CHAP. 8
Mereka terus berjalan menerobos kegelapan.
Antheia yakin, mereka sudah menghabiskan waktu satu jam hanya untuk berjalan dari titik awal. Berkat helm kaca yang sudah diisi oksigen, dia merasa semua normal saja.
Tim terdiri dari sepuluh orang. Satu sebagai pemimpin jalan yang membawa pencahayaan. Sang ketua berada di baris kedua, memegang peta lokasi. Sisanya, empat orang memegang tali kekang—termasuk Antheia—yang mengikat seekor anjing robot besar dengan badan kekar, dua orang mendorong robot khusus, dan dua terakhir membawa tas peralatan.
Rombongan otomatis berhenti ketika sang ketua mengangkat tangan. Mereka menemui lorong bercabang pertama.
Kalau dipikir-pikir, ini lorong bercabang pertama yang ditemui Antheia sejak mereka berjalan dari titik awal. Agak aneh.
Kemudian, dua pria di depan Antheia berjongkok dan mengotak-atik robot anjing miliknya. Setelah teratur sempurna, keduanya melepas tali kekang. Dua anjing itu pun berlari memasuki lorong berbeda. Sementara itu, si pria memegang remote kendali yang menampakkan layar hitam-putih dari penglihatan si anjing.
Sekitar 10 menit kemudian, data-data mulai berhasil dilengkapi.
"Tutup lorong sebelah kiri!" perintah sang ketua.
Tepat setelah si anjing kembali kepada pemilik, dua orang mendorong alat berbentuk sigung yang berukuran sekitar satu meter. Alat itu kemudian masuk ke lubang sebelah kanan dan mengeruk tanah sampai menutupi lorong.
Sambil mengamati, Antheia terus menganalisis mengenai tujuan yang dilakukan oleh tim ini. Mengapa mereka harus menutupi lubang?
"Lanjut! Kita harus pastikan lorong labirin ini tidak mengarah pada tempat khusus. Bos tidak ingin kita bekerja lambat, jadi cepatlah semua!" omel si pria bos dengan suara galak. "Tak ada yang namanya situs penemuan kuno dewa-dewa itu, tugas kita hanya tutup jalan!"
Rombongan pun kembali berjalan.
Memang, diameter lorong ini berbeda dengan buatan penambang. Diameternya lebih luas, dindingnya lebih rapi. Tak ada tumbuhan yang hidup di sana.
"Tutup lorong ini!"
Mereka telah tiba di cabang ketiga. Antheia makin memahami situasi. Mereka menutup hampir semua lorong dengan suhu yang berbeda dari lorong yang mereka telusuri. Dalam artian lain, lorong-lorong itu bisa saja mengarah pada sesuatu yang lebih dalam, sementara mereka hanya ingin membuat lorong temuan ini sebagai tempat biasa.
"Tutup lorong yang ini, cepat! Maka, 20 menit lagi kita bisa beristirahat!" suruh si pria bos.
Antheia mengernyit cukup lama. Aku mengenali lorong ini.
Jelas, dia pernah melewati tempat itu. Lorong tersebut mengarah pada ....
"Tulisan apa ini, heh?" gerutu si pria kurus dengan kumisnya yang tebal itu.
Ada sebuah tulisan timbul yang sedikit rusak di dinding lorong. Antheia baru menyadari keberadaan tulisa itu. Sepertinya ketika ke sini kemarin-kemarin, dia tak terlalu teliti karena fokus memikirkan Cerberus.
Antheia mengamati tulisan itu dengan lamat-lamat, kemudian kedua matanya membola.
Dewa Minerva yang agung, penolong kaum kami. Berkatilah kami dengan kasih sayangmu yang tidak terkira.
Antheia bisa membaca tulisan dalam aksara kuno itu!
***
Malam telah datang saat mereka berhasil keluar dari lorong.
Ini gila! Antheia terpaksa terjebak dan bekerja bak anjing gila di tim itu selama seharian penuh! Namun, dia belum ingin beristirahat. Sekarang dia justru ikut dalam tim dan menaiki mobil yang katanya menuju basecamp mereka.
