CHAP. 7

Foto-foto itu mengungkap misteri dan menggerus rasa penasaran.

Kedua mata biru keabu-abuan Antheia menatap fokus pada layar monitor yang menunjukkan banyak foto serta video. Sebagian merupakan pemberian dari Shouei, sebagian lagi diambil olehnya ketika melakukan perjalanan menelusuri lorong dua hari lalu.

Aksi mereka tak mendapat gangguan lagi. Yah, meski untuk keluar dari sana, mereka harus berputar, tersesat, berbalik arah berkali-kali. Beruntung GPS kembali berfungsi sehingga mereka bisa menelusuri jalur awal dan keluar dari pintu lorong di dalam hutan.

Ngomong-ngomong soal Shouei, gadis itu katanya akan lanjut meneliti lorong untuk mengobati rasa penasarannya yang makin meninggi.

Antheia bangkit berdiri ketika mendengar pintu utama rumahnya berdering. Layar kecil memvisualisasikan sensor dari tamu di luar dengan wujud sempurna.

"Halo, Nona!" sapa Valli.

Hari ini pria itu tampil dengan setelan santai. Atasnya hanya kaus dengan celana gombreng. Lalu, rambut panjang pirangnya diikat rapi.

"Mengganggu?" tanya Valli.

Antheia menggeleng. Kemudian, mereka pun berjalan masuk dan duduk di sofa ruang tamu.

"Ada yang ingin kubicarakan." Seperti biasa—dan mengikuti kebiasaan lawan bicaranya, Valli langsung bicara pada inti. Tak ada basa-basi, atau dirinya akan diusir karena sudah mengganggu akhir pekan Antheia.

"Beberapa hari lalu, aku pergi ke kantor Pak Carolos dan tak berhasil bertemu dengannya. Lalu, satu jam lalu, asisten pria itu mengabarkan bahwa Pak Carolos belum memberi kabar atau menunjukkan diri. Itu membuat proyek penelitian yang dipimpinnya sedikit kacau," sambungnya dengan nada serius.

Di tempat duduknya, sambil menyilangkan kaki, Antheia mulai mencoba berpikir.

"Titik terakhir pria itu terlihat adalah di rumahya, tetapi rumah dalam keadaan kosong bahkan sampai hari ini." Valli memberi jeda. "Aku punya asumsi, pun dengan beberapa orang yang mulai mencari keberadaannya karena hilangnya dia membuat proyek penelitian sedikit molor."

Antheia mengangguk sekali.

"Ada kemungkinan pria itu diculik, entah oleh oknum penduduk yang tidak menyukainya—karena sejak situs itu ditemukan, Pak Osei selalu mengeluarkan pernyataan yang membuat penduduk tambah geram—atau orang-orang tertentu," imbuh Valli.

"Sepertinya kecil kemungkinan. Penduduk hanya sebatas membenci jalan pikirnya. Jelas mereka tak mau ambil risiko dengan menanggung hukuman besar, kan? Mau bagaimanapun, Pak Osei merupakan orang berpengaruh, dan hukum di kota kita selalu makin berat kalau berurusan dengan orang berpengaruh, kan?" Pendapat Antheia membuat Valli kembali merenung.

Suasan berubah hening dalam waktu lama. Ruangan bernuansa putih itu tampak lebih tenang. Selain set sopa berwarna abu-abu, ada perlengkapan lain yang memenuhi ruangan: televisi, rak buku, pot bunga, pigura foto, satu set kursi-meja tambahan.

Ke sanalah pandangan Valli teralih, pada layar monitor yang masih memperlihatkan foto-foto dan video.

"Kau sedang meneliti sesuatu?" selidik Valli yang tampak berminat. Jelas, dia sedikit mengenali foto yang terpampang itu. Bukankah itu foto-foto reruntuhan patung di dalam situs?

"Ya," jawab Antheia apa adanya.

"Itu sebabnya kau tak bisa dihubungi di luar jam kerja?" terka Valli lagi.

"Tidak juga. Aku hanya tak sempat memegang ponse di luar jam kerja," jawab Antheia, setengah jujur.

Tiba-tiba Valli melebarkan senyum. "Kau sibuk berkencan, ya?" Dia menuduh bukan tanpa bukti. Segera saja dia mengeluarkan ponsel dan mempelihatkan sebuah artikel pada Antheia.

