Part 7
Hari berlalu begitu cepat dan Ana sangat menikmatinya. Sering menghabiskan waktu bersama dengan Davin membuatnya sadar jika pria itu yang selama ini telah mengunci dan memiliki hatinya. Ana cukup terkejut saat tidak memerlukan banyak waktu untuk mengubah perasaanya pada Davin. Yang awalnya dia sangat membenci pria itu, namun sekarang dia malah mencintainya setengah mati. Apa ini jawaban atas rasa kosong di hatinya? Ternyata Davin yang membawa perasaannya selama ini.
Ana berhenti berlari begitu kakinya sudah tidak kuat lagi untuk memutari lapangan tenis ini. Dia terduduk di atas tanah dan bersandar pada jaring yang menjadi pembatas lapangan. Nafasnya terdengar memburu dan reflek tanganya terangkat untuk mengusap keringat yang membasahi dahinya.
"Cuma 4 kali putaran?" tanya Davin dengan nada mengejek.
"Capek, Mas!"
"Ayo satu kali putaran dan selesai." Davin menarik tangan Ana untuk berdiri namun gadis itu menolak dan kembali bersandar pada jaring.
"Lari sendiri aja sana, aku tunggu di sini."
"Gimana mau sehat? olahraga aja nggak mau."
"Bukan nggak mau ya, tapi lagi capek." Ana mendengus dan meminum air putih yang dibawanya.
Jujur saja, jika bukan karena Davin, dia tidak akan mau lari pagi seperti ini. Entah kenapa kedatangan Davin sangat mempengaruhi kehidupannya.
Seperti sekarang ini, di hari libur biasanya Ana akan tidur seharian tapi kali ini Davin sepertinya tidak akan membiarkannya, karena tepat pukul 5 pagi, Davin sudah berada di depan kos untuk mengajaknya lari pagi. Tahu jika mengusir pria itu akan sia-sia, akhirnya Ana menurut dan di sinilah dia sekarang, melakukan olah raga pagi dengan mengelilingi lapangan tenis sebanyak 4 kali. Iya, hanya 4 kali yang kemudian dia memilih untuk menyerah karena kelelahan.
Davin membiarkan Ana beristirahat dan kembali berlari mengelilingi lapangan tenis. Sudah sering dia mengingatkan Ana untuk menjaga kesehatannya. Davin yakin jika selama hidup sendiri, Ana jarang sekali berolahraga bahkan untuk makan pun sembarangan asalkan dia merasa kenyang. Prinsip anak kos.
Ana yang memang keras kepala hanya menganggap omelan Davin hanya ceramah biasa. Dia merasa tubuhnya sehat-sehat saja selama ini. Ana juga tidak bodoh untuk selalu memakan makanan yang tidak sehat. Itu semua juga tergantung dengan kondisi uang yang dimilikinya. Jika sedang menipis maka dia akan bertahan dengan mie instan. Tidak sehat memang, tapi dia lebih memilih untuk makan dari pada tidak makan sama sekali. Lagi-lagi prinsip anak kos.
Davin berhenti berlari begitu telah melakukan putaran yang entah keberapa kalinya itu. Pria itu berdiri di depan Ana yang masih terduduk di atas tanah. Davin mengambil botol minum Ana dan meminumnya hingga habis.
"Luruskan kakimu." Davin menendang pelan kaki Ana yang ditekuk.
Ana mengerucutkan bibirnya dan mulai meluruskan kakinya. Tangannya dengan pelan memijit pahanya saat ototnya mulai terasa kaku. Dia melihat ke arah Davin yang kembali berolahraga dengan melakukan push-up di sampingnya.
"Empat puluh delapan,"
"Empat puluh sembilan,"
"Lima puluh," ucap Ana sambil menghitung. Davin menyudahi kegiatannya dan berdiri untuk melakukan pendinginan.
"Kok cuma lima puluh? Dasar lemah," ejek Ana membut Davin memutar matanya jengah.
"Empat kali putaran juga bukan sesuatu yang hebat, Ana."
"Kan besok bisa olahraga lagi," sahut Ana acuh.
"Oke, besok aku jemput."
"Loh, kok beneran? Nggak mau, aku mau tidur aja."
Davin hanya menggelengkan kepalanya dan mengulurkan tangannya pada Ana. Gadis itu dengan sigap menerima tangan Davin yang menariknya sampai berdiri.
"Aku laper," ucap Ana sambil membersihkan celananya.