Dia tak tahu akan dibawa ke mana. Mobil kapsul yang ditumpangi tertutup sepenuhnya. Perjalanan pun memakan waktu hampir satu jam.
"Cepat!" Teriakan itu mengembalikan tenaga Antheia.
Mobil telah berhenti di dalam sebuah bangunan. Mereka turun dengan gesit dan membentuk barisan dua panjar. Antheia berdiri di belakang seorang pria tinggi besar yang punya mata sangar. Sepertinya ini hanya akan ada acara apel sebelum dibiarkan beristirahat.
Namun, Antheia terkejut saat satu regu penembak mulai memasang posisi, menghadap tepat ke arah mereka dengan senjata masing-masing teracung.
Dalam sekejap, suasana berubah panik.
Tim regu tembak menarik pelatuk senjata, kemudian sebuah peluru memelesat, siap merenggut nyawa mangsa. Anehnya, tak ada yang mencoba melarikan diri.
Dor!
Seluruh pasukan yang menjadi rekan kerja dadakan Antheia jatuh bersamaan dengan bersimbah darah. Peluru tepat mengenai jantung, menembusnya sehingga target langsung lemas tak berdaya.
"Tangkap dia!"
Teriakan itu mengiringi kepergian Antheia. Wanita itu tak ingin memberikan nyawa begitu saja, maka dia melarikan diri dengan gesit.
Tak ada jalan keluar, tetapi masih ada pintu-pintu yang membawanya pada beragam ruangan untuk upaya melarikan diri. Sepasukan penembak mengejar di belakang sana. Antehia tak gentar meski tembakan terus terdengar, memberondong, memburunya.
Ini gila! Otaknya bekerja keras mencari akal.
Dia makin dalam memasuki ruangan, alarm darurat berbunyi nyaring, pengumuman dengan kalimat yang sama terdengar berulang kali.
"Tahanan nomor 376 melarikan diri! Ulangi, target mencurigakan!"
"Sial, merepotkan!" Antheia sekarang dikejar segerombolan robot yang membawa senjata laser.
Dalam sekejap, ruangan makin kacau. Antheia tak masalah membuatnya berantakan karena laser-laser itu memelesat tak mengenainya, tetapi dia masih sayang nyawa. Dia sebenarnya masih ingin berlari, tetapi makin ke sini, ruangan baru terasa membuang kesempatannya untuk kabur.
Antheia masuk ke ruangan berganti pakaian. Ada banyak setelan pakaian, baik di dalam lemari atau di luar, yang semuanya berwarna sama.
Dengan cepat, dia mengambil satu setelan hitam tanpa nomor punggung. Kemudian, mencari tempat bersembunyi yang strategis.
Gerombolan musuh tiba dengan hawa membunuh kuat. Mereka mulai mengendap, mengurangi suara, dengan mata mengamati sekitar. Sementara itu, pasukan robot belum tiba, entah ke mana. Tadi Antheia memblokir jalan mereka di ruangan laboratorium dengan beberapa rak beragam cairan kimia yang dihancurkan.
Pemimpin pasukan regu tembak mengangkat tangan, memberi kode.
Antheia memfokuskan diri sambil memejamkan mata. Dia harus fokus karena akan mengeluarkan tenaga besar.
Tiba-tiba, rak pakaian terangkat. Jelas, hal itu mengejutkan mereka, tetapi mereka masih mencoba waspada.
Satu tembakan mengenai besi rak pakaian, tetapi benda itu masih melayang. Baju-baju yang tertata rapi mulai melayang. Antheia mengeluarkan bakatnya dengan maksimal, sampai membuat lampu-lampu ruangan berkedap-kedip.
Sepuluh orang yang memegang pistol laras panjang itu makin waspada. Mereka merapat, membentuk lingkaran, saling memunggungi.
