Part 9

Suasana sarapan pagi ini telihat begitu mencekam saat semua orang memilih untuk diam. Bahkan Lando yang biasanya cerewet pun lebih memilih untuk fokus pada makanannya. Ini semua karena Lucy, wanita itu sudah membuat kehangatan yang ada di rumah Davin lenyap.

"Om, aku nginep beberapa hari ya di sini." Semua orang menatap Lucy terkejut.

Ayah Davin hanya menggangguk pasrah tanpa ada niatan untuk membantah. Tidak ada alasan untuk melarang Lucy tinggal, toh Davin yang menjadi alasan Lucy tinggal pun sudah tidak tinggal bersama mereka meskipun sesekali juga datang mengunjungi.

Lucy hanya berani meminta ijin pada Ayah Davin karena takut pada Ibu Davin yang sudah memarahinya semalam. Entah hilang kemana rasa malu milik Lucy. Wanita itu bertingkah seolah tidak terjadi apa-apa. Dia juga sempat melirik Ana dengan tajam tadi.

***

"Vin, aku sama Laila pulang dulu ya," ucap Kevin setelah selesai sarapan.

Ana tiba-tiba berdiri dan menatap Kevin penuh harap, "Aku ikut ya? Kalian bisa anter aku pulang?"

Kevin menatap Davin yang menggelengkan kepalanya di belakang Ana. Laila yang menyadari itu menggaruk lehernya kikuk. Jika pasangan di hadapannya sedang tidak bertengkar, dengan senang hati dia mengantar Ana pulang. Namun Laila dan Kevin lebih menginginkan Davin menyelesaikan masalahnya terlebih dahulu.

Kevin yang notabenya sahabat Davin tentu berada di pihaknya, tapi sepertinya sahabatnya itu yang melakukan kesalahan kali ini. Dia ingin membantu Ana tapi dia juga tidak mau membuat pasangan itu kembali bertengkar. Biarkan Davin menjelaskan semuanya terlebih dulu kepada Ana.

"Maaf Ana, aku mau ketemu sama orang tua Laila setelah ini."

"Apa maksudmu?" tanya Laila bingung.

Kevin hanya melotot dan menunjuk Davin dengan dagunya. Laila dengan gugup mengangguk paham, "Maaf Ana." Lanjutnya.

"Nggak papa, kalian hati-hati ya." Ana tersenyum dengan paksa.

Dia tahu semua ini ulah Davin. Sejak tadi malam pria itu menahannya dan tidak mengijinkannya untuk pulang. Tidak ada yang bisa Ana lakukan di sini. Jika Davin memang tidak berniat menjelaskan semuanya lebih baik dia pulang bukan? Melihat Lucy berkeliaran di rumah ini membuat dada Ana sesak. Dia teringat dengan kepasrahan Davin akan ciuman Lucy yang bertubi-tubu.

"Sampai kapan Mas Davin nahan di sini?" Ana berbalik dan menatap Davin.

"Nanti, sekalian aku antar ke kampus."

Ana memejamkan matanya menahan emosi, "Maunya Mas Davin apa sih?" tanya Ana kesal.

Davin menghela nafas dan menghampiri Ana yang wajahnya sudah memerah karena kesal. Pria itu menarik Ana dan memeluknya erat. Mencoba memberikan ketenangan pada gadisnya. Jujur saja, Davin tidak tahu harus memulai dari mana untuk memperbaiki kesalahannya.

"Nggak usah peluk-peluk!" Ana memberontak dan berlalu menuju kamarnya. Bersentuhan dengan Davin memang sedikit membuatnya nyaman, namun dengan bersentuhan juga dia kembali teringat dengan tingkah Lucy.

Ana menghempaskan tubuhnya di atas kasur dan menarik guling untuk ia peluk. Gadis itu sadar jika Davin mengikutinya dan duduk di ujung kasur yang jauh darinya.

"Lucy.. dia mantan kekasihku." Davin membuka suara.

Ana menahan nafasnya mendengar pengakuan itu. Sekarang dia tahu kenapa Davin tidak menolak saat Lucy menyentuhnya kemarin. Mata Ana memanas, dia ingin menangis. Entah kenapa rasanya sakit sekali, ternyata selama ini Davin tidak benar-benar mencarinya, bahkan dia juga mempunyai kekasih. Ana merasa sebagai pelampiasan saja di sini karena setelah Lucy kembali Davin akan bersama wanita itu lagi.

