia dan Shouei merapat, punggung mereka saling bersentuhan.

Detik berikutnya, pertempuran kembali pecah. Keduanya bekerja sama dengan baik, saling melindungi, menyerang dengan ganas. Namun, musuh membawa tameng pelindung dan perlindungan yang lebih lengkap.

Pertarungan itu ternyata membutuhkan waktu lebih lama. Antheia yang sudah kelelahan, membuatnya jadi sasaran yang lebih lemah. Dua peluru berhasil menyerempet kakinya, tubuhnya terbanting beberapa kali ketika pertempuran berubah menjadi jarak dekat.

Shouei, meski tubuhnya kurus kecil, dia dapat bergerak lebih lincah dari orang-orang. Dia tampak terlatih dalam pertempuran, lebih baik dari Antheia. Apalagi dia memiliki stok senjata yang seperti tak habis-habis.

"Bam! Kau berutang nyawa padaku," kata gadis itu setelah berhasil melumpuhkan musuh terakhir.

"Kubayar dengan pria idamanmu itu," jawab Antheia sambil mencoba bangkit. Tak bohong, pinggangnya encok. Mungkin faktor U.

Seperti tempat sebelumnya, ruangan ini juga dibuat berantakan oleh mereka.

Keduanya kembali bergerak. Kali ini Shouei yang memimpin jalan karena mereka harus kembali untuk menjemput Osei.

Ternyata benar, ketika berhasil ditemukan di ruangan mayat, pria itu masih dalam keadaan tak sadarkan diri. Sementara itu, ruangan ini cukup memiliki kesan menyeramkan. Banyak potongan tubuh yang dipajang. Ada pula barisan mayat yang entah masih baru atau tidak.

"Woy, bangun!" Shouei mendaratkan sebuah tamparan kencang tanpa sungkan sedikit pun. Namun, aksinya itu berhasil membuat Osei tersadar.

"Di mana aku? Apakah aku sudah mati? Tapi kenapa aku tidak bertemu istriku?" cerocos pria itu setengah melindur.

"Bergegas atau Anda kami tinggal," ancam Antheia yang sudah bersiap pergi.

Osei bergegas berdiri meski kesadarannya masih belum penuh dan tubuhnya agak lemah.

Kali ini, mereka bergerak dengan lebih hati-hati. Tak ingin kembali berhadapan dengan musuh karena dua orang sudah dalam keadaan tak memungkinkan untuk bertarung. Shouei enggan rugi dengan menjadikan dirinya sebagai dewa pelindung.

Beberapa menit berikutnya, mereka mendekati garasi yang berisi mobil-mobil kapsul keluaran terbaru. Shouei memilih mobil kapsul yang tampak mahal dari badannya saja. Mereka masuk dengan cepat karena di belakang sana musuh telah mengendus.

"Pegangan, Tuan dan Nyonya!" kata Shouei sebelum menyalakan mesin.

Apa yang diperintahkan gadis itu harus segera dituruti. Sudah jelas, karena Shouei adalah pengendara yang ugal-ugalan.

Mobil mulai melaju, menabrak apa saja yang menghalangi. Benda-benda, bahkan orang-orang. Mencipta kerusakan, ledakan demi ledakan, dan kerusuhan yang memorakporandakan bangunan. Sampai kemudian, mobil berhasil memelesat ke luar dan langsung naik ke zona Z-2.

Lalu lintas di tengah malam hampir benar-benar sepi, membuat Shouei merasa lebih leluasa untuk menambah kecepatan mobil. Bulan purnama bersinar dengan terang, sembunyi malu-malu di balik gedung pencakar langit.

Antheia kembali merasakan sensasi yang membuat tubuhnya lemas ketika mobil melewati patung Monumentale La Corso. Dia hanya bisa menahan napas dan mencoba mempertahankan kesadaran.

Mobil turun ke zona Z-0, kemudian berhenti di pinggir hutan Prefektur 10. Ketiganya turun dengan buru-buru, sementara mobil kembali melaju. Kelihaian Shouei dalam mengendarai mobil kapsul itu membuat musuh tertinggal jauh.

Mereka hanya tinggal menunggu waktu sebelum mobil itu meledak di jalan yang memasuki hutan. 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top