Antheia tak membuang waktu, segera membuat pakaian-pakaian itu terbang makin tinggi, berputar makin cepat. Kemudian, mendekati lingkaran kesepuluh orang yang mulai terlihat kebingungan.
"Jangan gentar!" Teriakan penyemangat itu sedikit mengembalikan keberanian mereka.
Namun, detik berikutnya, gumpalan pakaian itu makin merapatkan diri, dan menempeli mereka. Bagian tangannya saling mengikat, mengurung para manusia yang mendadak tak berdaya itu. Ini pengalaman pertama bagi mereka. Sebelumnya tak ada benda yang melayang tanpa remote, apalagi benda itu seolah-olah dikontrol oleh seseorang.
"Argh!" Teriakan kesakitan terdengar, tepat saat penjara pakaian itu menyusut, mengikat lebih kuat, membuang ruang.
Antheia mengepalkan kedua tangannya kuat-kuat, matanya memejam, wajahnya penuh keringat dingin. Matilah kalian! Dia menambahkan kekuatan sihir dan teriakan kesepuluh pria itu terdengar makin kencang.
Antheia mengarahkan gerombolan pakaian terbang kedua dan membuatnya meliliti leher mereka dengan tidak berperasaan.
Rasa terkejut jelas lebih mendominasi. Mana pernah kesepuluh pria itu membayangkan akan mati dicekik pakaian terbang. Sungguh konyol!
Suara orang-orang yang tercekik mengakhiri keributan aneh itu. Pakaian-pakaian yang terbang satu per satu jatuh melayang ke lantai. Yang mengikat mereka pun mulai mengendur. Kemudian, kesepuluh pria malang itu jatuh lemas dengan nyawa telah terpisah dari badan.
Antheia keluar dari balik rak pakaian dengan tubuh lelah. Dia megap-megap. Matanya yang biru keabu-abuan, mengamati sekitar dengan waspada. Sepertinya sekarang sudah aman, jadi dia bisa kembali bergerak.
Setelah mengganti pakaiannya dengan seragam regu tembak dan mengambil sebuah pistol laras panjang, Antheia pun meninggalkan ruangan. Namun, dia tak langsung mencari jalan keluar. Kejadian tadi membuatnya makin penasaran dengan ruangan ini.
"Tim penelitian itu makin kesulitan? Baguslah."
Dengan sigap, Antheia merapat ke dinding, bersembunyi. Itu suara Carolos. Ketukan langkahnya terdengar mendekat ke titik persembunyian Antheia. Beruntung, dia telah menyamar dengan sempurna, jadi ketika pria itu lewat, dia bisa memberikan hormat dengan tenang.
"Ikutlah!" perintah Carolos yang tak terlalu memperhatikan. Dia kembali mendengarkan laporan dari salah satu bawahannya.
"Lalu, Pak, ada laporan terbaru mengenai salah satu tahanan yang melarikan diri di detik-detik penembakan. Sampai saat ini, regu penembak tengah mengejarnya." Pria bertopi lonjong itu mengenakan earphone putih yang membuatnya terhubung dengan banyak orang.
"Halah, paling cuma cecunguk bodoh. Aku yakin sebentar lagi dia akan tertangkap dan ditembak mati," balas Carolos dengan penuh percaya diri. "Lanjutkan laporanmu, sementara aku sudah tidak sabar ingin mengunjungi pria tua yang sok tahu itu!"
Ternyata pria itu memasuki lorong berisi banyak ruangan berjeruji perak yang memercikan listrik. Lampu-lampu menyala terang, membuat lorong putih itu makin cerah. Dia berjalan angkuh menuju penjara paling ujung yang berada di lorong lain.
"Selamat malam, Tuan," sapa Carolos dengan senyum angkuhnya yang menyebalkan.
Melihat pria yang tampak lemah dengan tubuh babak belur di balik jeruji, Antheia menahan napas. Ekor matanya berotasi dan menemukan orang-orang yang cukup familier.
Bukankah mereka para saksi kecelakaan tambang yang mendadak menghilang?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top