CHAP. 10

Valli Milonas menganga begitu melihat kedatangan tiga orang itu yang dinilai heroik.

"Bagaimana bisa ....?" Namun, pertanyaannya melayang bersama angin malam yang berembus dengan dingin.

Kepanikan yang dalam sekejap menular, membuat Valli akhirnya bergegas membantu menggotong tubuh Osei masuk ke rumah Antheia.

***

"Aku mengirim lalat pelacak ini untuk menelusuri labirin."

Ucapan itu membuka obrolan mereka malam ini.

"Lalat robot ini kubuat dengan alat pendeteksi, sensor cuaca, kamera, serta bisa melakukan beberapa pembobolan kecil. Jadi mereka bisa kukirim dengan mudah ke lorong labirin dan menganalisisnya." Shouei menjelaskan sambil memperlihatkan data-data temuan dari lalat-lalat robot miliknya. "Lalu, aku juga mendesain benda ini dengan fitur bom bunuh diri kalau-kalau tertangkap musuh."

"Jadi, apa tujuanmu memberiku satu pengawal kecilmu itu?" tanya Antheia langsung pada inti.

Shouei berbalik, mengabaikan layar yang penuh warna, huruf, dan angka. "Hanya bermain-main," jawabnya, bercanda. Namun, mendapat tatapan menusuk Antheia, dia pun segera meralatnya. "Aku mencurigai gerak-gerikmu belakangan ini, dan penasaran dengan apa yang hendak kau lakukan setelah mendekati pria itu."

Oke, jawaban yang membuat Antheia sedikit risi.

"Kita saling mengenal, kan? Aku tahu, kau tak akan mendekati seseorang kalau tak ada sesuatu yang kau incar, kan?" Shouei melakukan pembelaan. "Lagi pula, lalatku tak sengaja melihatmu menyusup ke tim penelusuran di tambang itu."

Jelas sudah sekarang.

"Tapi, lalatku setidaknya menolongmu, kan?" sambung Shouei, tak ingin jasanya yang berharga terabaikan begitu saja.

"Ya, ya, ya." Antheia cepat menjawab. "Lalu, apa kau melihat kejadian di ruang ganti pakaian?"

Dia agak riskan akan hal itu. Kalau Shouei melihat semuanya, berarti gadis itu ....

"Ya."

Antheia memasang tampang sedatar mungkin.

"Aku melihat bagaimana pakaian-pakaian itu terbang dan melilit leher mereka!" sambung Shouei dengan tampang bersemangat. Sepasang mata biru terangnya seolah-olah tambah bersinar. "Bagaimana cara kau melakukannya?"

"Itu hanya mimpimu saja." Antheia menggunakan kekuatannya untuk memanipulasi ingatan Shouei. Berhasil. Untuk sesaat, gadis itu tampak kebingungan.

"Kau mau membicarakan sesuatu tentang labirin, kan?" Tangan Antheia terulur, menekan sebuah tombol sehingga layar laptop beralih pada kotak-kotak gambar acak.

"Ah, kau benar." Shouei mengangguk dan kembali menghadap layar laptop. Kesepuluh jemarinya dengan lincah menari di atas papan tik yang berwarna-warni.

Sepuluh detik berikutnya, mulai terbentuk visualisasi 3D Milana City. Tampilan itu kemudian bergeser sehingga tampaklah bagian-bagian lorong labirin bawah tanah yang merambat ke mana-mana.

"Lalat-lalat robot yang kukirim tidak semuanya kembali. Sebagian—mungkin—hangus setelah mengirim informasi mengenai suhu panas yang tidak normal, atau menghilang begitu saja dengan kekacauan sinyal." Shouei tampak serius menjelaskan, sementara visualisasi 3D terus bergeser mengubah tampilan.

"Tapi, setelah melakukan penelusuran selama berhari-hari, aku mendapat informasi yang sangat mengejutkan," sambungnya.

"Katakan." Nada bicara Antheia terdengar lebih serius dari biasanya. Membuat Shouei tak berani menyelipkan candaan dalam obrolan mereka.

"Salah satu lalat robotku berhasil terbang ribuan kilometer, meski setelahnya dia tewas karena kehabisan daya hidup." Shouei sengaja menekankan kata 'tewas' sebagai bentuk pengibaratan. "Setelah kulacak, ternyata sinyal terakhirnya berada di pusat kota, sekitar 200 meter di dalam perut bumi."

Pusat kota? Kening Antheia mengerut dalam mendengar penjelasan itu. Seberapa luas labirin itu?

