Part 3
Kelas telah usai tepat pukul 11 siang. Hari ini Ana hanya ada satu mata kuliah, oleh karena itu dia memutuskan untuk langsung pergi ke kantor Davin. Sebelum itu, Ana memutuskan pulang terlebih dulu ke kos untuk mengganti pakaiannya. Dia tidak ingin menjadi pusat perhatian lagi seperti kemarin.
Kini Ana sudah siap dengan kemeja putih, jeans hitam, dan sepatu converse abu-abu andalannya, tapi kali ini sepatu yang dipakainya sudah dicuci dengan bersih. Di saat seperti ini Ana sedikit kecewa dengan gaya berpakaiannya. Untuk model seperti ini dia akan susah beradaptasi dengan suasana kantor yang formal.
Baru satu langkah keluar dari kosnya, Ana mengingat sesuatu. Dia belum menghubungi Davin terlebih dahulu. Ana tidak ingin kejadian kemarin terulang kembali.
Ana mengambil ponsel sakti milik Ally dan kartu nama Davin yang berada di tasnya. Ibu jarinya bergerak dengan lincah mengetikkan pesan untuk pria itu.
Permisi pak, saya mau ke kantor sekarang. Bapak di kantor kan? Saya sudah buat janji ya pak, jangan diusir lagi hehe
Makasih..
Suara notifikasi pesan terdengar dan Ana dengan cepat membukanya. Melihat betapa cepatnya pria itu membalas, artinya Davin tidak terlalu sibuk bukan?
Saya di kantor. Kalau ke kantor bawakan saya makan siang.
Ana terdiam seperti orang bodoh. Apa pria ini serius? Kenapa Davin harus meminta makan padanya? Padahal Ana yakin jika pria itu mempunyai cukup banyak uang untuk sekedar membeli makan siang.
Ingin rasanya Ana menuliskan pesan umpatan untuk Davin. Kali ini dia benar-benar kesal. Bahkan ketampanan Davin pun tidak membuat rasa kesalnya menurun. Tuhan memang adil dalam menciptakan sesuatu.
Maaf, Pak. Saya nggak bisa masak. Pak Davin bisa makan di luar.
Hanya itu balasan yang Ana kirim dan dia berharap Davin tidak serius dengan permintaannya.
Kalau begitu kamu nggak perlu ke kantor, saya mau keluar makan siang.
Ana memukul udara dengan kepalan tangannya. Saat ini dia sangat bernafau untuk membuat wajah Davin menjadi babak belur. Entah kenapa Ana juga merasa sensitif akhir-akhir ini. Segala hal yang dilakukan Davin selalu membuatnya naik darah. Meskipun hal kecil sekalipun.
Ana membuka dompetnya lemas. Hanya tersisa uang 20 ribu di sana. Ana tidak tahu harus membeli makan siang apa untuk Davin. Bukan rahasia lagi jika akhir bulan adalah hari krisis nasional untuk pejuang kos. Lagipula Davin adalah pengusaha besar, tidak mungkin rasanya harga makan siangnya hanya berkisar 20 ribu saja.
Akhirnya Ana memutuskan untuk kembali masuk ke dalam kos dan melihat isi kulkasnya. Dia berharap masih ada sisa belanjanya kemarin yang bisa diolah. Ana terduduk di depan kulkas dengan kecewa begitu hanya menemukan baso, sosis, dan telur. Saat akan menutup pintu kulkas, matanya tidak sengaja melihat sawi segar di rak bawah. Ana mengambil sawi itu dan melihat tag nama di plastiknya.
"Mbak Amel! Aku minta sawinya dikit, ya?!" teriak Ana begitu mengetahui jika sawi itu adalah milik Amel, tetangga kamarnya.
"Iya!" balas Amel berteriak juga.
Ana mengeluarkan semua bahan-bahan yang ada dan mulai memasak. Sebelum itu dia juga mengambil nasi yang ada di kamarnya. Sepertinya nasi goreng tidaklah buruk, uangnya benar-benar menipis sekarang dan mau tidak mau Ana memutuskan untuk memasak sendiri, selain itu dia juga berharap jika Davin akan merasa jera setelah mencicipi rasa makanannya.
Ana memasak dengan cepat, dia tidak ingin membuang waktu lebih banyak lagi. Hanya butuh 15 menit, dia sudah menyelesaikan masakannya. Ana masukkan nasi goreng itu ke dalam kotak bekal makanan dengan porsi yang lumayan banyak.