"Mau makan apa?"
"Makan itu aja ya?" Ana menunjuk sebuah restoran cepat saji favoritnya yang berada di seberang jalan.
Davin mengikuti arah pandang Ana dan menggeleng cepat begitu melihat restoran cepat saji yang Ana inginkan. Bukan tanpa alasan dia menolak, Davin memang selalu anti dengan makanan yang terkenal tidak sehat itu, tapi bukan berarti dia tidak pernah memakannya. Hanya saja kali ini dia baru saja berolahraga. Kenapa harus merusaknya lagi dengan menambah banyak kalori?
"Kenapa?" tanya Ana bingung.
"Nggak sehat."
"Terus makan apa?" Ana mendengus kecewa padahal dia ingin sekali memakan es krim di sana.
"Ikut aja." Davin menarik tangan Ana dan membawanya ke mobil.
***
Tatapan ngeri Ana tunjukan pada restoran yang dipilih Davin. Demi Tuhan! Ana membenci sayuran dan sekarang Davin malah membawanya ke restoran yang selalu Ana hindari, Vegan Resto.
"Kok di sini sih, Mas?"
"Memang kenapa?" tanya Davin sambil melepas sabuk pengamannya.
"Nggak suka sayur!"
"Turum aja dulu," balas Davin acuh dan turun dari mobil meninggalkannya.
Ana hanya diam di dalam mobil sambil melihat Davin yang mulai memasuki pintu restoran. Tak lama kemudian pria itu kembali muncul dan menujukkan kunci mobilnya. Ana yang paham segera keluar dan sedetik kemudian Davin sudah mengunci mobilnya. Ana mendengus dan menghampiri Davin yang menunggunya di pintu masuk.
"Aduh bau sayur." Ana mengeluh sambil menutup hidungnya.
"Sejak kapan sayur ada baunya?" Davin menggeleng pelan dan mendorong Ana untuk berjalan.
"Aku mau ini." Tunjuk Ana pada steak daging sapi dalam menu.
"Menu sarapanmu cukup berat," kritik Davin tapi tetap membiarkan Ana memesannya.
Ana menunggu makanan datang sambil memainkan ponselnya. Jangan harap Davin akan mengajaknya bicara karena pria itu hanya diam dan juga memainkan ponselnya, mengecek email mungkin.
Ana menekan tombol menu dan mengeluarkannya lagi, begitu seterusnya sampai dia memilih untuk menjatuhkan kepalanya di atas meja. Matanya memandang ke arah jalan yang dibatasi oleh jendela bening untuk menikmati jalanan pagi yang sudah macet. Sesekali kaki Ana juga ikut bergoyang menikmati musik yang diputar oleh pihak restoran.
"Ana?" panggil Davin.
"Hm?"
"Kalau dipanggil itu noleh." Ana dengan cepat mengangkat kepalanya dan menatap Davin.
"Apa?"
"Hari ini Bunda ulang tahun."
Ana mengangguk dan tetap diam menunggu Davin untuk melanjutkan ucapannya, "Dan kamu diundang."
"Serius?!" pekik Ana tanpa memperhatikan orang sekitar yang mulai menatapnya aneh.
Davin hanya mengangguk dan tak lama kemudian pelayan datang membawa pesanan mereka. Tanpa diminta, pria itu langsung mengambil piring Ana dan memotong dagingnya menjadi potongan yang lebih kecil. Dia juga tidak lupa untuk memindahkan sayuran yang ada ke dalam piringnya sendiri. Dia tahu jika Ana akan mengomel nanti jika menemukan sayur di atas piringnya.
"Nggak mau, Mas! aku nggak mau dateng."
"Kenapa?" tanya Davin heran.
"Takut."
Davin mendengus dan memberikan piring milik Ana. Dengan pelan Ana meraih garpu dan memakan makanannya dengan tidak semangat. Dia benar-benar merasa takut saat ini. Ana juga berpikir bahwa ini semua belum tepat waktunya. Memang benar jika dia sudah pernah bertemu dengan Ibu Davin saat di kantor tapi entah kenapa Ana masih merasa takut.
"Nggak usah takut, emang Bunda siluman apa?"
"Tapi kan Bunda nggak suka sama aku." Ana memakan dagingnya dengan kesal.
"Kata siapa?"