"Jadi, bisa kusimpulkan bahwa lorong-lorong itu membentuk labirin. Hanya saja, susunannya lebih acak dan mengarah ke banyak tempat. Diameter lorong rata-rata memiliki tinggi dua meter dengan lebar satu setengah meter." Shouei lanjut menjelaskan.

"Tujuan mereka makin jelas dan tebakanku benar," gumam Antheia.

"Tebakan apa?" Tentu, Shouei dapat mendengar suara pelan wanita yang berdiri di sampingnya.

"Aku menyusup pada tim penelusuran khusus dan mereka bertugas menutup setiap lorong yang dinilai mencurigakan," jelas Antheia.

"Ya, aku juga melihatnya." Shouei mengangguk sekali. "Kesampingkan itu dulu. Yang kutemui dari titik terakhir labirin itu adalah jalan menuju ruang bawah tanah."

Baru-baru ini, di Milana City mulai dilakukan pembangunan bawah tanah meski bukan untuk fasilitas umum. Contohnya bunker senjata dan laboratorium. Pemerintah memberi penjelasan bahwa mereka perlu melakukan penelitian lebih dahulu sebelum mengadakan pembangunan besar-besaran di dalam tanah.

"Kau tahu, lorong terakhir yang dilalui lalat robotku itu menyempit. Namun kemudian, dia tiba di lorong besar dengan beberapa pekerja yang tengah sibuk. Kuduga mereka tengah memperluas ruang bawah tanah itu, dan karena hal inilah lorong-lorong ini tersambung."

Mendengar penjelasan Shouei yang melebar ke mana-mana, Antheia jadi sedikit tidak sabar. "Cepat jelaskan intinya!"

"Ah, maaf," sesal Shouei setengah hati. Dia kemudian beralih pada layar laptop, mengotak-atiknya, dan menggeser layar pada Antheia. "Lihatlah sendiri. Ini tayangan terakhir yang berhasil diambil lalat kecilku sebelum dia tewas."

Sepasang mata biru keabu-abuan Antheia dengan serius merekam isi layar. Di sana, terlihat ada pasukan berseragam lengkap yang lewat. Kamera bergerak mengikutinya. Rombongan orang dengan tinggi setara itu memasuki sebuah lift. Lalat robot terbang mengikutinya, tetapi kemudian layar berubah hitam.

"Antara habis baterai atau dia tertangkap musuh," kata Shouei. "Tapi itu cukup kan untuk memberimu gambaran?"

Anggukan Antheia membuat senyum Shouei melebar. "Kau yakin ingin ikut membantu?" Tawaran ini dilakukan karena dia yakin mereka bisa saling menguntungkan.

"Ya, seratus persen!" jawab Shouei mantap. Semangat tampak menggelora di sepasang matanya. "Aku ingin tahu banyak hal."

"Sebaiknya kau tidak terlalu tahu banyak hal yang seharusnya tidak kau tahu," balas Antheia sebelum berlalu pergi dari ruangan.

Tujuannya sekarang adalah mengecek keadaan Osei. Ketika dibawa ke rumahnya, pria itu dalam keadaan pingsan. Beruntung dia tidak mengalami luka serius selain bekas pukulan di mana-mana.

Kondisi Antheia jauh lebih parah. Banyak bekas goresan, bahkan ternyata ada sebuah peluru yang bersarang di kakinya. Namun, kenekatan wanita itu membuatnya berhasil mengobati diri sendiri dengan mudah.

"Selamat siang, Tuan Osei."

Sapaan Antheia membuat tubuh Osei sedikit tersentak. Maklum, pria itu tengah memandangi suasana di luar jendela kaca yang tampak ramai dari kamar lantai dua. "Ya, selamat siang juga, Antheia." Dia menyibak selimut, berniat turun dari ranjang empuk.

"Tidak perlu memaksakan diri, kondisi Anda masih lemah," tahan Antheia. Sebagai gantinya, dialah yang berjalan mendekati ranjang dan duduk di sebuah kursi. "Saya ingin menanyakan beberapa hal."

"Silakan." Osei Olufemi menjawab cepat, ekspresi wajahnya berubah serius.

Antheia bukan tipe orang yang senang membuang waktu dalam obrolan serius, maka dia langsung memberikan pertanyaan inti. "Bagaimana Anda bisa berakhir di tempat itu?"

Ada jeda. Osei menunduk lama, menimbang apa harus menjawab jujur atau tidak; atau jika menjawab jujur, apakah dirinya tidak akan terancam? Namun, Antheia-lah yang telah menolongnya.