Di sana, terpampang foto Ruiz yang tengah mengecup dirinya. Lalu, ada foto tambahan ketika mereka pergi kencan."Seorang Jenderal dan Seorang Wartawan Legenda Berkencan?" Judul besar itu membuat kedua mata Antheia terbuka lebar-lebar.

"Baguslah kalau kau memanfaatkan kedekatan kalian dengan baik," goda Valli sembari berupaya keras menahan tawa.

Antheia menyisir rambut pirangnya yang pendek dengan tangan. "Yah, kau partner kerja sekaligus sahabat yang mengerti."

Kemudian, tatapan Valli kembali beralih pada layar. "Sejujurnya ini tidak sopan, tetapi aku amat penasaran."

"Baiklah, kau boleh melihatnya."

Antheia pun berdiri dan melangkah menuju layar monitor diikuti Valli. Dia menunjukkan beberapa foto seperlunya.

"Sepertinya kau harus menghubungi Bos terkait pembatalan agenda kita," celetuk Valli.

Menghilangnya Osei juga memengaruhi mereka. Harusnya dua hari lalu, mereka mengadakan acara bincang santai di televisi. Antheia sengaja mengundang Osei langsung untuk lebih leluasa mengemukakan pendapatnya mengenai penemuan situs kuno.

Semua telah dipersiapkan, bahkan Valli sudah meminta perpanjangan waktu sampai hari ini. Namun, sekarang tak bisa dipaksakan lagi.

"Baiklah, akan kuurus nanti."

Tiba-tiba ponsel Antheia berdering. Telepon masuk, dari Ruiz. Beberapa hari sebelumnya mereka memang bertukar nomor untuk berhubungan meski tidak intensif.

"Nona, apa malam nanti kau sibuk?" Suara di seberang sana sedikit tenggelam dengan bunyi mesin.

"Tidak," jawab Antheia.

"Aku memiliki waktu libur meski tidak lama. Bisa kita pergi?" Ada harapan besar yang terselip dalam suara dalam pria itu.

"Bisa, tetapi jika tak lama, mungkin aku sendiri yang perlu datang ke tempatmu." Antheia memang tak suka berbasa-basi. "Yah, kau tahu, aku memerlukan sedikit bantuanmu untuk pekerjaanku."

Di seberang sana, Ruiz tersenyum manis, senang dirinya dibutuhkan oleh wanita incaran. "As you wish, Nona. Datanglah kapan pun, tetapi agar agenda kencan kita berjalan baik, datanglah pukul tujuh malam."

Jam menunjukkan pukul lima lewat, artinya masih tersisa waktu cukup.

"Baiklah."

Telepon terputus.

"Kalian akan kencan?" Valli memasang tampang menggoda. Bahkan, dua jari tangan kanannya menempel di jidat, membentuk hormat.

"Daripada gabut di malam Minggu," balas Antheia yang tak suka dengan sikap usil Valli.

"Baiklah, Nona. Buatlah dia bertekuk lutut sampai memohon-mohon tak ingin ditinggalkan. Maka dari itu, lebih baik aku pamit saja." Usai mencerocos, Valli benar-benar langsung undur diri.

***

Pukul tujuh malam.

Antheia sengaja datang bukan untuk kencan. Dia hanya ingin melihat seberapa jauh mereka telah bertindak.

Pria itu telah menunggunya di dekat pintu masuk dengan setelan rapi ala pria-pria yang akan pergi kencan dengan wanita idaman.

"Maaf harus membuatmu datang," sesal Ruiz sungguh-sungguh.

"Ini hanya masalah pekerjaan yang tak bisa ditinggal, kan?" balas Antheia dengan manis.

Keduanya lalu berjalan menuju sebuah tempat sambil terus berbincang-bincang. Jelas mereka jadi pusat perhatian karena "hubungan" yang telah diketahui publik. Namun, Antheia tak perlu takut, dia bisa bersembunyi di balik nama Ruiz dan kata "kekasih".

"Kau yakin tak apa kencan di sini?" tanya Ruiz.

"Tak apa, aku bisa memahami dan tak ingin membuatmu repot." Lagi-lagi Antheia sengaja mengucapkan kata-kata manis.

"Kau benar-benar wanita idamanku, Nona," sanjung Ruiz. Dengan lembut dia mencium punggung tangan Antheia.

