Part 4
Ana menatap lekat wajah pria di hadapannya dengan bingung. Setelah adegan tarik-menarik yang mengundang banyak pasang mata untuk melirik, akhirnya Ana menyerah. Dia pasrah akan apa yang dilakukan Davin. Protes pun percuma karena sepertinya pria itu tidak terlihat ingin mencabut ucapannya untuk memecat satpam tadi.
Masalah tadi bukanlah hal yang serius? Bahkan Ana sudah tidak memikirkannya lagi. Untuk apa memperhentikan kerja secara sepihak seperti ini? Keterlaluan bukan?
Sedangkan Davin hanya diam dan terus menggosok rambut Ana yang basah dengan handuk. Banyak pertanyaan yang berkumpul di otak Ana saat ini. Belum selesai dengan tragedi pemecatan tadi dan sekarang Davin kembali melakukan hal yang diluar dugaan.
Apa tujuannya melakukan ini? Ana bisa menggosok rambutnya sendiri, bukan? Dia tidak perlu melakukannya untuk Ana. Jas milik Davin juga masih membungkus tubuhnya dengan rapi sejak tadi.
Ana sudah berinisiatif untuk mengambil handuk itu dari tangan Davin, tapi pria itu hanya diam dan menatapnya tajam, seolah menyuruhnya untuk diam dan tidak membantah. Dari pada di tatap seperti itu lebih baik Ana menurut bukan? Sepertinya suasana hati Davin tidak begitu baik.
"Ganti pakaianmu," kata Davin tiba-tiba.
"Nggak papa, Pak." Ana menggeleng cepat, "Mana HP saya? Biar saya bisa langsung pulang dan ganti baju." Lanjutnya.
Tanpa mengatakan apapun, Davin berbalik dan membuka sebuah rak. Dia mengambil sesuatu dari sana dan melembarkan sebuah hoodie pada Ana. Cukup besar, tapi sepertinya panjangnya hanya sampai pada atas lutut. Pakaian ini tidak akan bisa menutupi tubuh Ana dengan sempurnya.
"Ini nggak ada bawahannya, Pak? Masa saya pake ini aja," tanya Ana konyol.
"Ada boxer saya. Mau?"
"Nggak usah, makasih." Ana menggeleng cepat dan bergegas menuju kamar mandi. Saat akan membuka pintu, tiba-tiba Davin memanggilnya.
"Kamu mau ke mana?" tanyanya sambil melipat kedua tangan di dada.
"Kamar mandi," jawab Ana pelan sambil menunjuk pintu berwarna hitam di hadapannya.
"Kamar mandinya di sana." Tunjuk Davin ke arah pintu lain yang berwarna putih.
Ana terdiam dengan wajah yang memanas. Dia berjalan menuju kamar mandi dengan malu. Sebenarnya ada berapa banyak pintu di ruangan ini? Kenapa Davin seolah membuat rumah di ruangan kantornya sendiri?
Setelah memakai hoodie milik Davin, Ana menatap bayangan dirinya di cermin. Ditariknya sedikit bagian bawah hoodie, berharap dapat menutupi tubuhnya dengan sempurna. Meskipun panjanganya hanya sedikit diatas lutut, tapi tetap saja itu membuat Ana risih. Dia berada di sebuah ruangan bersama dengan pria dewasa. Tak apa bukan jika dia waspada?
Ana keluar dari kamar mandi sambil menarik bagian bawah pakaiannya. Matanya tidak sengaja bertemu dengan mata Davin. Entah berapa lama mereka bertatapan, tapi Davin yang lebih dahulu memutuskan kontak mata.
Seolah bersikap acuh, pria itu kembali fokus pada kertas-kertas di atas meja. Ana berjalan dengan pelan menghampiri Davin dan duduk di kursi yang berhadapan langsung dengan pria itu. Dia menunggu Davin untuk memulai pembicaraan, tapi sepertinya sia-sia karena pria itu mendadak menjadi bisu.
"Pak langsung aja ya. HP saya mana?" Ana berbicara sedikit kesal.
Davin menghentikan kegiatannya dan mulai menatap Ana. "Mana makan siang saya?"
Dengan sabar, Ana mengambil kotak makan yang dia letakkan di atas sofa dan memberikannya pada Davin. Jujur saja, yang Ana inginkan saat ini adalah umpatan dan ejekan Davin untuk masakannya. Namun yang Ana lihat justru pria itu bersikap acuh dan mulai mengambil sendok. Terlihat tidak masalah dengan apa yang dibawa Ana untuk menu makan siangnya.