"Sejujurnya aku tak sengaja mendengar obrolan mereka." Osei mengangkat kepala. Sepasang mata abu-abunya menatap waspada. "Dan karena itu, aku melanggar perjanjian."

"Perjanjian?" Satu kata itu menarik perhatian Antheia.

"Ya." Osei mengangguk lemah. "Saat mendapat izin untuk melakukan penelitian, mereka hanya memberi kesempatan padaku selama dua minggu meneliti lokasi. Selain itu, mereka juga melarang keras agar aku ikut campur dalam urusan mereka—tim kami tidak boleh bercampur dengan orang-orang di sana. Terakhir, mereka melarangku agar tidak pergi ke lorong titik lokasi kecelakaan."

Penjelasan jujur Osei membuat kepala Antheia terasa lebih ringan. Ternyata Carolos memang bukan orang sembarangan. "Apa yang Anda dengar?"

"Kau yakin ingin mendengar?" Osei justru melempar balik pertanyaan.

Anggukan yakin Antheia membuatnya menelan ludah.

"Baiklah." Dia menghela napas. "Dari yang kudengar, Pak Carolos bilang, 'Jika sampai lorong ini tiba di bunker khusus, aku akan langsung dihabisi oleh mereka!' Hanya itu."

Lalu, ruangan berubah hening. Sampai suara Shouei yang tengah bersenandung, membuat kepala Osei bergerak pelan dan menghadap ke arahnya.

"Bukankah ... Anda Guinaverra D'Angelo?" Kedua mata Osei membulat sempurna. Terkejut betul dia begitu melihat kemunculan salah satu desainer terkemuka Milana City yang sudah sukses jadi pengusaha di usia muda dan sekarang memiliki label ternama. Butik, kafe, bahkan pabrik dengan nama label Gin-D'lo tersebar banyak di kota.

"Ah, senang bertemu dengan Anda, Profesor," balas Shouei sopan dengan sikap lemah lembutnya yang anggun.

Antheia hanya tersenyum kaku saat Osei merotasikan mata ke arahnya, seolah-olah meminta penjelasan. "Ah, dia sahabat lamaku," kilahnya.

"Dan kebetulan aku sedang rindu, jadi memutuskan berkunjung," imbuh Shouei.

"Begitu, ya? Anda memang seorang wartawan yang benar-benar hebat dengan koneksi luas, Nona Antheia." Meski masih agak terkejut dan alasan tadi terkesan dibuat-buat, Osei tetap memaksakan diri untuk percaya. Lagi pula, mau penasaran sampai dapat jawaban pun, dia punya hak apa?

"Mengapa Anda begitu ngotot dengan asumsi Anda tentang situs kuno itu?" Antheia tiba-tiba megajukan pertanyaan serius, membuat atmosfer ruangan berganti.

Osei tampaknya sudah siap menjawab, jadi dia pun segera memberi penjelasan. "Sejujurnya ini karena kesukaan pribadi. Kakek dan kakek buyutku turun-temurun menceritakan kisah fantasi sebelum aku tidur semasa kecil. Cerita tentang dewa-dewi itu begitu agung meski memang tak lebih dari takhayul."

Antheia menyimak dengan baik.

"Yah, kau tahu, hal semacam ini dianggap kebodohan di era kita. Meski begitu, penemuan situs kuno baru-baru ini seolah-olah memberi pertanda bahwa dunia memang luas."

Mendengar itu, ada rasa senang yang perlahan mulai merayapi hati Antheia. "Apakah kau sudah menemukan jawaban dari poneglyph yang kau temukan itu?"

"Ah, ya! Batu poneglyph yang kami temukan tertimbun di dalam situs itu menguatkan asumsi dan tekadku. Namun sayang, aksara yang dipakai terlalu kuno dan tak terdeteksi oleh pengetahuan kami," cerita Osei dengan nada kecewa. "Lalu, benda itu pun tak diizinkan dipindahkan dari lokasi dengan alasan tak jelas. Mereka benar-benar orang yang merepotkan!"

Antheia paham siapa yang dimaksud pria dengan beberapa perban di wajahnya itu.

"Oh, sepertinya ada tamu." Shouei bangkit, bergegas menuju pintu untuk turun ke lantai satu.

Mendengar itu, Antheia pun bangkit berdiri. "Aku sedikit bisa membaca isi tulisan di batu peninggalan itu," katanya dengan senyum samar.

"Apakah itu?" Osei bertanya penuh minat.

"Dewi Minerva yang agung dan penuh kasih telah memberkati tempat ini dengan begitu banyak kenikmatan, kemegahan, keagungan," jawab Antheia yang tak bisa menutupi rasa jumawanya.