"Ini rumit Ana. Jika dibilang punya hubungan, aku nggak akan mengakuinya. Aku hanya anggap Lucy sebagai adik sama seperti Diva." Davin menarik nafas panjang dan kembali melanjutkan penjelasannya, "Orang tua Lucy itu sahabat Paoa dan mereka meninggal karena kecelakaan, jadi Papa yang jaga Lucy sejak itu. Keadaan Lucy terpuruk dan cuma aku yang bisa nenangin dia. Jadi cuma aku yang berada di sampingnya saat itu dan dia malah menganggapku lebih. Setelah dewasa, aku memutuskan untuk pergi dari rumah dan meninggalkan Lucy."

Davin terdiam saat tidak melihat respon dari Ana. Saat akan memanggilnya, tiba-tiba Ana berbicara, "Kenapa berhenti?" tanya Ana mengangkat kepalanya.

"Lucy mengamuk saat tau aku pergi, dia bahkan ingin bunuh diri." Lanjut Davin.

Tidak ada yang berbicara setelah Davin menjelaskan tentang Lucy. Ana menghela nafas kasar dan mengambil posisi untuk duduk. Ana menatap kekasihnya itu dengan pandangan datar. Entahlah, dia ingin marah tapi marah pun akan percuma nantinya.

"Mas Davin suka sama Lucy?" tanya Ana langsung.

Davin menggeleng cepat, "Nggak."

"Sayang?" tanya Ana lagi.

Davin tidak menjawab dan memilih untuk diam. Ana mengangguk mengerti dan entah kenapa air matanya tiba-tiba menetes begitu saja. Ana pikir pertanyaannya sudah cukup jelas dan Davin memilih untuk tidak menjawabnya.

"Jujur aku memang menyayanginya. Lucy sudah seperti adikku sendiri. Dia dulu anak yang manis tapi memang tingkah lakunya selalu membuat orang jengkel. Dia hanya kesepian dan saat dia terpuruk hanya ada aku di sana."

Ana tertawa kecil sambil menangis, itu merupakan bentuk kekecewaannya. Dia tidak tahu harus menjawab apa. Hubungannya masih begitu singkat dengan Davin tapi ketika masalah datang entah kenapa rasanya sakit sekali.

"Mas Davin nggak marah pas dicium Lucy?"

"Aku-"

"Tepat di depan mataku sendiri, pacarmu?"

"Ana dengar-"

"Dan Mas Davin nggak nolak sedikitpun." Ana menyerang Davin dengan bertubi-tubi dan pria itu tidak bisa menjawabnya sama sekali.

"Aku mau pulang," ucap Ana sambil berdiri dan berjalan ke luar kamar.

"Ana, jangan kayak anak kecil!"

"Anak kecil?" Ana berbalik dan menatap Davin tajam. Dia menghapus air matanya dan kembali berbicara, "Siapa yang nggak marah liat pacarmu sendiri dicium sama orang lain! Mas Davin aja marah liat aku sama Bang Alex. Jangan egois!"

Davin memijat keningnya yang terasa berdenyut. Ini hanya salah paham dan Ana malah membesar-besarkan itu semua. Dia sudah menjelaskan semuanya tapi Ana tetap marah padanya.

"Jadi kamu mau apa sekarang?" tanya Davin putus asa.

"Aku mau pulang!"

"Ya udah pulang sana!" ucap Davin yang juga emosi.

Ana berdecak kesal dan pergi meninggalkan Davin. Setelah berpamitan dengan orang tua Davin, dia langsung pergi dari rumah itu. Davin menatap kepergian Ana dari balkon kamarnya saat gadis itu sudah menaiki taksi.

Davin berbalik dan menemukan ibunya sudah berada di dalam kamar sambil melipat kedua tangannya di dada, "Kenapa kamu bikin menantu Bunda nangis?"

"Salahin Lucy sana."

"Kok bawa-bawa Lucy? Kamu itu yang pacarnya, Vin. Kamu yang seharusnya bisa jaga perasaan Ana."

