CHAP. 2


Milana City tampak lebih ramai dari biasanya.

Ketika mobil-mobil kapsul berlalu-lalang di jalan raya atau di udara, memelesat mengangkut orang-orang yang hendak bekerja atau mengantar anak-saudara ke sekolah. Hari pun tampak lebih cerah kala itu. Matahari bersinar lembut menghangatkan kota, meski gedung-gedung tinggi yang seolah-olah berlomba menyentuh langit, menghalangi sehingga cahayanya hampir kesulitan menyentuh orang-orang.

Lalu lintas pun tampak teratur. Beberapa polisis-yang nyaris semuanya robot-mengatur kendaraan dengan rapi. Para penduduk pun seolah-olah enggan menghancurkan pagi mereka dengan mengurus hal tidak perlu sehingga memilih fokus ke jalan saja.

Namun, di depan Rumah Negara yang berdiri megah lagi agung dengan bendera-bendera beragam warna memenuhi bagian mukanya, ratusan bahkan ribuan orang tengah berteriak-teriak. Bahkan meski gedung lima lantai itu dikawal ratusan pasukan berseragam lengkap, orang-orang tak gentar sedikit pun.

"Hancurkan situs itu!"

"Ya, itu hanya membuat penduduk bingung!"

"Tak ada yang namanya dewa! Osei adalah manusia sesat!"

"Kasus kecelakaan kerja para penambang saja belum diusut tuntas, penemuan situs kuno hanya pengalihan isu saja!"

"Kami tak percaya dengan pemerintah! Kasus itu seolah-olah ditutupi!"

Para warga berlomba-lomba mengeluarkan suara paling kencang, mengutarakan unek-unek mereka.

Beberapa waktu lalu, penduduk kota maju itu berduka karena terjadi kecelakaan di area tambang negara yang dikelola oleh salah satu pejabat kota, Carolos Petrou. Penambangan itu baru berjalan beberapa bulan, tetapi sudah memberikan hasil memuaskan.

Namun, beredar kabar bahwa pengelolaannya kurang baik sehingga beberapa pekerja mulai mengeluarkan keluhan. Melihat hal itu, Carolos jelas berupaya menepis dengan banyak cara. Salah satunya sering muncul di televisi dan mengucapkan janji-janji manis.

Seorang wartawan wanita tampak tengah berbicara dengan serius di depan rekannya yang bertugas menjadi juru kamera. Antheia Erianthe pagi-pagi sekali sudah harus terjun ke lapangan bersama rekan-rekan sejawat yang lain.

Kasus di kota belakangan jadi lebih ramai. Sebagai seorang wartawan senios sih dia justru senang-senang saja. Apalagi kasus saat ini cukup menarik perhatiannya.

"Seperti yang dikatakan Osei pada wawancaranya beberapa hari lalu, situs kuno itu diperkirakan sudah berusia lebih dari ribuan tahun. Namun, belum ada penjelasan logis atau informasi penting yang didapat dari situs tersebut. Lokasi yang berada di bawah tanah pun menyulitkan para arkeolog untuk meneliti." Antheia beralih pada wanita gendut di sampingnya.

"Saat ini saya telah bersama salah satu peserta orasi, Ny. Julia. Apa pendapat Anda mengenai penemuan situs kuno yang digadang-gadang memiliki nilai sejarah berharga ini?" Dia pun memusatkan perhatian sepenuhnya pada wanita berwajah sangar itu.

"Penemuan itu pasti hanya pengalihan isu pemerintah! Anak tetanggaku jadi korban kecelakaan tambang itu! Aku kecewa pada pemerintah yang lebih mementingkan situs tak berharga daripada keadilan untuk para korban!"

Suara wanita itu tayang ke seluruh penjuru kota, menyentuh telinga-telinga pemerintah, dan mendorong asumsi para penduduk.

***

Bayangan hitam itu berpindah-pindah dengan cepat dan senyap.

Sepasang mata biru cemerlangnya menatap tajam, berusaha menembus kegelapan yang mencekik, membuat lorong itu terasa makin pengap. Tanah merah yang masih basah menempel di sepatu bots hitamnya, membuat jejak-jejak yang ditinggalkan tercetak jelas.