"Benarkah?" tanya Osei sambil mengernyit.

Antheia hanya mengangkat bahu sesaat sebelum berlalu meninggalkan kamar. "Nikmati waktu hidupmu, Tuan, sebelum orang-orang itu mengendus keberadaanmu dan menghancurkan rumahku." Dia melambai santai, bercanda.

Ternyata tamu yang datang adalah Valli. Sontak pria itu meringis kaku saat melihat kemunculan Shouei. Jelas, semalam dia melihat "sosok lain" dari desainer nomor satu di kota itu.

"Nona Sho ... maksudku, Nona Naverra, bagaimana kabarmu?"

Shouei mengangguk dengan ekspresinya yang lemah lembut. "Baik, Tuan Juru Kamera. Aku senang kau kembali berkunjung," balasnya basa-basi.

"Ah, ya." Valli terpaksa segera mengakhiri obrolan karena harus secepatnya mengamankan diri dari seseorang di belakangnya.

"Kenapa? Kau tampak lebih panik. Apa bekerja tanpaku sangat sulit?" cecar Antehia yang tetap bicara dengan nada datar.

Valli segera menggeleng. Lalu, dia mengernyit untuk beberapa detik ketika melihat beberapa perban menghiasi tubuh Antheia. Matanya turun, juga menemukan perban yang meliliti kaki kiri wanita di depannya.

"Kau babak belur, Non." Ada rasa penasaran yang terselip dalam suaranya.

"Aku menghadapi sekelompok pencuri." Antheia berbohong tanpa keraguan. Membuat Valli langsung percaya. "Tapi tak ada yang parah. Hanya luka kecil yang meminta waktu cuti tambahan."

"Baiklah, cepat sembuh," ujar Valli. Pria itu kemudian menampakkan kerisauan di wajahnya. "Kau tahu, sebenarnya pekerjaanku sedikit tidak lancar belakangan ini, karenamu."

"Karenaku?" Antheia hanya sempat mengernyit beberapa detik, sebelum sebuah suara yang familier terdengar.

"Dear?" Ruiz muncul, melongokkan kepala dan melarikan matanya untuk menganalisis ruangan. "Ini rumahmu? Boleh aku masuk?"

Diam-diam Antheia mengusap wajah, lantas melayangkan tatapan menusuk pada Valli; sarat akan penghakiman. Apa-apaan rekannya ini, membawa pria itu ke rumahnya! "Ya, masuklah," katanya dengan berat hati.

Pria itu berjalan masuk dengan pandangan tak berhenti lama-lama di satu titik. "Dear, sepertinya besok-besok aku akan sering ke sini."

Antheia lagi-lagi mengusap wajahnya. "Ngapain kau bawa dia ke sini?" bisiknya sesaat setelah mendekatkan tubuh ke Valli. "Kau ingin aku digrepe dia, hah?"

"Huh?" Valli menelan ludah. "Kau tahu, dia menerorku beberapa hari ini. Dia mengirimiku pesan, menelepon, sampai mencegatku ketika kami tak sengaja bertemu—atau karena aku diberi pekerjaan untuk terus memantau lokasi tambang, jadi kami sering bertemu."

"Seorang penguntit, ya?" komentar Shouei yang ternyata menguping mereka.

Antheia mengernyit dalam saat Ruiz sudah duduk santai di sofa empuk ruang tamu, menghadap televisi yang menampilkan acara flora dan fauna. Bukan, bukan karena pria itu sehingga dia memasang wajah risau, melainkan teringat pada seseorang di lantai dua.

"Aku tak mungkin membiarkannya tinggal di sini," katanya tiba-tiba.

"Siapa?" Giliran Valli yang mengernyit.

"Seseorang di lantai dua."

Valli membulatkan mata. "Kau tengah kencan dengan pria lain?" Nada bicaranya hampir kelepasan.

Antheia menghadiahi tatapan tajam. "Shou ... Maksudku, Guin, temani dia dulu, terserah mau kau apakan," titahnya sambil meunjuk dengan dagu pada Ruiz.

Setelah mengacungkan jempol, Shouei pergi menghampiri Ruiz sambil melepaskan ikatan rambut, lalu mencopot kausnya. Membuat keanggunannya makin terlihat meski hanya pakai setelan santai.

"Tak apa kau biarkan dia?" Valli tampaknya khawatir.

"Guin adalah seorang pengusaha cerdas. Jadi, sepertinya mereka bisa nyambung mengobrol."

Antheia kemudian mengajak Valli ke lantai dua untuk menjelaskan situasi yang akan membutuhkan bantuan pria itu.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top