Ana terdiam bingung harus menjawab apa. Memang benar jika Ibu Davin tidak pernah berkata seperti itu, bahkan dia terlihat baik-baik saja saat Davin mengenalkan Ana sebagai kekasihnya.
"Tapi Mas-"
"Habiskan dulu, ngomongnya nanti." Ana menurut dan memakan makanannya sampai habis.
Setelah tiga minggu mengenal Davin, Ana mulai mengerti watak pria itu. Sifat Davin sangat berbanding terbalik dengannya, bahkan Ana sempat bingung dari sisi mananya Davin bisa menyukai dirinya.
Jika dikatakan pintar, Ana tidak begitu pintar. Dikatakan cantik pun Ana tidak merasa seperti itu. Jadi Davin menyukai Ana dari sisi yang mana? Kecerobohannya begitu?
Ana mengerutkan keningnya saat melihat Davin memakan brokoli mentahnya dengan lahap. Davin yang ditatap seperti itu menaikkan alisnya bingung.
"Kenapa? Mau coba?" Davin memberikan Ana sepotong brokoli yang dilumuri oleh saus yang tidak Ana ketahui.
Ana menatap Davin dengan ragu tapi karena rasa penasarannya akhirnya dia membuka mulutnya untuk menerima suapan dari Davin. Dengan perlahan Ana mulai mengunyah brokoli itu dan mencoba mencerna rasa apa yang dia rasakan. Tapi sedetik kemudian dia dengan cepat meraih tisu dan mengeluarkan brokoli itu dari mulutnya. Ana menggeleng dan meminum air putihnya.
"Enggak enak!" ucap Ana dengan wajah yang masam. Davin hanya tertawa kecil melihat tingkah kekasihnya itu.
***
Mobil Davin berhenti tepat di depan kos Ana. Setelah sarapan tadi dia memutuskan untuk mengantar Ana karena dia harus membantu ibunya untuk mempersiapkan acara nanti malam.
Ana mencebikkan bibirnya kesal dan menatap ke arah Davin dengan wajah memelasnya.
"Nggak ikut ya, Mas," rengek Ana lagi.
"Kenapa?"
"Takut, udah dibilangin juga."
"Takut kenapa? Bunda sendiri yang nyuruh aku buat bawa kamu nanti malam."
Ana terdiam bingung harus melakukan apa. Jika memang benar Ibu Davin mengundangnya, Ana tidak berani untuk menolak tapi dia juga tidak punya nyali untuk datang. Jadi apa yang harus dia lakukan sekarang? Dia juga tidak ingin mengecewakan Davin.
"Aku nggak punya dress." Ana mencoba untuk mencari alasan yang terdengar cukup konyol di telinga Davin.
"Jadi itu alasan kamu?"
"Kamu bisa pakai celana. Jadilah dirimu sendiri, aku yakin bunda nggak akan marah." Lanjut Davin saat Ana memilih untuk diam.
"Tapi-"
"Atau kita beli dress sekarang?"
Ana dengan cepat menggeleng, "Nggak kok, nggak usah aku ada dress."
Ana segera menutup mulutnya saat dia ketahuan berbohong karena ulahnya sendiri. Ana melirik Davin yang menatapnya datar. Dia yakin jika pria itu sudah mulai kesal sekarang tapi ini tidak sepenuhnya salahnya. Davin sendiri yang mengundangnya secara mendadak sehingga Ana tidak bisa melakukan persiapan terlebih dahulu bahkan dia belum membelikan kado untuk Ibu Davin.
"Ana dengarkan aku..," Davin meraih bahu Ana dan menatapnya, "Jangan takut, nggak ada yang harus ditakutin. Bunda nggak benci sama kamu, kalau benci nggak mungkin Bunda ngundang kamu. Percaya sama aku." Seolah terhipnotis Ana pun mengangguk.
"Ya udah masuk sana." Davin menarik kepala Ana dan mencium keningnya seperti kebiasaanya akhir-akhir ini.
Ana tersenyum dan melambaikan tangannya pada Davin sebelum masuk ke dalam kosnya. Davin mengulum bibirnya menahan senyum melihat tingkah lucu Ana.
Dia tidak menyangka jika bisa berakhir bersama Ana. Davin tahu jika ini bukanlah sebuah akhir melainkan sebuah awal kehidupan baru untuknya, kehidupan yang dia harap akan jauh lebih berwarna.
***
TBC
Follow ig : viallynn.story
Jangan lupa vote dan comment nya ya 😘
Viallynn
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top