Beberapa langkah berikutnya, keremangan mulai memadamkan kegelapan. Suara orang-orang yang tengah mengobrol pun mengenyahkan sepi yang mencekam.

Dia melongok, sedikit mengintip, dan menemukan rombongan petugas yang tengah terlibat obrolan serius.

"Seperti obrolan yang telah beredar, benar bahwa di sana ada reruntuhan mirip patung yang tidak jelas bentuknya karena sudah tertimpa reruntuhan. Lokasinya berada di gua bawah tanah dengan diameter lebar sekitar sepuluh meter dan tinggi 15 meter."

"Reruntuhan?"

"Ya, bahkan kami menemukan tiga mulut lorong, tetapi kami belum mengecek ke sana. Lagi pula bangkai alat pengebor menutupi jalannya." Pemimpin regu evakuasi menjawab dengan cepat.

Hening selama beberapa saat.

"Kurasa bangkai alat itu harus dievakuasi terlebih dahulu. Aku merasa penasaran dengan yang kau jelaskan tadi." Seorang pria yang bersetelan sedikit berbeda dari regu, berkata penuh penegasan.

"Kau terlalu ikut campur, Bung. Kau telah memaksa masuk dan mengganggu tugas kami," kritik pria gembrot.

"Maaf saja, tapi desas-desus yang beredar di kalangan penjaga terkait penemuan patung kuno, membuat kesabaranku habis tak bersisa. Lagi pula sudah sejak lama aku meneliti lokasi ini, jauh sebelum kalian dipekerjakan oleh negara."

Suasana sepertinya sedikit memanas. Pria yang punya rambut putih dengan setengah bagian kepala botak itu terlihat ngotot. Sepertinya dia tipe orang yang egois kuadrat. Dia, Osei Olufemi adalah seorang arkeolog-lebih tepatnya penggila-situs kuno.

"Lanjutkan tugas kalian. Pak Osei, mohon ikut saya segera. Kunjungan Anda di sini telah berakhir. Tempat ini tergolong masih berbahay untuk orang luar seperti Anda. Jadi, mari ikut saya sebelum tim keamanan ke sini." Sang pemimpin regu berkata dengan tegas kepada Osei.

Osei memandang tak suka, egonya masih bergolak. "Baik, aku menurut. Tapi sebelum itu, biarkan aku ikut regu evakuasi untuk sekadar melihat lokasi."

"Tidak, Pak. Ini demi keselamatan Anda," tegas si ketua.

Osei hampir kehabisan kosa kata.

"Tolong jangan menghambat pekerjaan kami, karena kami juga dikejar waktu."

Osei menyerah dengan terpaksa, tetapi kepalanya bekerja keras menemukan solusi untuk memenuhi tujuannya.

Setelah lima orang berbalik pergi, regu evakuasi yang terdiri dari 20 orang kembali ke pekerjaan mereka.

Di lubang yang amblas itu, bangkai alat pengebor yang telah rusak total masih teronggok. Setengah badannya tertimbun tanah dan tertindih batu besar. Para pekerja mengeluhkan hal itu.

"Alat ini tidak bisa dievakuasi tanpa robot penarik. Tenaga kami tidak akan cukup bahkan meski ditambah dua kali lipat."

"Yah," yang paling kurus menyahut, "aku heran kenapa pihak sana melarang kita menggunakan alat canggih dalam pekerjaan ini."

"Berhentilah mengeluh sebelum kita pindah tempat tidur," peringat rekan yang lain.

"Ah, itu mengerikan."

Ke-20 orang itu menggunakan tali untuk turun ke lokasi. Mereka mencoba sekali lagi usaha untuk menarik alat pengebor itu, seperti yang sudah dilakukan sejak pagi-dan lima regu lain pun telah menyerah.

Namun, hasil tetap sama, mereka gagal. Bahkan, bangkai alat pengebor itu tidak bergerak sedikit pun.

"Jam kerja kita telah selesai," lapor seseorang setelah mendengar jam di tangan mereka berbunyi bersamaan.

"Hasilnya sia-sia. Sebaiknya kita kembali."

Dengan lesu, mereka pun segera meninggalkan lokasi, kembali menjadikan tali untuk mencapai permukaan.