"Selesai!" Ana bertepuk tangan senang melihat hasil karyanya.
***
Suara klakson yang saling bersautan dan asap kendaraan yang menyesakkan dada membuat Ana mendengus kesal. Ditepuknya punggungnya dengan pelan untuk mengurangi rasa nyeri karena terlalu lama menunggu di tengah jalan. Sudah 40 menit dia terjebak macet. Seharusnya dia sudah sampai 15 menit yang lalu.
Jakarta oh Jakarta....
Ana mengusap peluh yang menetes di dahinya dengan pelan. Hari ini cuaca sangat mendung tapi entah kenapa udaranya terasa begitu panas. Dia berdecak kesal saat mobil di depannya tidak kunjung jalan. Demi Tuhan! Jika bukan karena ponsel baru, Ana tidak akan mau melakukan ini.
Ana berdoa supaya tidak akan turun hujan kali ini. Namun, sepertinya doa Ana tidak didengar oleh Tuhan karena tiba-tiba saja secara perlahan rintik air itu mulai turun membasahi bumi. Rintik air itu tidak bertahan lama karena air mulai turun dengan derasnya.
Ingin rasanya Ana menangis saat ini juga. Entah kenapa hari ini begitu menyebalkan untuknya. Gadis itu bingung dengan keadaan yang menimpanya. Ingin menepi juga sulit mengingat dia sudah terjebak macet di tengah jalan. Pada saat-saat seperti ini Ana menyesal karena sudah meninggalkan jas hujannya di kamar kos.
Seolah tidak peduli, Ana memutuskan untuk menerobos hujan. Badannya sudah mulai basah sekarang jadi tidak ada gunanya lagi untuk berteduh.
Saat akan melewati pertigaan, tiba-tiba motor Ana terasa aneh. Dia menepikan motornya di pinggir jalan dan melihat apa yang sebenarnya terjadi. Semoga pikiran buruk yang bersarang di otaknya tidak terjadi, tapi sepertinya hari ini memang hari sial untuknya. Entah ujian apa lagi ini, tapi ban motor bagian depannya bocor.
Ana menunduk dan menyandarkan kepalanya pada stir motor. Dia merengek lebih tepatnya menangis, dia sangat sedih meratapi nasib buruknya saat ini.
Kembali Ana mengangkat kepalanya dan melihat ke sekitar berharap bisa menemukan tambal ban. Dia bersyukur begitu menemukan bengkel di ujung jalan, tapi bengkel itu terlihat cukup ramai. Ditambah dengan hujan deras seperti ini, mungkin kerusakan motor bisa saja terjadi pada siapapun.
Tidak ada pilihan lain, Ana pun menuntun motornya untuk sampai ke bengkel. Badannya sudah benar-benar basah sekarang. Dia hanya bisa berdoa supaya dia tidak akan sakit nanti.
"Ini bocor, Mbak. Ada paku gede gini. Bisa di tambal tapi antri, lagi rame soalnya," ucap petugas bengkel sambil memeriksa motor Ana.
"Nggak papa, Pak. Saya tunggu," putus Ana akhirnya. Dia bisa menunggu sambil berteduh dari hujan yang semakin deras ini.
***
"Ana, ngapain kamu di sini?" Ana membuyarkan lamunannya dan beralih pada pria yang ada di depannya.
"Loh, Bang Alex ngapain di sini?" Ana balik bertanya sambil berdiri dari duduknya.
"Kebetulan aku lewat dan liat kamu. Ada apa?" Alex bertanya sambil melirik motor Ana.
"Bocor, Bang. Jadi ditambal dulu."
"Keliatannya masih lama, kamu mau kemana? Ayo aku anter, motor kamu ditinggal aja"
"Ke Rahardian Corp. Bang Alex beneran bisa nganter?" tanya Ana tidak yakin.
"Ya udah ayo, tapi masih hujan ini."
"Terobos aja, udah basah juga." Alex hanya mengangguk dan mulai menyalakan motornya.
Ana berbicara sebentar pada petugas bengkel dan setelah selesai, dia menghampiri Alex yang sudah siap di atas motor besarnya. Tidak ada percakapan selama perjalanan. Sepuluh menit kemudian Ana sudah sampai di depan kantor Davin.
"Aku tunggu di sini ya?" ucap Alex sambil melepas helmnya.
"Nggak usah, Bang. Ditinggal aja. Lama juga paling nanti urusannya."