Davin berdecak dan berlalu ke kamar mandi, "Aku mau ke kantor." Usir Davin pada ibunya secara halus.

Mata tajam itu menatap pantulan dirinya di cermin. Tiba-tiba rasa bersalah terselip di hati Davin. Dia ingin meminta maaf pada Ana, melihatnya pulang sendiri seperti tadi membuat Davin merasa menjadi pria yang tidak berguna. Namun, rasa egois dan selalu ingin menang sendiri itu kembali membuatnya ragu.

***

"Ana awas!" Alex dengan cepat menarik Ana ke tepi jalan dan sedetik kemudian sebuah mobil melaju kencang di hadapannya.

Ana menyentuh dadanya yang berdetak kencang. Lagi? Ana merasa konyol saat dirinya hampir tertabrak lagi. Sifat ceroboh itu harus segera dia hilangkan atau nyawanya yang akan menjadi taruhan.

"Kamu nggak papa, kan?" Ana mengangguk kemudian melihat ke arah mobil yang hampir menabraknya tadi. Ternyata mobil itu berhenti dan tak lama kemudian kembali berjalan dengan cepat.

"Ana!"

"Aku nggak papa kok, makasih ya." Ana melepaskan tangan Alex dari pinggangnya dan mencoba untuk berdiri tegak.

"Lain kali jangan main HP. Udah 2 kali kamu kaya gini." Lagi-lagi Ana mengangguk sebagai jawaban.

"Nggak ada yang luka kan?" Ana menggeleng pelan, "Ayo, aku anter pulang."

"Nggak usah, Bang. Aku mau pulang sama Ally."

"Di mana Ally sekarang?"

"Di parkiran," ucap Ana sambil menunjuk seberang jalan.

"Ya udah, aku anter."

Ana menghampiri mobil Ally dan masuk ke dalamnya. Setelah masuk, tiba-tiba Ana menutup wajahnya dan menangis. Ally kebingungan melihat tingkah sahabatnya itu. Bukannya dia tadi baik-baik saja kenapa tiba-tiba menangis begini?

"Ana, kamu kenapa?"

Ana menggelengkan kepalanya dan masih menangis, bahkan tangisannya semakin keras. Dia seolah sedang mencurahkan isi hatinya sekarang. Katakan dia budak cinta karena itu memang benar. Setelah kejadian tadi entah kenapa dia malah teringat dengan Davin yang belum menghubunginya selama 3 hari ini. Ana kecewa dan sedih, hatinya campur aduk sekarang.

"Kamu kenapa? Cerita sama aku."

"Aku kangen Mas Davin," ucap Ana dengan lirih.

Ally mendengus dan kembali menyandarkan tubuhnya. Ana mengusap air matanya dan menghirup udara dengan dalam berusaha untuk menghentikan tangisannya tapi sepertinya itu tidak berhasil. "Mas Davin jahat banget sih, masa nggak minta maaf sama sekali. Masa kita putus sih?" Ana berucap sambil mengambil tisu untuk mengelap wajahnya.

"Kamu duluan aja yang telepon."

"Nggak mau! Dia yang salah jadi dia yang harus minta maaf."

"Dih, pasangan gila!" Ally memutar matanya dan mulai menjalankan mobilnya ke luar kampus.

Selama 3 hari ini Ally harus bersabar mendengar keluh kesah yang Ana keluarkan. Awalnya dia cukup terkejut saat Ana menjalin hubungan dengan pria itu. Siapa yang sangka jika insiden rusaknya ponsel akan berujung seperti ini?

Selama 3 hari ini Ana berubah seperti mayat hidup. Bahkan senyum pun jarang dia keluarkan jika bukan karena terpaksa. Dia juga sering marah akhir-akhir ini dan puncaknya adalah sekarang, dia menangisi pria egois seperti Davin.

"Jadi ke mall kan?" tanya Ally memastikan begitu sadar jika sahabatnya masih dalam kondisi yang buruk saat ini.

"Jadi." Ana mengangguk sambil mengeluarkan ingusnya.

"Udah deh jangan nangis terus, kalo kangen ya telepon."

"Dia egois banget sih," gumam Ana tanpa memperdulikan ucapan Ally.