Aku memiliki misi lain di tempat ini, Ruiz. Terima kasih karena kau menjadikan dirimu jembatan untukku, batin Antheia.

Hanya dalam waktu singkat, hubungan Antheia dan Ruiz makin diketahui banyak orang. Itu membuka akses keluar-masuk dengan lebar. Antheia bisa berdalih bahwa dia akan bertemu kekasihnya saat orang lain tak bisa masuk sembarangan ke lokasi tambang.

"Hati-hati jalanmu," peringat Ruiz saat baru beberapa langkah Antheia memasuki lorong bawah tanah, bekas galian tambang.

"Ya, terima kasih."

"Jalan menuju titik kecelakaan telah ditutup sepenuhnya, jadi tak ada ancaman bahaya seharusnya," ujar Ruiz lagi.

Antheia tak banyak menyahut, atau mengucapkan banyak kata-kata. Dia memfokuskan sebagian besar dirinya pada keadaan di sekitar.

Lorong yang lebih luas—lebih cocok disebut gua—itu tampak sibuk. Puluhan—atau ratusan—orang dengan seragam berbeda-beda, membentuk regu, dan fokus bekerja. Regu berseragam putih sepertinya tim medis. Mereka tengah sibuk menangani seorang pria yang tampak lemah.

"Lapor, Pak. Satu orang dari tim penelusuran yang dinyatakan hilang tiga hari lalu, telah kembali dengan keadaan lemah. Saat ini tengah ditangani oleh tim medis." Seseorang melapor pada Ruiz.

Antheia menguping sambil fokus mengamati kinerja tim medis. "Sepertinya kau akan sibuk. Jadi, sebaiknya aku kembali saja," katanya setelah dia dan Ruiz kembali dibiarkan jalan berduaan.

"Kau tidak mengggangguku, malah aku yang memintamu menemaniku, kan?"

Bohong itu. Tadi Antheia sempat "memengaruhi" Ruiz sehingga pria itu mau mengajaknya turun ke lokasi tambang.

"Tak apa. Lagi pula kita bisa bertemu lain waktu, kan?" ujar Antheia.

Akhirnya Ruiz melepas meski dengan kecewa. Sebelum pergi, lagi-lagi pria itu mendaratkan ciuman singkat. Antheia mengumpat dalam hati, tak senang dengan hal itu. Beruntung Ruiz memiliki para rupawan. Rahangnya kokoh, matanya cokelat terang, bibir merahnya tebal,

Kau memang tak ahli menggombal, tetapi jago nyosor, gerutu Antheia sambil berjalan meninggalkan Ruiz.

Tepat saat tiba di belokan lorong, Antheia pergi ke tempat yang agak gelap. Gerak-geriknya nyaris tak diketahui siapa pun.

Hari ini dia memakai pakaian dengan bahan tipis. Itu membantunya lebih cepat mengganti kostum. Hanya dalam waktu singkat, tubuhnya sudah dibalut setelan serba hitam. Terakhir, Antheia melempar tasnya yang hanya jadi pajangan saja. Tak ada benda apa pun di sana.

Selanjutnya, wanita itu berjalan mengendap-endap di dalam bayangan atau kegelapan. Lantas, saat menemui kesempatan, dia dengan segera bertindak.

Antheia tidak melancarkan serangan brutal atau membuat korbannya hilang kesadaran. Dia menyentuh pundak pria kurus itu, lalu saat mata keduanya beradu pada satu titik, Antheia memakai bakatnya.

Kau harus segera pulang, istrimu melahirkan. Keluarlah dengan mengendap-endap, di sini tempat yang berbahaya. Lalu, lepaskan juga seragammu, itu membuatmu terlihat mencolok.

Setelah kata-kata itu diterima oleh otaknya, si pria langsung tampak ketakutan. Dia buru-buru melepas seragam dan meninggalkannya begitu saja. Kemudian, tanpa membuang waktu lagi, dia segera pergi dari sana dengan ketakutan.

Antheia mengenakan seragam hitam yang ditinggalkan si pria tadi. Seragam itu sampai menutupi wajah, dilengkapi dengan tabung oksigen, dan terdapat helm udara. Ada tulisan nomor 376 dengan tinta putih di punggungnya. Meski tampak ribet, semua terasa ringan.

Sekarang, Antheia siap menyusup.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top