Setelah suasana benar-benar sepi dan gelap, seseorang muncul dengan alat di tangan yang mengeluarkan cahaya putih. Dia mengubah arahnya sehingga cahaya menyorot ke depan. Meski kecil, hanya dengan satu sorotan, hampir keseluruhan ruangan bisa terlihat. Begitulah kelebihan dari jam tangan canggih yang dilengkapi pencahayaan dan GPS.

Setelah mengamati dengan cermat, dia segera melompat turun tanpa rasa takut. Dia mendarat mulus meski kedua kakinya tertanam ke dalam lumpur beberapa senti.

Cahaya menyorot ke langit-langit gua, terlihatlah stalaktit-stalaktit beragam ukuran yang menggantung kokoh. Lalu, dia beralih pada tiga mulut lorong yang dibicarakan para pekerja tadi. Dua di antaranya tertutup tanah sampai setengah.

Sensor biru beberapa kali menyela penerangan. Dia melakukan scan pada setiap benda yang mencurigakan. Benar, sudah ada tiga patung rusak yang berhasil ditemukan, tertimbun hampir keseluruhan bagiannya oleh tanah.

Tidak puas sampai sana, dia segera mendekati mulut lorong yang tidak tertutupi oleh tanah. Namun, menyusurinya selama lima menit, dia tidak menemukan apa-apa selain udara yang makin pengap. Dia pun memutuskan kembali.

Ketika menyorot mulut lorong terdapat ukiran yang sudah setengah terhapus di atasnya. Tanpa pikir panjang, dia pun segera masuk ke sana. Lima menit berjalan dalam kesunyian, dia menemukan ruangan lain. Ruangan yang seketika membuatnya terpaku di tempat.

***

"Saya baru mendapat beberapa laporan yang belum pasti mengenai kejadian ini. Jadi mohon maaf, saya belum bisa menjawab semua pertanyaan Anda semua. Mohon beri saya jalan karena saya harus menengok lokasi segera. Saya berjanji akan mengusut tuntas kejadian ini sampai sejelas-jelasnya."

Bagi orang dengan mata biasa, mungkin hanya akan melihat wanita itu sekadar memutar-mutarkan telunjuk tangan kirinya. Namun, jika melihat ke atas meja putih, gumpalan debu tengah bergulung-gulung di atas permukaan, mengambang beberapa senti. Membentuk bulatan, terpecah, lalu menyatu jadi bulatan sekepal tangan lagi.

Di era Hiddenland yang sudah begitu canggih dengan kemajuan pesat teknologi di setiap negaranya, tak ada satu pun yang memercayai adanya sihir. Siapa pun berani bertaruh bahwa hampir keseluruhan penduduk Hiddenland akan menertawakanmu saat menanyakan perkara sihir.

Namun, wanita itu berbeda. Dia dengan enjoy memainkan butiran-butiran debu yang bergerak sesuai kemauannya.

"Breaking News! Bereda foto-foto-yang diduga-patung kuno. Dari tanda-tanda yang ada di dalam foto, diduga foto tersebut diambil di lokasi penambangan negara, lebih tepatnya di lokasi kejadian kecelakaan tragis beberapa waktu lalu."

Sang pembawa berita-yang tak lain hanya AI-berwajah cantik rupawan dengan setelan rapi, berbicara dengan penuh pembawaan.

"Untuk membahas tuntas hal tersebut, rekan kami sudah bersama seorang arkeolog kenamaan, Osei Olufemi dalam agenda membincangkan foto-foto yang telah menggegerkan warga kota."

Siaran lalu menayangkan tiga orang yang tengah duduk di meja bundar. Seorang pria dan dua wanita. Pria itu tak lain adalah Osei, satu rekannya, dan sang presenter-kali ini manusia sungguhan.

"Selamat siang, Pak Osei, Bu Lorica. Seperti yang kita ketahui, belakangan di internet bereda foto-foto yang memperlihatkan patung-patung kuno di lokasi titik kecelakaan penambangan PT. Itania Freeport. Apa tanggapan Anda sekalian?"

Osei berdeham sebelum menjawab, "Saya telah mengunjungi lokasi kemarin malam, tetapi sayang, saya belum bisa menyurvei langsung ke lokasi karena terkendala medan. Namun, setelah foto-foto dari penyebar anonim ini beredar, saya dan tim akan langsung bergerak ke lokasi."