"Ya udah biarin aja, kalo kangen kan nanti dateng sendiri."

"Emang gitu ya?" tanya Ana dengan polos.

Ally mengangguk dan tertawa melihat kepolosan Ana. Tidak heran karena ini adalah kali pertamanya Sahabatnya itu menjalin hubungan dengan seseorang.

***

Ana menunggu Ally di depan mobil saat sahabatnya itu pergi ke toilet untuk buang air kecil. Jam sudah menunjukkan pukul 5 sore dan mereka akan pulang sekarang. Ana cukup terkejut saat melihat Ally membeli banyak belanjaan. Memang Ally berasal dari keluarga yang berada, dia juga bukan akan kos sepertinya tapi sahabatnya itu jarang sekali membeli barang-barang seperti ini. Saat Ana bertanya, ternyata Ally sedang bekerja sekarang. Dia bekerja di kafe sunrise, kafe yang cukup terkenal di kalangan anak muda.

Ana sempat tertarik dan ingin ikut bergabung tapi dia harus mengatur jadwalnya terlebih dahulu. Apalagi dia masih dipusingkan dengan tugas kuliah yang belum dia selesaikan. Ditambah dengan masalahnya dengan Davin.

Teringat lagi dengan Davin membuat Ana menghela nafasnya panjang. Dibukanya ponselnya dan tidak menemukan pemberitahuan satu pun dari pria itu. Dengan kesal Ana memukul ponselnya yang menampilkan wajah Davin sebagai lockscreennya.

"Kamu ngapain?" Ally datang dari kejauhan dan memandang Ana aneh.

"Nih, nyebelin!" Ana menunjukkan wajah Davin di ponselnya dan Ally kembali mendengus.

"Bosen!"

Ally membuka pintu mobilnya dan masuk diikuti oleh Ana. Saat akan menjalankan mobil, Ana mencegah Ally karena dia seperti melihat mobil yang tidak asing masuk ke area tempat parkir. Ana tahu siapa pemilik mobil hitam mengkilap itu.

"Kenapa sih?"

"Tunggu bentar." Ally mengangguk dan mengikuti arah pandang Ana.

Ana melihat mobil yang baru saja masuk itu dengan tatapan tajam. Tidak lama seorang pria turun membuat Ana terkejut.

"Mas Davin!" pekik Ana semangat dan keluar dari mobil Ally.

Ally yang untuk pertama kalinya bertemu dengan kekasih Ana pun dengan cepat ikut ke luar dari mobil. Dia penasaran seperti apa rupa Davin sampai membuat sahabatnya itu seperti dimabuk cinta.

"Mas-" Ana menghentikan ucapannya saat melihat Lucy juga turun dari mobil yang sama.

Wanita itu menghampiri Davin dan memeluk lengannya erat. Ana mendadak lemas melihat itu semua. Dia menertawakan dirinya sendiri begitu melihat Davin yang tidak menolak Lucy sedikitpun. Sekarang Ana tahu jika semua penjelasan pria itu adalah bohong.

Tatapan mata mereka bertemu. Davin terdiam melihat Ana dan begitupun sebaliknya. Air mata Ana kembali keluar dan Davin menyadari itu. Lucy hanya tersenyum sinis dan menarik Davin menjauh untuk masuk ke dalam mall. Lagi-lagi pria itu tidak menolak dan mengikuti Lucy.

"Ally! Sakit banget," ucap Ana kembali menangis dan menyandarkan kepalanya di pintu mobil. Ally dengan cepat menghampiri Ana dan merangkul bahunya, takut jika sahabatnya akan terjatuh nanti.

"Udah, putusin aja! Lagian ya cowok kaya Davin gitu mana mau sama anak kuliahan kaya kita."

Bukannya membantu, ucapan Ally kembali membuat Ana menangis. Mau tidak mau Ally harus menunggu Ana untuk menenangkan perasaanya.

Seharusnya Ana tahu jika semuanya akan sia-sia. Benar kata Ally, apa yang dilihat dari pria seperti Davin pada gadis labil sepertinya?

***

TBC

Follow ig : viallynn.story

Jangan lupa vote dan comment nya ya 😘

Viallynn

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top