"Kamu nggak ada uang, ya?"
Mata Ana membulat mendengar itu. Pria di hadapannya benar-benar tidak pintar berbasa-basi. Yang Davin ucapkan memang benar, tapi jika diucapkan secara langsung seperti itu tentu Ana akan malu.
"Ada masalah? Bapak nyuruh saya bawa makan siang, kan? Ya udah saya masakin. Mumpung ada nasi sisa kemarin," ucap Ana cepat. Lagi-lagi dia menginginkan sebuah hujatan karena kebohongannya tentang "nasi kemarin" tapi yang dia lihat Davin malah mulai memakan masakannya.
Please, keracunan, keracunan.
Batin Ana berbicara, tentu saja tidak mungkin karena dia tidak memasukan zat berbahaya pada masakannya. Jika tahu akan seperti ini, Ana akan memasukkanya sedikit tadi.
Ana mengelus perutnya yang lapar. Jujur saja, aroma nasi goreng buatannya membuat dia ingin sedikit mencicipinya juga. Ana kelaparan sekarang, seharusnya Davin tahu jika dia melewatkan makan siangnya demi membuatkan nasi goreng untuknya.
"Nasi kemarin-mu enak."
"Nggak nasi kemarin kok, Pak. Saya bohong tadi." Ana menyandarkan tubuhnya dan menatap Davin pasrah. Dia membiarkan pria itu melakukan apapun. Ana tidak akan protes sekarang.
"Saya tau." Davin tersenyum mengejek dan kembali memakan makanannya.
Ana yakin semua wanita ingin berada di posisinya sekarang, tapi tidak untuk Ana kali ini. Dia merasa aneh dan entahlah, Ana sulit mendeskripsikan rasa ini. Dia merasa asing saat bersama Davin, tapi di sisi lain dia juga merasa gemas dengan tingkah pria itu.
Lamunan Ana buyar begitu mendengar suara pintu yang dibuka dengan keras. Dia berdiri dengan cepat karena bingung harus berbuat apa. Ana merasa seperti dirazia, padahal mereka tidak melakukan apa-apa di ruangan ini.
"Vinno, ini Bunda bawain makan!"
Ana berdiri dengan canggung dan berusaha untuk menutupi kakinya yang terbuka. Wanita itu, yang ternyata Ibu Davin menatap Ana dari atas ke bawah kemudian beralih ke arah Davin yang masih duduk dengan tenang. Sungguh ingin rasanya Ana menjambak rambut pria itu. Lihatlah, di saat seperti ini Davin masih asik makan dan sesekali menatap layar laptopnya. Gemas bukan?
"Vinno, Bunda tahu kamu sudah dewasa, tapi ya nggak sama anak SMA juga dong," ucap Ibu Davin sambil menatap Ana dengan pandangan menilai. "Kamu dibeliin apa sama Vinno? Hp? Tas? Atau baju?" Lanjutnya berbisik pelan pada Ana.
Gila!
Ana menggelengkan kepalanya cepat. Bisa-bisanya wanita itu berpikir jika Ana adalah gadis mainan Davin. "Nggak, Tante. Saya bukan cewek begitu. Aduh Pak, bantuin dong! Jangan makan terus!" Ana berbicara kesal sambil menarik lengan Davin.
"Lah, terus?"
"Dia pacar aku, Bun." Akhirnya suara Davin terdengar.
Ana terkejut bukan main. Bukannya senang, dia malah kembali menggelengkan kepalanya dengan cepat. Kalimat apa itu? Ana tidak percaya jika itu yang Davin keluarkan setelah membisu tadi.
"Serius?!" Ibu Davin terlihat antusias dan menutup mulutnya tidak percaya. "Eh, tapi bukannya kamu masih nunggu orang yang bawa cincin Bun-"
"Bunda, nggak di sini." Ana menatap Davin yang memotong ucapan ibunya cepat.
"Baiklah." Ibu Davin kembali beralih pada Ana dan tersenyum manis, "Pacar kamu manis, Vin. Cantik juga, tapi tetep Bunda lebih suka sama gadis yang bisa bawa kamu pulang ke Indonesia," ucap wanita itu ambigu.
"Bunda..," tegur Davin lagi.
Ana mengerutkan dahinya bingung mendengar percakapan aneh antara Davin dan ibunya. Belum selesai dengan pernyataan Davin tadi, Ana kembali dibuat bingung dengan percakapan mereka.