"Udah masuk sana. Aku tungguin." Akhirnya Ana hanya bisa mengangguk pasrah. Dia juga tidak punya cukup uang untuk pulang nanti.
Ana memasuki kantor Davin dengan kotak bekal di tangannya. Saat akan masuk, tiba-tiba satpam memanggilnya dan menghalangi langkah Ana. "Eh Mbak, jangan masuk! bajunya basah gitu, nanti lantainya kotor." Ana melirik bajunya yang basah. Benar juga, kasihan OB yang akan kerja dua kali nanti.
"Saya mau ketemu Pak Davinno, Pak. Panggilin ya suruh keluar," ucap Ana begitu tidak ada pilihan lain selain menunggu di luar.
"Duh, nggak berani saya nyuruh-nyuruh pak bos, Mbak."
"Lah terus gimana? Bapak kan nggak ngebolehin saya masuk." Satpam itu hanya mengedikkan bahu acuh dan kembali bekerja.
Ana berdecak kesal dan berlalu pergi. Kemarin dia dilarang masuk oleh resepsionis dan sekarang dia kembali diusir oleh satpam, besok siapa lagi? Tidak, Ana harap ini terakhir kalinya dia mengunjungi kantor Davin.
Langkah Ana membawanya untuk menghampiri Alex yang masih menunggu di parkiran. Dia bercerita pada Alex bahwa satpam tidak memperbolehkannya masuk. Ana berpikir dan mencari cara lain agar bisa masuk untuk menemui Davin, kemudian pemikiran untuk menghubungi pria itu terlintas diotaknya.
Pak saya udah di bawah tapi nggak dibolehin satpam masuk. Gimana?
Tidak butuh waktu lama Davin segera membalas pesan dari Ana.
Tunggu saya.
Ana menggosok kedua tangannya yang terasa dingin. Hujan sudah mulai reda namun angin dingin masih menerpa tubuhnya.
Jangan sakit.
Ana berdoa dalam hati dan tiba-tiba tangannya digenggam oleh Alex. Pria itu menggosok kedua tangan Ana hingga menimbulkan rasa hangat. Ana tidak menolaknya, karena memang ini yang dia butuhkan.
"Ana!" Ana menoleh dan melihat Davin berjalan menghampirinya dengan cepat. Entah kenapa lagi-lagi jantungnya berdetak dengan kencang.
Saat sudah mendekat, Ana bisa melihat mata Davin terarah pada tangannya yang digenggam oleh Alex. Dengan reflek Ana menarik tangannya dari genggaman Alex.
"Kenapa nggak langsung masuk?" tanya Davin begitu sudah berada di depan Ana.
"Nggak dibolehin satpam," kata Ana jujur. Dia mengusap kedua tangannya yang masih terasa dingin.
Davin beralih menatap Alex, Alex yang merasa diperhatikan pun menyapa Davin dengan canggung.
"Selamat siang, Pak." Davin hanya balas mengangguk tanpa berbicara.
Pria itu melihat Ana dari atas ke bawah membuat gadis itu sedikit risih. Pasti penampilannya sangat kacau sekarang. Tiba-tiba Davin melepas jasnya dan memakaikannya di tubuh Ana. Ana berusaha untuk menolak dan melepaskan jas itu tapi ucapan Davin membuatnya terdiam.
"Nggak usah protes, kamu kedinginan." Davin menyela ucapan Ana sebelum gadis itu berbicara, "Ayo masuk." Setelah itu dia menarik tangan Ana dan membawanya masuk ke dalam kantor.
Saat baru satu langkah berjalan, Davin kembali berhenti dan berbalik menatap Alex.
"Kamu langsung pulang, nanti Ana saya yang antar."
Ana ingin mengucapkan terima kasih kepada Alex, tapi sepertinya Davin tidak akan membiarkannya melakukan itu.
Langkah Davin terhenti saat melewati satpam yang sempat melarang Ana masuk tadi. Satpam itu terlihat gugup saat melihat kedekatan Ana dengan bosnya. "Mulai besok kamu nggak perlu datang lagi, cari kerja di tempat lain," ucap Davin datar dan berlalu pergi.
Ana terpaku melihat itu semua. Apa tadi? Ana dapat mendengar nada kesombongan yang Davin ucapkan tadi. Tidak! seharusnya ini tidak terjadi. Ana ingin membantah tapi sepertinya Davin lebih menginginkannya untuk diam dan menurut.
***
TBC
Follow ig : viallynn.story
Jangan lupa vote dan commentnya yaa 😘
Viallynn
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top