Saat tengah menyimak berita dengan serius, tiba-tiba terdengar suara pecahan dari arah jendela kamar.

Antheia bangkit dari sofa nyamannya, lalu berjalan cepat menuju titik pecahan. Saat sampai di sana, tak ada siapa pun. Namun, dia tidak lengah.

"Keluarlah, bocah kecil! Aku tak punya waktu untuk melayani acara main-mainmu," katanya tegas.

Selama beberapa saat, tak ada sahutan. Antheia berjalan kembali menuju meja makan, mengambil pisau, dan melemparnya ke arah kiri. Benda tajam itu menancap di lukisan.

"Upssiii. Kau masih galak saja, Nyonya Tua."

Seorang gadis mungil dengan rambut berantakan memunculkan diri. Kostumnya aneh sekali, serba hitam, dilengkapi ekor kucing dan sepasang telinga kucing mainan.

Antheia berdecak malas. "Pekerjaanku tengah menumpuk. Sebaiknya kau kembali saja, Shou."

Shouei mencabut pisau yang menancap di lukisan dan melempar balik. Untung Antheia dengan sigap menangkapnya. Lalu, dia berjalan menuju tembok putih polos yang digantungi beberapa hiasan dinding.

Ketika tangannya ditempelkan, muncul cahaya biru membentuk ukiran lima jari, lalu terdengar bunyi klik. Sebuah pintu rahasia pun terbuka. Shouei masuk diikuti Antheia.

"Malam ini cerah, tapi di luar berisik sekali."

"Langsung ke intinya saja," kata Antheia yang tidak bisa diajak bercanda.

"Haduh, padahal aku ingin mendengar kalimat 'Apa kau mendapat informasi berharga? Aku siap menukarnya dengan mahal'." Shouei berbelok ke kiri dan tiba di sebuah ruangan yang penuh dengan layar monitor.

Ruangan itu sebenarnya luas, tetapi jadi terkesan sempit karena banyaknya barang-barang milik Shouei.

"Foto-foto yang tengah dihebohkan warga itu darimu, kan?" Itu bukan pertanyaan, melainkan pernyataan. Antheia yakin betul dugaannya tidak salah.

"Yupppi." Shouei mengangguk.

Dia melepas setelan hitam-hitamnya tanpa malu sedikit pun di depan Antheia. Lalu, menggantinya dengan kaus dan kolor hitam. Dia mengambil tempat duduk di kursi depan monitor.

Setelah tangannya menyentuh tetikus, layar-layar langsung dipenuhi beragam warna, angka, dan bentuk.

Di balik rasa sebalnya pada bocah itu, Antheia memiliki sedikit rasa kagum terhadap kepiawaian Shouei dalam bidang hacking.

Tak lama berselang, layar mulai menampilkan beberapa rekaman yang berhasil diambil Shouei. Dari obrolan para pekerja, foto-foto patung yang lebih banyak, sampai sebuah ruangan misterius.

"Itu di mana?" Antheia menunjuk rekaman ruangan misterius.

"Sekitar dua puluh meter ke kiri dari gua yang jadi titik kecelakaan," jawab Shouei. "Aku menghilang berhari-hari hanya untuk ini, Nyonya Tua."

"Oh, kupikir kau sudah mati."

Shouei menyipitkan mata, tetapi hanya bertahan sebentar. Sejak mengenal Antheia sekira sepuluh tahun lalu, dia sudah terbiasa dengan semua sikapnya.

Yah, hubungan mereka nyaris tidak diketahui oleh siapa pun. Waktu itu, Shouei terjebak oleh para penjahat yang hendak memangsanya, lalu Antheia datang sebagai penyelamat. Dia masih samar mengingat ketika Antheia berhasil mengangkat tubuh seorang penjahat tanpa menyentuhnya sedikit pun.

Kenangan itu masih jadi misteri. Shouei sudah mencoba mencari jawaban, tetapi Antheia terlalu tertutup mengenai apa pun tentang dirinya. Selain, yah tentu, dia seorang wartawan yang sering jadi pusat perhatian.

"Kupikir kau akan membutuhkan semua informasi ini," kata Shouei sambil memutarkan beberapa foto dan video tambahan. "Tapi tentu, aku menginginkan imbalan yang setimpal."

Antheia tidak menjawab.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top