Sepertinya Ana harus meluruskan banyak hal di sini. Dia tidak tahu motif apa yang dilakukan Davin di balik semua ini. Pria itu dengan santainya mengenalkan dirinya sebagai kekasihnya di depan ibunya. Ini salah, salah besar. Seharusnya Ana tidak berada di situasi seperti ini.
Ingatan Ana kembali berputar ke beberapa hari yang lalu, saat di mana mobil Davin hampir menabraknya dan membuat ponselnya rusak. Jika tahu akan seperti ini jadinya, Ana tidak akan mau pergi ke kantor Davin untuk meminta ganti rugi.
Gadis itu tidak tahu jika masalah yang awalnya kecil akan berlarut-larut seperti ini. Dia ingin semuanya segera selesai, yang di mana Davin kembali pada dunianya dan Ana akan mendapatkan ponselnya kembali.
"Sebentar, Tante. Sebenarnya saya bukan pa-" Davin menyela ucapan Ana dan menarik gadis itu untuk mendekat padanya.
"Makasih, udah bawain makan siang." Ana menoleh ke arah Davin dengan cepat. Apa maksud pria itu? Apa Davin benar-benar keracunan nasi goreng buatan nya?
"Sebaiknya Bunda pulang aja atau ke kantor Papa sana," usir Davin.
Ana hanya diam tidak bisa menjawab karena Davin masih mencengkram bahunya erat, membuat gadis itu sedikit meringis kesakitan. Davin seolah sedang memperingatinya untuk tetap diam dan tidak mengatakan apapun.
"Ya udah, Bunda ke kantor Papa aja. Inget ya, Vin. Jangan aneh-aneh di kantor."
Saat pintu telah tertutup rapat, Ana menghempaskan tangan Davin dari bahunya. Dia mendengus dan mengusap bahunya yang sedikit sakit. Ditatapnya Davin dengan kesal. Habis sudah kesabaran Ana kali ini.
"Bapak apa-apaan, sih!" bentak Ana emosi.
"Apa?" jawab Davin singkat dan kembali duduk untuk melanjutkan kegiatan makannya.
"Kenapa Bapak bilang ke Ibu Bapak kalau kita pacaran?!" tanya Ana tidak menurunkan emosinya.
"Karena kamu memang pacar saya." Davin menghentikan ucapannya dan kembali berdiri dari duduknya, "Mulai dari sekarang." Lanjutnya sambil menghampiri Ana.
"Bapak udah gila ya? Udah ah, saya mau pulang. Nggak guna saya ke sini. Bodo amat sama HP baru. Saya nggak mau ketemu Bapak lagi!" Putus Ana akhirnya.
Saat akan membuka pintu, suara dingin Davin terdengar. "Berani keluar dari pintu, kamu akan menyesal," ucapannya membuat Ana berhenti melangkah. Gadis itu sedikit merinding mendengar nada yang Davin gunakan.
Ana mencengkram erat tasnya bermaksud untuk menyalurkan rasa kekesalannya. Dia juga merasakan rasa asin di mulutnya karena air mata yang mulai mengalir. Ana menundukkan wajahnya dan menangis dalam diam. Dihirupnya udara dengan satu tarikan nafas berharap tangisannya akan mereda namun sia-sia, karena dia kembali mengeluarkan air mata."
Perlahan Ana merasakan sebuah tangan kekar melingkar di pinggangnya. Rasa hangat langsung menjalar di tubuhnya. Davin memeluk Ana dari belakang dan mengecup puncak kepalanya pelan. Dengan tingkahnya seperti ini, malah semakin membuat Ana takut pada Davin. Pria itu benar-benar sulit ditebak.
Ana menggigit bibirnya agar suara tangisannya tidak keluar. Davin masih memeluknya dengan diam, malah pelukannya semakin erat. Ana tidak tahu harus melakukan apa, dia bingung.
"Berhentilah menangis dan bersihkan wajahmu. Aku antar kamu pulang," ucap Davin singkat sambil melepas pelukannya.
Ana menghela nafas lega. Dia seperti terjebak tadi. Ana tidak berani untuk menebak apa yang ada di pikiran Davin dan apa alasan pria itu melakukan ini semua. Ana sangat ingin bertanya, tapi dia terlalu takut dengan sikap misterius pria itu.
***
TBC
Follow ig : viallynn.story
Jangan lupa vote dan commentnya yaa 😘
Viallynn
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top